Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebelum Ia ke Kota

16 Desember 2023   13:13 Diperbarui: 16 Desember 2023   16:11 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
air terjun bantimurung, dokumentasi penulis

Sebelum orang-orang kota meminum air terjun itu, sedianya mereka harus berdoa dan melakukan ritual yang sama seperti orang desa. Air itu setelah terjun dari bebukitan, lalu melewati celah-celah bebatuan, pepohonan, kemudian mengalir ke sungai. Nanti di sungai besar, para pengusaha air minum melakukan pipanisasi hingga air tersebut tiba di rumah-rumah orang kota. Beberapa celah yang harus dilalui air terjun sebelum terminum lewat bibir orang-orang kota. Air itu melewati sungai-sungai dari gunung batu kapur, aliran pipa hingga ke kota dan ke dapur. Air itu harus meminta izin kepada celah-celah dan benda-benda yang dilaluinya.

Air terjun itu mengalir tak henti-hentinya, sepertinya ada tuhan dalam roh air itu. Ia memiliki nafas panjang. Apakah ia tidak lelah berjalan dari gunung, bukit, sungai, lalu masuk dalam pipa hingga ke tenggorakan manusia-manusia kota. Orang-orang kota terkadang mengembalikan sebagian air yang diminumnya lewat hutan dan sungai ketika mereka ke sana. Mereka kencing sembarangan, bahkan saat camping atau saat mandi di air terjun. Mereka membuang sari air tersebut tanpa beban, tanpa berfikir akan meminumnya kembali. Tak sedikit orang-orang kota menyadarinya.

Berkat air terjun itu pula, orang-orang kota tak lagi menadah air hujan. Mereka membiarkan air hujan itu memasuki rumah mereka baik atas celah atap yang bocor atau atas meluapnya air got di pemukiman lantaran sungai yang pemukiman telah menumpuk sampah-sampah. Mereka kini menikmati air-air segar tanpa harus membuat sumur bor, mereka tak perlu lagi antri membeli air bersih yang dijual setiap hari oleh tenggulak. Mereka tak perlu lagi membeli air galon kemasan demi untuk mandi dan minum. Air keran, dari air terjen tersebut mereka bisa minum. Cukup dengan dimasak atau difilter dengan mesin. Mereka bisa gunakan dengan segala keperluan hidupnya. Sungguh pengemban di Kota Belanga Baru memanjakan orang-orang kota itu dengan hilirisasi air desa ke kota.

Sepanjang kemarau, orang-orang kota tak pernah meminta doa kepada sungai, laut, pohon, batu atau pun kepada pemberi hujan itu sendiri. Sejak kampung Belanga disulap jadi kota oleh pengemban, mereka lupa lagi atas ritual dulu. Memang indah dipandang mata atas bangunan di Kota Belanga Baru itu. Lampu-lampu kota di malam hari begitu megah, air mancur di mana-mana, tempat pun seperti di Eropa. Entah apa gerangan keuntungan pengemban itu. Mereka membangun kota dengan megah. Mereka membenah rumah-rumah warga menjadi rumah real estate. Apakah semacam tanam saham, saham sosial, ditagih kemudian saat pemillu. Ah! Bos pengemban itu tak pernah berbicara politik meski sedetik. Ia hanya fokus keindahan kota, hanya orang-orang kota saja yang malas. Maklum peralihan dari orang desa menjadi orang kota.

Orang-orang kota begitu yakin kalau air terjun itu tak akan pernah berhenti mengalir. Mereka selalu optimis bahwa air terjun tak akan habis meski kemarau panjang di Belanga. Tak ada di antara mereka penasaran dari mana saja air yang mereka konsumsi setiap hari. Bahkan sekedar bertanya kepada air dari mana asalmu pun tidak pernah, terlebih membaca doa kepada pemilik air, mereka sepertinya lupa.

Sesekali di antara mereka berangkat camping keluarga di hutan dekat temapt air terjun berasal. Selama di lokasi camping, tentu mereka beraktivitas, makan, minum di mata air hingga kencing sembarang tempat. Bahkan banyak yang sengaja kencing di sungai atau pada air yang mengalir. Padahal orang suku terasing di hutan tersebut, mengatakan famali jika kencing di air mengalir. Tak sedikit pula di antara mereka yang pergi mandi di sungai tempat air terjun tersebut nekat menjatuhkan diri dari bukit ke bebatuan hingga ke sungai. Di sungai itulah orang-orang kota yang datang mandi-mandi pasti mereka kencing di situ. Padahal masyarakat adat yakni suku terasing sudah melarang agar tidak boleh kencing di sungai.

Mereka ke hutan atau ke tempat air terjun berasal, bukan untuk mensiarahi kuburan nenek moyang mereka. Di mana hutan itulah asal muasal Kota Belanga Baru. Mereka datang hanya untuk bersenang-senang, sekedar melepas penat di kota yang megah itu. Bahkan jika mereka dappat sial, katanya ayo ke hutan atau ke sungai Belanga, di sana kita bisa buang sial.

Mereka tak pernah sadar jikalau air yang ditempati membuang penat adalah air yang akan ia minum di kota nantinya. Itulah bedanya dengan orang-orang Kota Belanga Baru dengan orang-orang Kampung Belanga Lama. Orang-orang kota jarang menanam pohon untuk kelestarian alam, untuk kelancaran air terjun di gunung batu kapur yang ada di desa, untuk menjaga banjir di kota, untuk serapan air, untuk menyimpan air di kala kemarau tiba. Orang-orang desa pada dasarnya tidak paham dengan hal itu semua. Mereka hanya mengerjakan apa yang ada di depan mata, mereka tidak mengerjakan apa yang dianggap famali bagi nenek moyang mereka.

Orang-orang desa selalu membawa sesajen ke mata air, ke muara sungai, ke batu besar, ke pohon besar. Mereka menganggap itu adalah tuhan kecil mereka yang membantu mereka hidup di desa. Mata airlah yang memberi mereka sumber kehidupan. Ia rasakan langsung dengan adanya mata air. Ia langsung mengambil air dari mata air, langsung meminumnya selebihnya dibawa pulang untuk keperluan dapur.

Di sungai-sungai tempat air mengalir, mereka mencuci, mandi dan tidak buang kotoran. Famali dengan buang kotoran di sungai, kata moyangnya. Mereka seakan memberi makan daun, pohon, batu, sungai, air, hutan, binatang liar di hutan, mentari pagi, rembulan malam. Dengan apa saja yang dianggapnya sebagai bentuk terima kasih kepada alam dan kepada tuhan.

Orang-orang desa Belanga Lama selalu melakukan ritual sesembahan kepada alam khususnya kepada air terjun. Mereka menamainya dengan mappano risalo, yakni sebuah ritual dan doa kepada pemilik air, kepada malaikat air, kepada Ilere sang nabi air kepada bumi, kepada pohon yang telah menyimpan air bertahun-tahun, kepada batu yang telah memeluk air dan pohon, kepada air itu sendiri serta kepada mahluk halus penghuni air tersebut. Mappano risalo dilakukan dengan berbagai bahan ritual serta pabbaca (orang agamawan dari masyarakat adat suku terasing). Bahan-bahannya seperti beras cucubanna yakni beras tujuh warna di atas daun muda lalu dilepas di atas air hingga tenggelam dan seakan ditelan pemilik air. Mappano risalo dilakukan oleh ahli sebab ada ritual tersendiri, ada doa dan harus orang yang dituakan. Orang-orang Belanga Lama yang punya hajat pun harus menyiapkan bahan dan makanan. Baik untuk dipersembahkan ke alam maupun untuk dimakan bersama setelah ritual dilakukan. Makanan dan bahannya pun beragam seperti kelapa muda, nasi putih atau beras ketan, ayam masak, telur rebus dan sebagainya berdasarkan kemampuan yang punya hajat. Bahkan untuk orang-orang suku di Belanga Lama terkadang menyiapkan dinar atau koin lama lalu dilempar ke dalam air.

Lain di sungai, lain pula ritual di gunung atau di hutan dan di pohon. Jika di tempat tinggi, orang-orang Belanga Lama menamainya Mappaenre. Mappaenre ini adalah ritual yang sama dengan mappano risalo. Hanya saja lokasi yang berbeda serta malaikat pohon, gunung dan air tentu berbeda sehingga penamaannya pun berbeda. Itulah orang-orang Belanga Lama tak pernah berani menebang pohon, membakar kayu di tengah hutan, atau memecahkan batu-batu gunung untuk rumah batu. Mereka tahu bahwa air mata air, yang kini jadi air terjun Belanga Lama adalah atas kerjasama pohon, batu, dan tanah.

Orang-Orang Kota Belanga Baru, kini telah dimanjakan dengan suasana kota yang indah dan megah. Mereka hidup serba ada dan berpunya. Mereka tak peduli lagi ritual mappano risalo ataupun mappaenre. Semestinya mereka sesekali ikut mappano risalo bersama orang-orang desa Belanga Lama sebab di sana terlihat sakral. Air begitu dimanja dan didewakan. Jangankan ritual, mereka tak ingin diganggu atas embel-embel dalam meminum air, saat mandi, mencuci, apalagi bersuci.

Orang-orang kota tak pernah ingin tahu atas situasi kota. Banjir sedikit di dalam pekarangan mereka, pasti yang salah adalah pengemban atau pemerintah yang dipilih oleh pengemban tersebut. Orang-orang Kota Belanga Baru pasti jijik dengan sesajen dan ritual alam pada orang-orang Kampung Belanga Lama.

Suara air terus terdengar di dalam bak mandi, di dapur, dan di garasi. Orang-orang kota tanpa peduli darimana saja air itu datang. Mereka meminum air terjun itu tanpa rasa ingin tahu asalnya. Mereka bahkan menggunakan air terjun dari Kampung Belanga Lama itu tanpa ingin tahu sumber kesucian air. Air yang dicuci bersih akar-akar pohon, air yang dicuci bersih oleh bebatuan, dan binatang-binatang di hutan, sebelum ia ke kota.

Penulis

Andi Samsu Rijal, atau as rijal. Ia dapat dijumpai di media sosial @as.rijal_. Penulis senang dengan buku-buku, dan bunga-bunga. Penulis saat ini sedang bermukin di sebuah desa di Maros, Sulawesi Selatan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun