Masih saja ada sisa hujan semalam, di beranda pagi bersamaÂ
bulir-bulirnya putih kecoklatan, mungkin saja tempias dari atap rumah seng yang sudah berkarat
membangunkan cacing-cacing tanah yang kegirangan
butir air mencari pasangan butir air lainnya lalu ia mengalir
mencari cela, kali ini ia tak bisa langsung ke laut,
gedung-gedung pencakar langit ada di sana
pantai berubah jadi wisata yang tak ramah, kini
bukan laut dan pantai bukan tempat ombak, berombak dengan riang gembira,
air hujan pun dari kota enggan kesana
genangan air ia hanya berputar-putar ke dalam kota
bersama sisa air kemarin, kemarin-kemarin, hingga sisa minggu lalu
yang belum terbasuh
Burung-burung pagi sebentar saja di taman, ia tak lanjutkan mencari cacing tanah
atau ia sudah kekeyangan, cacing sudah bersama dengan genangan
ia juga tahu Februaripun sebentar lagi beranjak, meninggalkan kenangan,
andai saja dari syair-syair yang ditulis penyair-penyair, bisa mengusir kenangan sesaat
agar kita terbebas dari belenggu, nayatanya tidak
kesedihan melingkupi jiwa raga,Â
ohh andai saja, ya andai saja syair itu ikut mengalir bersama rerintik pagi ini
ia akan bersama dengan genangan lainnya, berwujud genangan dari kenangan
itulah syair tidak bisa mengalir bersama air jadi genangan di kotaku
syair akan jadi kenangan di dalam diri, meski kesedihan, kebahagiaan ia tetap menjadi dirinya
Gelas di tangan kembali basah bersama buku-buku tua, bisa saja tempias pagi
sekedar pengusik pagi, atau semacam irama yang harus dilalui
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H