Sesampai di rumah,
"Kacang ku rebus, Isinya aku makan, Sarinya aku minum,Pengganti tangis dan rindu, Tak lupa aku kirim doa kepada pemiliknya, Lalu kresek merah itu aku jadikan, Pembalut pada sisa luka.
Aku asyik mendengar suara hujan tanpa petir, Mungkin ini hujan antara April dan Mei, Bukan hujan kiriman, atau sebentar lagi, Juni menyambut kemarau yang panjang, Nafas hujan itu menghantar rindu bulan, Di timur laut, Besok angkot ini akan penuh, Dengan Para pengamen jalanan bersama, Pedagang kacang, Nelayan dan Hasil nelayan, akan di bawah ke pasar di bawah jembatan layang.
musik di angkot berhenti sejenak cukup untuk menghargai petir, namun hujan tak berhenti, roda detik pada mesin angkot juga tak berhenti, namun Aku memilih terhenti di depan pos penjara, ada namaku di sana, aku susuri lorong jauh dari angkot, dengan bau membius seperti ikan mati tak di bius, aku menutup hidung lalu membuka telinga, pita radio berbunyi pelan, para napi teladan menghadap tuhan.
hujan tetap melanjutkan doanya di penghujung sujudnya, penjual kacang rebus di angkot, hanya bisa membalikkan telapak,sembari mengucap syukur atas doa para napi yang memakan kacangnya, Andi Samsu Rijal, ditulis di Maros April 2019"
**
Saya makan kacang nenek itu sebiji dua biji sekedar mencicipi bagaimana rasa kacang dari nenek itu yang katanya di tanam sendiri di pinggir sungai di bawah ah jembatan kampung tanah didi tanralili (nama kampung nenek itu). Semoga tidak kenapa kenapa di muka dan di kepala saya sebab jika makan kacang terlalu banyak jerawat saya bermunculan. Ah itu prasangka saja, tubuhmu yang tidak mampu memproses makanan dengan baik karena sudah tua, begitu kata istri saya sembari membantu anak saya menghabiskan kacang rebus itu.
Ditulis di Yogyakarta 4 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H