Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Kepala Sekolahku Dulu (1)

21 Mei 2023   06:57 Diperbarui: 21 Mei 2023   06:58 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepala Sekolahku Dulu (bagian 1; Taman Kanak-Kanak)

Selasa pagi ini yang cerah, Sum Sum membuka album penamatan sekolah. Memang setiap pulang kampung saat lebaran Idul Fitri ia selalu membuka album, entah foto masa kecilnya yang tersimpan bersama map coklat itu, album penamatan sekolahnya dulu hingga album foto pernikahan mereka dua belas tahun silam. Yah, mendiang Ibunya dulu memang rajin menyimpan foto kenangan anak-anak nya. Tidak banyak sih cuman satu dari tiap penamatan. Itupun ia beli atau bayar ganti rugi biaya cuci cetak di studio Sinar Warna Terang.

Sum-sum tiba-tiba teringat kepala sekolahnya dulu di taman kanak-kanak. Kepala sekolahnya yang ramah itu. Keramahannya hanya beda penyebutan dengan namanya yakni ibu Rahmah, sering di sapa puang Rahma. Ya semua guru sekolah disapa puang, demikian budaya di Belanga bahwa siapa pun yang berpakaian dinas entah honorer atau guru PNS, entah tukang kunci alias Bujang sekolah atau bujang kantor maka ia disapa puang. Meski ia kepala desa atau camat jika tidak berseragam layaknya PNS maka tidak disapa puang. Anak-anak sejak kecil diajarkan menyapa puang kepada siapa saja yang berdiri di depan mereka saat di waktu sekolah dengan pakaian dinas tadi.

Keramahan puang Rahma terbawa hingga di lingkungan masyarakat. Di pasar pun ketemu dengan siapa saja ia pasti menyapanya. Di pesta pernikahan pun demikian jika ketemu siapa saja termasuk orang tua murid pasti disapanya. Bahkan pernah sekali antri di depan toilet umum di pasar Belanga, saat ia kebelet pun tetap menyapa ibu-ibu dan para penjual ikan basah dan ikan asap.  

Di balik keramahan kepala sekolah tersebut, Sum-sum masih ingat betul bagaimana para murid diperlakukannya di sekolah dan di lingkungan masyarakat. Setiap anak yang malas makan pasti ditakut-takuti bahwa kamu akan dilapor sama ibu guru Rahma. Seketika itu pula anak tersebut langsung menelan habis-habisan makanan yang disuapinya. Setiap anak yang menangis pasti diancam pula bahwa akan dilapor sama puang Rahma. Terlebih jika memang ia tidak ke sekolah 6seharian dan tiba-tiba ketemu dengan puang Rahma di jalan pasti anak tersebut ketakutan. Entah apa yang membuat anak-anak ketakutan dengan sosok Puang Rahma ini.

Namun di antara anak-anak TK seusia Sum-Sum kala itu, dia lah yang paling menderita sebab rumahnya sangat berdekatan dengan Puang Rahma. Hidupnya Sum-Sum terasa menegangkan, akhirnya ia trauma hingga di usia dewasa. 

Anak-anaknya pun ia larang masuk sekolah TK. Namun istrinya bersikeras bahwa TK saat ini sudah bagian dari perjalanan pendidikan anak. Bahkan sekelas PAUD pun sudah layaknya wajib bagi anak usia dini, terlebih TK akan sangat memalukan orang tuanya jika anaknya tidak disekolahkan di TK baru lanjut duduk di bangku kelas satu SD. Malunya orang tua saat hari pertama sekolah anaknya di SD tentu akan menjadi bulian dari guru SD dan ibu ibu lainnya, terlebih di masyarakat di kelompok pengajian ibu-ibu atau di kelompok penggerak orang tua akan mendapat diskriminasi sosial jika anaknya tidak disekolahkan di TK baru sekolah di SD.

Sum-Sum selalu saja teringat masa-masa kecilnya yang tidak bahagia itu. Jangan untuk menikmati permainan anak anak, menangis pun sulit baginya lantaran ancaman untuk dilaporkan ke kepala sekolah ibu Rahma. Setiap pagi ia gelisah bagaimana caranya menangis diam-diam, sebab menangis adalah cara untuk meminta, adalah cara untuk berkeluh kesah. Setiap TV dinyalakan, setiap ayam pagi berkokok, setiap melihat seragam hijau putih seragam TK Ibu Pertiwi Belanga ia selalu saja merasa bahwa ibu Rahma akan menghampirinya. 

Di masa kecilnya, Sum-Sum sangat sulit untuk berlarian di tanah lapang ia trauma di datangi oleh ibu guru Rahma. Setiap ia akan bersenang-senang di lapangan depan rumahnya di Belanga atau di halaman sekolah TK yang tak jauh dari rumahnya, ia langsung lari pulang ke rumah. Sejak kecil hingga dewasa Sum-Sum hanya mengurung diri jika pulang sekolah atau pulang dari sawah membantu ayahnya. Ia ibarat anak gadis yang tersimpan dalam kamar, demikian gosip yang berkembang lantaran lebih suka di rumah saja dari pada bermain, bergaul atau Kongkow di pos ronda. 

Di usia remajanya pula, para gadis desa menyebut demikian setengah laki laki setengah perempuan, kulitnya putih meski dengan jerawat di muka, suaranya lekas meski tubuhnya kekar. Ia pun sulit menikah di kampung Belanga lantaran gosip itu, ia harus keluar ke kabupaten lain mencari gadis untuk pasangan hidup yang siap mendengarkan penjelasan dulu darinya atau yang mudah paham kondisi suaranya yang lemah lembur padahal tubuh kekar. Ia takut bersuara sejak kecil, menangis pun di tahan padahal menangis adalah dari derita sesaat.

Entah apa yang membuatnya takut kepada kepala sekolah TK itu. Apakah ia dipaksa bernyanyi? Dihukum jika tidak tahu membaca? Di larang bermain? Atau jangan-jangan ia pernah dilecehkan satu sekolah?

Sore semakin ramai di depan rumah Sum Sum. Warna senja semakin jingga. Tak ada pelangi di sore itu. Hanya ada anak-anak menari di lapangan, anak- anak kecil berlarian dengan riang gembira. Seakan tidak punya beban atau sosok yang ditakutinya seperti di masa anak-anak Sum Sum. Kini ia hanya memandangi foto ibu guru di dalam album itu. Sesekali ia memotret keceriaan anak-anak yang sedang bermain petak umpet, ada yang bermain tali, ada pula yang menangis dengan keras hingga terdengar di ujung lorong depan rumah mendiang Bu Rahma.

Sum-Sum bergegas mandi sore lalu ia siapkan baju muslim, peci, dan sarung. Ia ditugaskan jadi MC di acara tausiah malam ketiga usai shalat isya untuk mengenang kepergian ibu Rahma kepala sekolah TK itu. Yah ibu Rahma yang juga dikenal ramah kepada semua ibu-ibu di Belanga. Di malam itu selepas ustadz Bana berceramah tentang kehidupan dan kematian. Kehidupan setelah kematian, atau hadirnya orang orang mati di kehidupan orang orang hidup. Jamaah antara percaya dan tidak. Jika orang mati bisa melihat kita apalagi mendengar kita sewaktu waktu jika ia ada. 

Ibu-ibu tetap bergosip sembari menyantap pisang goreng (banana crispy). Gosip mereka tentang ibu Rahma, jikalau sebelum ia meninggal pernah berpesan kepada orang-orang yang pernah diajar demikian kepada semua orang tua murid untuk tidak percaya atas rumor yang beredar bahwa ia adalah "guru yang suka memeluk anak murid lalu menciumnya". Ia juga bukan seperti sosok perempuan gemuk yang hobi memakan anak anak layaknya aktingnya di film guru gokil guru cabul. Itu hanya acting. Ia memang pernah tidak sengaja hampir terjatuh dekat tempat permainan lalu memeluk Sum Sum. 

Is juga mencium Sum Sum hingga pipinya seharian merah bekas lipstik Bu Rahma yang tidak hilang. Sum Sum pun diketawain sekampung kalau ia akan selalu memimpikan ibu guru sebab itu ciuman pertamanya. Akhirnya bu guru pun terkadang bercanda kepada  muridnya jika masih selalu menangis dan ngompol di sekolah maka ia tidak segan memeluknya, menciumnya, atau memasukkan dalam bajunya yang besar itu lalu ia telan, katanya.

Malam semakin larut, Sum Sum pulang ke rumah lalu mengabari teman- teman TK dulu bahwa ibu Rahma betul adalah sosok perempuan dalam film guru gokil itu. Ciuman Bu guru dalam film adalah kutukan, pelukan ibu guru dalam film adalah musibah bagi anak lelaki sebab ia akan menurun kejantanan dan ketampanannya. 

Sutradara film ibu guru gokil turut hadir dalam Taksiah ibu Rahma. Ia sempat merekam menjadikan kisah penutup guru gokil yang bertaubat sebelum mati. Sutradara film itu tak lain adalah adik ipar ibu guru Rahma yang merupakan pemenang nominasi film pendek. Bisa saja almarhum ibu guru Rahma kepala sekolah TK itu hadir menyaksikan ketakutan anak-anak muridnya dulu, menyaksikan ibu ibu yang hanya datang bergosip. Trauma Sum Sum pun berangsur berkurang setelah anaknya tamat TK di kampung sebelah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun