Beda lagi dengan novel "Orang-Orang Biasa" (2019), karya Andrea Hirata ke-10 tersebut mengajak kita meneguk liur kita sendiri sambil memikirkan bersama atas kasus tokoh, siapa gerangan menanggung keadaan menimpa tokoh?Â
Orang tua, sekolah, lingkungan masyarakat, tokoh agama, polisi (komendan), atau pejabat Negara. Seperti sebuah lelucon; pertanyaan saya siapa gerangan berani memerankan tokoh Sobri (seorang penyabar).Â
Saya yakin Hirata bukan pecandu kopi, alcoholic, pelamun, alay, perokok berat; melihat gaya tulisan dari "Orang-Orang Biasa" tentu sering ketawa sendiri bahkan mungkin di tempat ramai.Â
Siapapun melihat dialog tokoh sebelum masuk ke inti persoalan, tema dan almanac tulisan akan tertawa dulu membayangkan Ikal, Lintang, si Kribo sekawan. Begituhalnya adegan pa Polisi mencari laporan kasus, adegan Sabri dan Sembilan tokoh lainnya.Â
Diceritakan pada awal bahwa minimnya kejahatan di Belantik, membuat aparat bingung. Saya membayangkan sungai Linggang sangat dekat dengan kantor Polisi tempat para alumnus SMA berdatangan membuat surat sakti atas kejahatan kecilnya.Â
Penulis pada dasarnya seperti city hunter ingin mengungkap kasus besar tidak dengan cara hukum sebab tak ada lagi warga datang melapor atas kejahatan kecil.Â
Lalu tiba-tiba melompat pada kasus ke dua, begitu terpisah dengan kisah kemudian ketemu diakhir cerita dengan kelakuan konyol para tokoh dungu namun begitu nekad.Â
Hal-hal tersebut menyimpan lelucon bagi penulis dan viewers serta menyerahkan kisah-kisah tersebut kepada kita semua jika rela membuka mata batin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H