Timur Tengah dan Israel telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika geopolitik kawasan tersebut. Salah satu aktor yang paling vokal dalam perlawanan terhadap Israel adalah Hezbollah, kelompok militan syiah yang berbasis di Lebanon dan didukung Iran. Upaya perlawanan masif terbaru dari Hezbollah terhadap Israel memunculkan sejumlah kritik, terutama terkait pola historis negara-negara dan partai politik di Timur Tengah yang tampaknya tidak pernah belajar dari sejarah konflik mereka dengan Israel. Realitas politik dan militer menunjukkan bahwa banyak negara dan kelompok di Timur Tengah, meskipun berulang kali melawan Israel, sering kali berakhir dengan kerugian yang jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang mereka harapkan.
Konflik berkepanjangan antara kelompok-kelompok militan diKeunggulan Militer dan Intelijen Israel, serta Pola Historis Perang yang Menguntungkan Israel
Sejak awal berdirinya pada tahun 1948, Israel menghadapi berbagai ancaman dari negara-negara tetangga dan kelompok militan. Namun, satu hal yang konsisten, Israel selalu mampu menghadapi berbagai bentuk perlawanan tersebut. Israel telah membangun kekuatan militer yang tangguh, dilengkapi dengan teknologi pertahanan mutakhir, serta dukungan kuat dari negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Dengan anggaran pertahanan yang besar, Israel berhasil menciptakan sistem pertahanan canggih seperti Iron Dome dan mengembangkan jaringan intelijen yang kuat melalui Mossad.
Sebaliknya, meskipun dukungan dari Iran dan Suriah terhadap Hezbollah terus mengalir, kelompok tersebut tetap jauh di bawah Israel dalam hal kemampuan militer, logistik, dan intelijen. Berkaca pada perang Lebanon 2006, meskipun Hezbollah mampu melakukan serangan yang signifikan terhadap Israel, kerusakan yang ditimbulkan pada infrastruktur dan kehidupan di Lebanon jauh lebih besar. Perang tersebut menunjukkan ketidakseimbangan kekuatan yang jelas, dengan Israel selalu cepat merespon dan menyebabkan kehancuran yang sangat besar di Lebanon.
Negara-negara seperti Mesir, Yordania, dan Irak telah terlibat dalam sejumlah konflik militer melawan Israel sejak perang Arab-Israel pertama. Akan tetapi, hasil akhirnya selalu menunjukkan bahwa Israel keluar sebagai pemenang, sementara negara-negara yang menantangnya mengalami kekalahan telak, kehilangan wilayah, serta kerugian ekonomi dan politik. Mesir, misalnya, setelah kehilangan Semenanjung Sinai dalam Perang Enam Hari pada 1967, baru berhasil merebutnya kembali setelah membuat perjanjian damai dengan Israel pada 1979, yang secara signifikan mengubah dinamika kekuatan di kawasan. Bahkan, Mesir akhirnya menjadi rekan diplomatik Israel yang masih berlangsung hingga saat ini, hasil yang tidak pernah terbayangkan pada dekade 1960an.
Namun, meskipun kekalahan tersebut sudah tercatat dalam sejarah, banyak kelompok politik dan militan di Timur Tengah masih mempertahankan narasi "perlawanan terhadap Israel" sebagai bagian dari agenda politik mereka. Narasi ini sering kali digunakan untuk mempertahankan popularitas di kalangan masyarakat, khususnya di tengah keterpurukan ekonomi dan ketidakstabilan politik internal. Sayangnya, keputusan untuk terus melawan Israel tidak pernah mempertimbangkan kapasitas militer dan dampak destruktif yang bisa timbul bagi rakyat yang mereka pimpin.
Politik Identitas dan Ketidakmampuan Belajar dari Sejarah
Salah satu akar masalah dari kegigihan perlawanan Hezbollah dan negara-negara lain terhadap Israel adalah politik identitas yang sangat kuat di Timur Tengah. Banyak partai politik dan kelompok militan yang menggunakan narasi perlawanan terhadap Israel sebagai alat untuk meraih legitimasi politik di mata rakyat mereka. Perlawanan ini bukan hanya soal kepentingan geopolitik, melainkan soal kebanggaan identitas Arab atau Islam yang selalu dianggap terancam oleh keberadaan Israel.
Kenyataan pahitnya, narasi ini justru seringkali mengorbankan rakyat yang mereka klaim sedang dibela. Alih-alih memperkuat posisi politik mereka, perang dan konflik bersenjata yang berkepanjangan sering kali hanya memperparah kemiskinan, memicu pengungsian massal, serta menghancurkan infrastruktur penting. Negara-negara seperti Suriah, Irak, dan Libya, yang pernah menjadi pusat kekuatan perlawanan terhadap Israel, kini berada dalam kehancuran akibat perang sipil dan intervensi asing, yang diperburuk oleh agenda anti-Israel.
Sama halnya dengan yang terjadi saat ini, deklarasi perang Hezbollah terhadap Israel seolah mengabaikan kenyataan bahwa Lebanon sendiri sedang berada dalam krisis ekonomi dan politik yang sangat parah. Sejak ledakan besar di Beirut pada tahun 2020 dan runtuhnya nilai mata uang Lebanon dari kisaran 14.939 menjadi 89.662 per dolar Amerika Serikat (AS) dalam kurun waktu setahun, rakyat Lebanon telah berada di ujung keputusasaan. Dalam konteks ini, langkah Hezbollah untuk kembali mendeklarasikan perang melawan Israel bukan hanya tidak realistis, tetapi juga berisiko memperburuk penderitaan rakyat Lebanon.Â
Jika Hezbollah melanjutkan aksi militer, skenario terburuk yang bisa terjadi adalah kehancuran infrastruktur Lebanon, sanksi internasional yang lebih berat, serta pengungsian massal yang akan memperburuk krisis kemanusiaan di negara tersebut. Alih-alih memperjuangkan kemerdekaan Palestina atau memperkuat posisi politik di kawasan, Hezbollah justru berpotensi menghancurkan masa depan Lebanon dan bahkan mempercepat kehilangan Lebanon dari peta dunia.
Hubungan Khusus dengan AS: Faktor Menguntungkan Lainnya untuk Israel
Israel juga memiliki keunggulan signifikan, baik secara militer maupun diplomatik, dengan adanya dukungan besar dari AS. Hingga Februari 2022, Israel telah menerima bantuan dari AS sebesar $150 miliar, yang mencakup bantuan militer, ekonomi, serta pinjaman untuk membantu stabilitas ekonomi dan sosial di Israel.Â
Dengan kekuatan militer yang ditingkatkan oleh dukungan ini, Israel selalu dapat mengatasi serangan dari kelompok militan seperti Hezbollah, sementara pihak lawan justru mengalami kerugian yang lebih besar. Bantuan ekonomi dan militer yang terus mengalir dari AS telah memperkuat posisi Israel secara global, khususnya di kawasan Timur Tengah.Â
AS telah memberikan dukungan politik yang signifikan, menggunakan hak veto sebanyak 42 kali di Dewan Keamanan PBB untuk melindungi Israel dari resolusi yang menentangnya. Selain itu, AS secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada tahun 2018, yang menandai langkah diplomatik penting dalam hubungan kedua negara.Â
Bahkan di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, AS juga membantu memulihkan hubungan diplomatik Israel dengan sejumlah negara Timur Tengah, seperti Persatuan Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan melalui Perjanjian Abraham. Kombinasi antara dukungan finansial, militer, dan politik ini memberikan Israel keuntungan strategis yang tak terbantahkan di Timur Tengah, menjadikan perjuangan militan seperti Hezbollah tampak tidak sebanding dengan kekuatan Israel yang terus meningkat.
Hubungan bilateral Israel-AS juga semakin memperkuat peran Israel sebagai sekutu strategis bagi AS. Israel tidak hanya menjadi mitra dagang penting, dengan total perdagangan mencapai hampir $50 miliar pada tahun 2023, tetapi juga berfungsi sebagai "pangkalan" militer yang memperkuat pengaruh Amerika di kawasan tersebut. Lebih dari 650 perusahaan teknologi Israel beroperasi di AS, memberikan kontribusi ekonomi yang luas. Karena dukungan strategis ini, Israel sering dianggap sebagai "kapal induk AS di Timur Tengah", menjadikannya kekuatan yang sangat sulit dilawan oleh negara-negara atau kelompok militan di kawasan tersebut.
Dengan kata lain, perlawanan yang dilakukan oleh Hezbollah terhadap Israel tidak hanya mengulang sejarah kegagalan di Timur Tengah, tetapi juga mengabaikan kenyataan hubungan strategis antara Israel dan AS. Bantuan militer dan dukungan politik yang terus mengalir dari Washington membuat Israel tetap berada dalam posisi yang unggul dalam setiap konfrontasi. Sementara itu, negara-negara dan kelompok-kelompok yang terus melawan Israel pada akhirnya menghadapi kerugian besar bagi rakyat mereka sendiri.Â
Demi masa depan yang lebih baik, Hezbollah dan negara-negara Timur Tengah perlu mempertimbangkan kembali pendekatan mereka dan mencari solusi diplomatik yang lebih realistis untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan dengan Israel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H