Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Interpretasi atas Fenomena Sosial; Diskursus Fenomenologi dan Hermeneutika

22 Januari 2023   11:57 Diperbarui: 22 Januari 2023   12:02 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Asumsi dasar fenomenologi dan hermeneutika

Asumsi dasar fenomenologi

Menurut Mark P. Orbe melalui Encyclopedia of Communication Theory (Littlejohn & Foss, 2009: 751-752), fenomenologi setidaknya memiliki 5 (lima) asumsi dasar. Asumsi dasar tersebut diantaranya; pertama adalah penolakan terhadap gagasan bahwa para peneliti dapat bersikap objektif terhadap fenomena yang diteliti atau kepada tineliti. 

Para ahli fenomenologi percaya bahwa pengetahuan mengenai esensi hanya dapat dilakukan dengan cara mengasah berbagai asumsi yang telah ada sebelumnya melalui suatu proses, proses di dalam fenomenologi dikenal dengan istilah epoche. Epoche sendiri merupakan sikap netral peneliti terhadap suatu obyek kajian atau tineliti. 

Fakta fenomenologi bukan lagi fakta received view melainkan fakta yang sudah dimaknai, sudah interpretif (oleh subyek bersangkutan), olehnya peran interpreter yang baru tidak menutut kemungkinan memiliki interpretasi yang sama atau bahkan melahirkan pengembangan dari interpretasi sebelumnya. Asumsi kedua adalah bahwa pemahaman yang mendalam terhadap sifat dan arti dari hidup terletak pada analisis praktik kehidupan yang dilakukan oleh manusia dalam kesehariannya. Dalam fenomenologi orang mengamati langsung pada konsep ide dan nilai (values).

Asumsi ketiga adalah eksplorasi manusia yang bertentangan dengan individu adalah hal sangat penting dalam fenomenologi. Manusia dipahami melalui berbagai cara yang unik sebagaimana mereka merefleksikannya melalui keadaan sosial, budaya, dan sejarah kehidupannya. 

Asumsi keempat adalah bagaimana manusia dikondisikan dalam sebuah proses penelitian. Fenomenolog menjadikan kesadaran subyek dan kesadaran obyek (tineliti) sebagai kesadaran kolektif. Para peneliti fenomenologi tertarik untuk mengumpulkan berbagai pengalaman sadar manusia yang dianggap penting melalui intepretasi seorang individu dibandingkan dengan pengumpulan data secara tradisional.

Asumsi kelima berkaitan dengan proses. Fenomenologi adalah sebuah metodologi yang berorientasi pada penemuan yang secara spesifik tidak menentukan sebelumnya apa yang akan menjadi temuannya. Ia berfokus pada proses pencarian makna atas fenomena.

Asumsi dasar hermeneutika

Ciri utama hermeneutika secara umum mengandalkan verstehen; pertama, metode ilmu sosial yang dianggap paling cocok untuk menghasilkan pengetahuan interpretative adalah yang berdasarkan pada verstehen. Cara pengembangan pengetahuan yang memanfaatkan kemampuan manusia menempatkan diri dalam situasi dan kondisi orang lain dengan tujuan memahami pikiran, perasaan, cita-cita, dorongan, dan kemauannya. Kedua, kalau ilmu alam dikatakan bersifat “nomologis”, yakni bertujuan menghasilkan sejenis “penjelasan” (explanation) yang megungkapkan hukum alam (natural laws) yang umum atau universal, yang memungkinkan penurunan metode matemtatis, ilmu sosial seharusnya bersifat “hermeneutic”, yaitu memberikan “pemahaman” (understanding) yang bersifat menyeluruh (comprehensive) dan mendalam (in depth) tentang gejala yang menjadi objek studinya.

Menurut Ricoeur, simbol membangkitkan pemikiran. Simbol memberi makna, namun makna yang diberikan tersebut adalah hal yang harus dipikirkan. Sehingga dapat diasumsikan bahwa hermenutika berangkat dari symbol dan simbol berangkat dari sebuah kesaksian yang merupakan ranah pengalaman sebelum masuk ke dalam ranah teologi atau mitos. 

Simbol primer dalam hal ini adalah unsur bahasa yang harus dibedakan dengan simbol mitis. Simbol mitis lebih banyak diceritakan, menciptakan ruang bagi dimensi naratif, misal penokohan, latar tempat dan waktu di dalam fabel. Tidak semua tanda (sign) merupakan simbol. Simbol mensyaratkan intensionalitas ganda. Dalam interpretasi symbol Ricouer mencoba menepis fenomena dengan menggunakan totalitas symbol, atau lingkaran makna di luar simbol primer. Selain lingkaran symbol dan symbol asumsi symbol primer tadi, Ricouer juga menyebut di luar symbol tersebut terdapat symbol kejahatan, symbol kejahatan ini digunakan dalam menginterpretasi symbol atas karya sastra, kajian mitologi budaya  (Indraningsih, 2016).

Asumsi kedua adalah bahasa sebagai titik tolak dari hermeneuitka untuk menginterpretasi sebuah gejala atau simbol.  Simbol dan tanda, atau pesan berita yang kerap berbentuk teks tentu membutuhkan interpretasi atas adanya pengirim, penerima pesan, kurir atau perantara.  sehingga menjadikan hubungan subyek dan obyek sebagai suatu pertalian kuat dalam interpretasi teks, meski ada juga tokoh hermeneutic selain Gdamer memisahkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun