Sudah ke 153 hari hujan tak turun di Belanga. Semua tanaman merasa kekeringan. Suhu udara semakin gerah dan cuaca semakin panas siang dan malam. Sumur-sumur dan mata air mulai kekeringan. Orang-orang di Belanga mulai kebingunan mencari sumber air untuk kebutuhan sehari-hari mereka.
Memang di kampung Belanga sering terjadi kemarau panjang setidaknya sekali lima tahun.Â
"Tidakkah kamu ingat Nyai di tahun 2019, kata Roro pelan".Â
"Tentu tidak, saya belum lahir saat itu, balas Roro".Â
"Aku pernah mendengar seseorang yang pernah datang di kediaman kita berkata demikian".
Mendung di langit seakan membuat hujan tumpah secara bersamaan. Petir-petir membuat Roro dan Nyai ketar-ketir. Mereka mencari tempat sembunyi dan aman dari gemuruh itu. Dari arah barat, terlihat gelap. Tak ada matahari hari ini. Apakah ini doa-doa tuan kita yang telah dikabulkan. Kasihan mereka sudah hidup berpindah-pindah lantaran tidak ada air.Â
Listrik padam berhari-hari, air sumur, air selokan, air sungai, air mata air semua kekeringan. Terlihat air mata tuan kita tiap hari keluar petanda kesedihan di hati mereka.Â
Roro tampak tenang di bawah kursi empuk. Sementara Nyai seakan kegirangan menunggu hujan. Hujan kali ini adalah hujan pertama dalam hidupnya. Ia memang lahir belum setahun tapi langsung kelihatan dewasa di antara anak-anak Roro lainnya.
"Nyai! sini kamu. Hujannya sangat deras. Nenek moyang kita dulu melarang kena hujan pertama di awal musim penghujan. Di situ banyak penyakit. Semua debu-debu, kotoran-kotoran dari diangkat ke langit lalu ditumpahkan ke bumi".Â
"Kamu boleh main hujan setelah beberapa menit airnya turun, aku juga rindu dengan hujan, tahu tidak hujanlah mempertemukanku dengan bapakmu, ia terlihat tampan saat memakan cacing tanah lepas penghujan".
Ayo Nyai, hujannya sudah berlangsung beberapa menit. Ajak Roro ke Nyai untuk bermandi hujan.Â