Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dongeng Nenek dan Rahasia di Belakang Rumah

5 Agustus 2023   10:35 Diperbarui: 5 Agustus 2023   14:34 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi penulis 

Malam itu cuaca begitu dingin. Angin kemarau dari timur laut terus saja berhembus. Nenek sudah memasang kelambu, ia juga memasangkan kami sarung. Bahkan pelukannya pun yang hangat itu masih membuat kami terasa dingin. Dingin di malam itu sangat berbeda. Pori-pori kulit seakan terbuka, bulu-bulu pun seakan berdiri. Kami merinding kedinginan. Angin terus berhenmbus, sesekali terasa kencang sekali. Tubuh nenek sudah tidak mampu lagi menghangatkan tubuh kami. Giginya pun ikut menggerutu lantaran kedinginan.

Kehangatan yang diberikan oleh nenek sedikit demi sedikit mulai terasa saat ia pada diksi ibu. Ibu yang meminta berpisah sama ayah lantaran ia tak sanggup lagi menahan derita yang ditawarkan suaminya kepadanya. Tubuh kami langsung hangat tiba-tiba, darah kami seakan mendidih. Menunggu apa lagi selanjutnya dari mulut nenek yang terlontar setalah diksi perpisahan.

Padahal dingin di malam itu seakan dibawa oleh sesuatu ke dekat kami. Dinginnya bukan hanya lantaran angin yang menghembus, tetapi seakan angin datang mengantar suara ibu.

Memang perpisahan selalu menghangatkan kepala dan membuat darah semakin mendidih setelah kita sekian lama bersama.

“Ini sudah pukul berapa? Tidurlah nak! Besok kita ke belakang rumah”.

Sela nenek dengan suara pelan entah ia takut gigi emasnya terjatuh lalu kami mengantonginya atau lantaran ia tak sanggup melanjutkan diksi yang ia bangun dari awal.

Ia menjawab sendiri pertanyaannya dengan kaku. Lalu terhenti lantaran bukan kalimat tanya yang kami tunggu atau kalimat perintah lagi, tapi jawaban atas pernyataannya yang membuat kami bertanya-tanya.

Ada apa ibu? Nama ibu kami siapa? Perpisahan itu apa? Kenapa nenek mengajak kami ke belakang rumah besok pagi? Ada apa di belakang rumah?

Aku tahu ia meminta kami segera tidur dan melupakan kisah itu, lalu tertidur lelap bermimpi indah. Memimpikan masa depan yang lebih baik, membangun semangat pagi dengan cara cepat-cepat tiidur, tanpa harus bertanya-tanya ada apa semuanya.

Di dalam kelambu pada malam itu, kami pura-pura terlelap beharap ada nafas nenek untuk melanjutkan ceritanya.

Nenek terus memperbaiki kelambu agar nyamuk tak masuk, dingin sedikit demi sedikit berlalu dibasu atas kehangatan nenek.

Bukan dongeng yang akan kami dengar darinya, kami ingin ada pernyataan nenek sekali saja tentang ayah ibu kami, namanya siapa? Dan kenapa dengan semuanya?

Nenek pun tak peduli kepura-puraan kami, ia terus mendongeng tentang cicak dan tokek yang saing bersahutan. Ia berharap dongeng tersebut dapat melelapkan dan melupakan atas segalanya.

Memang pernah suatu ketika, di awal musim kemarau seperti ini nenek tidak memcakan kami dongeng tetapi ia tak sengaja menceritakan kisah sepasang kekasih dipertemukan lalu terpisahkan entah kenapa. Ia hanya selalu berkata besok setelah bangun, sarapan, kita ke belakang rumah.

Di belakang rumah panggung yang menghadap ke timur tepat berhadapan dengan lapangan sepak bola Belanga itu menyimpan kisah istimewa terhadap nama belakang kami

Ada cicak yang jatuh nenek tak peduli ia terus merubah suaranya kadang cekikikan kadang ketakutan, kadang pula gigi emasnya terjatuh yang kami kira itu bagian episode yang sengaja dibuat agar kami paham bahwa jika kamu tua nanti akan kamu tahu sendiri tentang rahasia orang dewasa. Kami pula akan tahu rahasia-rahasia di belakang rumah orang tua.

Burung-burung malam bersahutan di atas pohon. Kami pura pura tertidur, ingin mendengar akhir dari kisah nenek yang seakan tidak punya awal. Padahal semua huruf bisa jadi awalan dan akhiran termasuk huruf-huruf dalam rongga mulut nenek yang tak jelas hidup atau mati. Tak ada lagi suara kentongan mungkin saja kami menunggu suara dari surau atau suara ayam jantan yang di keroyok waktu. Nenek tersandar pada dinding dongengnya, ia tak sadar kalau kami menunggu ia sebut awalan dan akhiran nama ibu kami.

Tak hanya Malam itu, kami terus mengigau sebab kami ingin dongeng nenek usai agar bisa menyebut rahasia di bekang rumah dan di belakang nama depan kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun