Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Book

Mengulas Unsur-unsur Erotisme Religiusitas dalam Sajak Orkestra Pemakaaman Karya Aslan Abidin

22 Februari 2023   05:27 Diperbarui: 9 Maret 2023   15:58 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orkestra Pemakaman sumber foto Googlebooks.co.id

Mengulas unsur-unsur Erotisme Religiusitas dalam Sajak Orkestra Pemakaman Karya Aslan Abidin

Oleh Andi Samsu Rijal

"Tulisan ini sedikit mengulas unsur-unsur puisi pembangun wacana erotisme religiusitas dan wacana euforia kematian kumpulan puisi Orkestra Pemakaman karya Aslan Abidin diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) 2018. Dalam kumpulan puisi dari buah tangan penyair Aslan Abidin tersebut terdapat beberapa unsur-unsur pembangun wacana erotis meliputi diksi, citraan, bahasa kias, dan sarana retoris termasuk juga menyinggung wacana seksualitas, wacana kekuasaan, wacana sejarah, wacana agama, dan wacana identitas kebudayan masyarakat Sulawesi Selatan. 

Wacana seksualitas berupa wanita sebagai objek dalam puisi erotis, penggambaran tubuh perempuan dalam puisi erotis, dan pandangan masyarakat terhadap pedagogi seksualitas. Wacana kekuasaan, meliputi kekuasaan aparatur, polisi, guru, dan pamong desa dan kekuasaan relasi meliputi kuasa relasi tubuh dan kuasa relasi nafsu. 

Wacana sejarah meliputi sejarah besar seperti sejarah tokoh dunia dan sejarah kecil meliputi sejarah wanita korban PKI, sejarah gempa Yogyakarta, dan sejarah Marsinah, dan wacana agama berupa penggambaran wacana agama seperti kisah Adam dan Hawa, dan pembalikan wacana agama seperti kisah hubungan Habil dan Khabil yang digambarkan berciuman."

********

Benar adanya bahwa sebuah karya sastra yang lahir ditangan penulisnya tidak dapat dipisahkan dengan penulis karya. Demikian penggalan dari Pierre Bourdieu sebagai seorang filsuf bahkan memberikan posisi sebanding antara karya dan biografi penulis (Karnananta, 2013). Olehnya itu karya sastra merupakan cerminan latar belakang sosial budaya penutur. lahirnya karya sastra atas realitas masyarakat serta kepekaan penulis dalam menghadirkannya dalam bentuk karya sastra. 

Begituhalnya karya sastra erotis yang tidak hadir begitu saja, Sastra Erotis merupakan sastra yang mengandung atau mengungkap perilaku cinta dalam berbagai ekspresinya. Erotis berasal dari bahasa Yunani Eros yang berarti dewi cinta penyambung antara dunia yang bersifat indrawi dengan dunia yang terbuka bagi rasio. Erotisme atau eros merupakan pendorong dalam mencapai pengetahuan tentang ide-ide yang hanya ditemukan dalam dunia yang terbuka bagi rasio. 

Kerinduan pada dunia rasio yang ditimbulkan oleh eros berkaitan dengan keindahan dalam arti kesesuaian antara gambaran yang dikenal dalam dunia yang bersifat indrawi dengan idea yang ada dalam rasio. Di dalam keindahan itu tercakup badan, jiwa, moral, pengetahuan, dan keindahan itu sendiri. 

Dari kata eros timbul erotik, yang dalam arti luas adalah segala bentuk pengungkapan cinta antara pria dan wanita, antara jenis kelamin yang sama (homoerotik), atau cinta terhadap diri sendiri (autoerotik). Dalam arti sempit, erotik tidak hanya bermakna seksualitas yang lebih bersifat jasmaniah, tetapi juga meliputi aspek mental dalam seksualitas dan pengembangan rangsangan yang ditimbulkan oleh seksualitas.

Erotisme dalam sebuah teks berupa penggambaran melalui sarana bahasa yang membungkus suatu perilaku atau tindakan, keadaan, atau suasana yang bertalian dengan hasrat seksual. Tubuh perempuan selalu diidentikkan dengan seksualitas bahkan disepanjang sejarah peradaban manusia, bukanlah sesuatu tubuh (perempuan) yang sekedar tubuh dalam pengertian biologis semata. Anatominya diperdebatkan, & fungsinya diatur, perwujudannya digugat. 

Hal ini karena tubuh perempuan bukan semata-mata & fakta deterministik, tubuh perempuan menyiratkan nilai, atau tubuh perempuan selalu menjadi sasaran nilai yang dibuat oleh otoritas di luar dari dirinya.  Dalam sajak Aslan Abidin ia menjadikan tubuh perempuan sebagai sesuatu nilai budaya Siri bagi masyarakat timur kemudian ia menyebutnya dengan kemaluan. 

Dengan symbol symbol erotis yang mengandung unsur budaya malu masyarakat dibangun di dalam sajak Aslan Abidin menjadi sesuatu wacana yang menarik dan juga begitu konstraktif pada sebagian masyarakat. Olehnya itu tujuan dari penulisan artikel ini mencoba menggambarkan representasi erotisme religiusitas di dalam sajak karya aslan Abidin yang menjadi representasi budaya masyarakat Indonesia dan di Sulawesi Selatan khususnya.

Penggunaan bahasa dalam sajak pengarang bahwa merupakan pertalian antara ideology, dan identitas olehnya itu dalam kajian ini selain menggambarkan nuansa erotis terkait religiusitas dan kematian atau kematian yang religiusitik juga berupaya menggambarkan identitas-identitas sosio-kultural yang melingkupi karya pengarang.

Sehingga untuk menggambarkan aspek erotisme religuisitas dan aspek identitas maka yang menjadi permasalahan dala kajian ini adalah seperti apa aspek erotisme religiuisitas yang ditunjukkan pengarang dan bagaimana pengarang identitas sosial budaya dikonstruksi oleh pengarang. Untuk mengungkap permasalahan tersebut sehingga dalam kajian ini akan digunakan pendekatan Struktural dari Levi-Strauss dan pendekatan Shapir-Whorf terkait bahasa, ideology dan identitas.

Perempuan dalam sajak Aslan seperti Tragika Dada Rita (hal, 19), ia menyebut "R" sebagai perempuan yang senantiasa menikmati aroma aluminium,  Suatu siang di Cafetaria (hal. 20) ia mengibaratkan perempuan sebagai lakon dalam majalah porno, sebuah pantai dalam sebuah Menhir (hal, 21) terlukis tubuh perempuan di pinggir ombak, Sepi Itu (hal 24) menggambarkan kegalauan perempuan di tahun 1995, Gadis dalam Komik (hal 26) di sini tergambar perempuan sebagai korban media, Mitraliur (hal 27) dan perempuan berperilaku binatang. 

Begitujuga pada sajak yang lain yang mengibaratkan perempuan sebagai korban dari sebuah kamuflase, bukan berarti perempuan adalah sebuah korban atau pelaku tunggal namun di dalam sajak ia lebih erotis untuk menyampaikan sebuah pesan moral oleh seorang penyair.

Sapardi Djoko Damono (78) dan Toeti Heraty (84) adalah dua guru dalam persajakan di Indonesia khusunya masyarakat UI. Suatu ketika mereka bincang soal 'Sense and Sensuality' di paviliun Indonesia, Jumat (16/10/2015). Dalam diskusi tersebut Toeti mengungkap ketidaksengajaannya dalam menulis sajak sajak erotis. Dia hanya ingin menggambarkan diri seorang manusia yang memiliki sense dan panca indera dimana dengan indra dia melihat sebuah fenomena masyarakat kemudian ia gambarkan dalam sajak. 

Ditambahkan Damono bahwa erotisme dalam syair seperti kacang kulit sementara biji kacang seperti kristal begitulah cara penyair menyampaikan pesan sehingga dengan mudah mengantar pembaca. Menghadirkan perempuan dan tubuhnya dalam bait-bait sajak karya penyair dan budayawan,  Aslan Abidin, terasa lebih menyegarkan pikiran dan erotisme hidup. Ia tanpa sungkan dan ragu menyapa sajaknya dengan mengekspose perempuan dan tubuhnya itu lewat diksi dalam kumpulan karyanya, Orkestra Pemakaman. 

Terlihat juga dalam sajak Rajah Di Antara Kedua Buah Dada; Bila esok lusa, tuan// bertemu seorang pelacur dengan// rajah: bahaya laten" diantara kedua// buah dadanya. Tolong sampaiakan salam saya// kami satu kelas di SMA dulu//.

Meminjam beberapa kritik sastra Michael Faucolt dengan mengaji sajak Aslan di atas "Rajah Di antara Kedua Buah Dada" tentu menghasilkan multiinterpretasi. Seorang anak perempuan tergambar sebagai manusia yang tidak lepas dari tanggungjawab biologis, moral dan sosial. Pada sajak tersebut juga terdapat pembangun wacana erotis yang nampak dari diksi-diksi erotis seperti bahaya laten di antara kedua buah dadanya//bola mata yang berbinar jernih// rambutnya yang sebahu melambai// dan tubuhnya yang padat semampai//.  

Ia menggunakan bahasa kias untuk mengeksplore beberapa makna citraan yang terkait dengan kiasan lainnya. Pada sajak tersebut tentu bukan sisi erotis yang akan diangkat oleh penyair namun ia menyindir para pejabat yang bejat yang mengorbankan keluarga si anak gadis dari pelosok sebuah negeri. Ia korban dari rezim tentu di tahun tahun sebelum penulis mengisahkannya termasuk sejarah kecil pada kasus kerusuhan beraroma PKI. Inilah yang disebut Faucolt sebagai relasi pengetahuan dan kekuasaan, relasi aparatur dan kekuasaan.

Mengaji pada sajak Aslan Abidin adalah sebuah perjalanan erotis tentang sebuah religiusitas, kemaluan dan kematian. Erotisme religiusitas barangkali sesuatu yang erotis bercitra religius seperti pada sajak berikut;

//Polispermigate

perempuan jalang bertubuh pualam pada
simpang jalan itu menyimpan bejana
di tubuhnya.

ia menjadi tempat minum para
lelaki pejabat yang datang menghabiskan
uang hasil rampokan
perempuan jalang di simpang jalan,
entah mengapa aku suka mengkhayalkan
diriku tersesat di kamarmu.
dan sebagai bentara para penjahat,
kau kisahkan padaku seluruh riwayat
dari negeri subur para perarmpok

"aku seperti nawang
wulan dan mereka adalah beruang yang
rakus mengisap madu tubuhku. mereka
takut aku menemukan baju dan segera
menguap ke udara."

tapi nawang wulan, aku juga suka
membayangkan kau membuka celana
untukku. dan mungkin aku akan terkesiap
menatap kemaluanmu yang mangap :

seperti polisi yang siap menerima suap.

2003

-polispermigate : semacam skandal masuknya beberapa sperma ke dalam satu sel telur. //

Orkestra Pemakaman, 2018;86//

Dalam bait-bait sajak di atas tergambar begitu erotis, seorang Aslan dengan fulgar menyebut perempuan Jalang. Namun terlebih dari itu ia pada dasarnya menggambarkan sebuah kritik terhadap penguasa sebagaimana yang digambarkan Faucolt bahwa kekuasaan menjadi superpower yang dengan semena mena dapat menjadi kekuatan untuk menekan yang lemah. Terdapat relasi kekuasaan nafsu dengan perasaan manusia lainnya.

Pada sajak lain terdapat beberapa diksi yang mengusik pikiran seperti adanya tempat-tempat pertemuan dan perpisahan. Kita bisa temukan diksi Kereta (Akuarel Perjalanan; 8), Kemarau dan Hujan (Ketika Senja pergi dari Halaman ini; 10), Pada Stasiun terakhir (11), Ruang Tamu dan Medan perang (13), Demaga pada (Kau memang telah Hilang, 14), Monorail (15). Dimana penyair tidak mendeskripsikan secara lugas namun bisa bermakna erotisme kehidupan (kemaluan) dan juga kematian.

Begitulah sebuah nisan yang ternama dalam wacana yang dibangun penyair; wacana sexuality, wacana historis, wacana kekuasaan dan begituhalnya wacana religiuisitas. Maka biarkan Sajak Orkestra Pemakaman menjadi jejak zaman yang pernah ada dan akan berarti meski zaman itu tak lagi ada. (Andi Samsu Rijal)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun