Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

Kehadiran AI dan Etika Akademik Kita

7 Maret 2023   18:51 Diperbarui: 15 Maret 2023   11:36 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi chatbot ChatGPT. (sumber: MobileSyrup via kompas.com)

Kehadiran Artificial Intelligence (AI) sebagai teknologi keterbarukan sebuah keniscayaan yang harus dihadapi. Kehadiran AI beserta perangkatnya tentu sangat membantu kebutuhan masyarakat saat ini khususnya yang berkaitan dengan teknologi. 

Salah satu manfaatnya AI bisa mengarahkan kita bekerja efektif dan efisien. Baik dalam pekerjaan maupun dalam bidang akademik. 

Namun tidak semua bekerja efektif dan efisien masuk kategori etika akademik di negara kita. Sehingga dampak AI khusunya ChatGPT dapat berpengaruh negatif bila kita tidak bisa memanfaatkannya ke hal baik.

Sebagai mahasiswa tentu tetap berpedoman pada pengajar atau dosen. Dalam artian ada hal-hal etis yang perlu dijaga agar tidak melakukan hal plagiarisasi. 

Bila ini terjadi tidak hanya merusak etika akademik yang ada melainkan dapat merusak diri pribadi si pelaku. 

Bisa saja ia berhasil melakukan penyelesaian tulisan dengan baik, namun dalam dunia akademik kita saat ini terdapat sistem atau mesin pelacakan plagiariasi yang disebut turnitin. 

Turnitin ini digunakan sebagai salah satu indikator tingkat plagiarisasi si penulis dengal level persentase tertentu. Selain dari hal pembimbingan karya ilmiah misalnya terdiri dari dosen penanggung jawab bagi mahasiswa.

Pembimbing tersebut juga memahami batas-batas tertentu, misalnya sampai di mana penggunaan referensi dari google atau melalui ChatGPT. 

Dalam dunia akademik kita  ada hal-hal yang sifatnya harus dipelajari langsung dari dosen pakar terkait ilmu tertentu. Seseorang kuliah lanjut untuk mempelajari keilmuan bukan hanya sekedar selembar ijazah, gelar dan status sosial akademik. 

Meski kehadirian AI dengan perangkat ChatGPT saat ini hadir sebagai layanan teknologi untuk manusia. Namun hal tersebut memiliki batasan-batasan sosial dalam dunia akademik. 

Seseorang bisa saja mengajukan pertanyaan kepada layanan ChatGPT melalui laman Open AI, kemudian memebrikan  jawaban sesuai pertanyaan. Jawaban tersebut bisa saja benar dalam artian kategori teknologi memberikan jawaban benar salah. 

Tetapi dosen bisa lebih dari itu yakni memberikan jawaban atas pertanyaan sekaligus memberikan penjelasan. Sehingga melalui transformasi ilmu tersebut ada dialog akademis antara mahasiswa dengan dosen. 

Singkat kata bahwa layanan ChatGBT bisa dijadikan referensi akademik tetapi tidak menjamin proses akademik yang baik. 

Teknologi memberikan pengetahuan (sekedar tahu) tetapi tidak memberika pemahaman lebih mulai dari dasar ilmu pengetahuan, paradigmatis, teoritis hingga praktek keilmuan dalam karya tulis dan di masyarakat.

***

Dalam sebuah acara Isra Miraj yang diselenggarakan oleh pengurus masjid Kampus salah satu PTN di Jogja beberapa minggu lalu dengan mengangkat tema merawat spiritual menuju puncak kemajuan teknologi peradaban manusia. 

Salah satu pembicara merupakan anggota komisi Fatwa Mui Pusat yakni bapak K.H. Mahbub Ma'afi. Peserta melontarkan pertanyaan sederhana terkait apa kaitannya Isra Miraf dan AI, apakah AI nantinya akan menggantikan fatwa yang ada atau AI bisa melahirkan fatwa. 

Jawabannya bahwa sejauh ini teknologi tidak mampu menandingi apa yang terjadi pada peristiwa Isra dan Mi'raj, AI kedepan bisa saja semua kemungkinan bisa diterapkan termasuk dalam bidang fatwa atau akademik. 

Tetapi tentu berbeda sebab hanya pembacaan bukan tafsiran. Demikian dalam akademik, sebagai seorang santri yang pernah mondok bahwa ada hal-hal yang tidak bisa digantikan oleh teknologi. Kurang lebih seperti berguru, proses belajar, dapat barokah ke guru, dicontoh dan memberi contoh dan sebagainya.

Demikian pembicara kedua yang juga merupakan salah satu dekan dan ilmuwan bidang sains. Ia menceritakan bahwa praktek kerja AI sudah kami buktikan dan betul memberikan jawaban sesuai pertanyaan. 

Petugas kepolisian juga pernah minta bantuan agar diterapkanya tilang elektronik dengan perangkat AI. Hal itu juga dilakukan. 

Posisi AI dalam prakteknya hanya sebatas identifikator. Sehingga sebagai teknologi memiliki sisi kelemahan yang hanya manusia inilah akan menjadi kontrolnya.

***

Dari pernyataan pak kiyai yang saya rekam dalam ingatan bahwa kehadirian AI beserta perangkatnya untuk memudahkan manusia. 

Teknologi dikontrol oleh manusia, bukan manusia dikendalikan oleh teknologi. Sehingga posisioning teknologi teresebut sebatas alat untuk membantu memudahkan pekerjaan manusia.

Pada akhirnya, segala kemungkinan AI ada di tengah-tengah kita termasuk menjadi referensi akademik bagi yang sedang mengerjakan tugas akademik. 

Seseorang mempergunakannya dalam mencari referensi, shingga pengujian chatGPT bisa bermanfaat bagi mahasiswa. 

Namun perlu diingat bahwa teknologi hanya sebuah alat pembacaan, pencarian. Tentunya tidak seakurat dan seilmiah dengan dengan model konvensional dalam dunia akademik.

Kehadiran AI beserta perangkatnya sebuah keniscayaan dan perkembangan teknologi serta perkembangan jaman. Namun tidak semua hal bisa tergantikan oleh teknologi. 

Dalam dunia akademik ada etika antara dosen dan mahasiswa, ada jarak sosial antara mahasiswa dan dosen yang akrab, reggang atau biasa biasa saja. Sementara jarak kita dengan AI tidak terukur bahkan terkadang mebuat tidak sosialis seperti hubungan kita sesama manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun