Berawal dari mana aku bercerita tentang larangan merokok?
apakah dari papan-papan berjalan di kantor-kantor?
apakah dari bungkus-bungkus rokok yang berjejer di kios-kios?
dari mana aku menemukan para pelamun sunyi?
kalau bukan dari perokok
dari mana aku  menemukan teman sejati?
kalau bukan dari rokok
dari mana aku menemukan diksi rokok?
kalau bukan dari puisi-puisi taufik ismail,
yang menyebut Indonesia sebagai surga perokok.
di kapal-kapal, di mobil, di motor,Â
dari mana saja orang merokok.
di rumah mertua, menantu bersama mertua di sana mereka merokok
di ruang terbuka, di ruang ber AC di sana ada perokok
di hutan-hutan, di gunung-gunung, di sana para pendaki merokok
di rumah sakit, di sana pasien dan dokter merokokÂ
di kantor polisi, di sana tahanan dan penjaga merokok.
di rumah para guru, di sana murid dan guru merokok
di senayan, di kantor-kantor, di sana atasan dan bawahan merokokÂ
di warung kopi dan di bar-bar, di sana rokok bersama puntung puntung berserakan.
di mana aku dapat larangan merokok?
jikalau bukan dari dalam diriku? kata seseorang yang berhenti merokok
di mana aku dapat larangan merokok?
jikalau bukan dari anak yang sedang menyaksikan ayahnya sedang mengisap tembakau
ia lalu menggulung kertas diisinya jenggot-jenggot jagung muda sembari berlarian ke hadapan ayahnya,
lalu berkata ayah aku juga bisa merokok
lalu kenapa harus ada larangan merokok di tembok
bukan di mulut, bukan di kios, bukan pada gelas kopi