Rencana Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih untuk periode 2024-20229 untuk membentuk zaken kabinet --- kabinet yang diisi oleh para profesional dan teknokrat di luar struktur partai politik --- telah menuai perhatian publik dan politisi. Gagasan ini sekilas terlihat sebagai upaya yang terpuji untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi dominasi elite partisan dalam pemerintahan. Namun, seperti semua inovasi dalam sistem politik, rencana ini perlu dikaji secara lebih mendalam untuk memahami potensi keunggulannya sekaligus risiko-risiko yang tersembunyi. Ada beberapa kritik tajam yang perlu dibahas terkait efektivitas dan keberlanjutan konsep zaken kabinet dalam konteks politik Indonesia yang unik.
Potensi Erosi Demokrasi dan Peran Partai Politik
Dalam konteks demokrasi, partai politik memainkan peran sentral sebagai jembatan antara kehendak rakyat dan kebijakan pemerintah. Mereka memberikan wadah bagi aspirasi masyarakat dan memastikan bahwa pemerintahan tetap akuntabel terhadap kepentingan publik. Dengan meminggirkan peran partai dalam pembentukan kabinet, zaken kabinet berpotensi melemahkan mekanisme representasi ini.
Pada satu sisi, gagasan untuk mengurangi pengaruh politik partisan di kabinet mungkin dimaksudkan untuk memastikan kebijakan lebih didasarkan pada keahlian teknis daripada kalkulasi politik. Namun, apakah teknokrat yang dipilih nantinya bisa benar-benar mewakili aspirasi rakyat? Dalam sejarah politik, terutama di Indonesia, profesional yang diangkat ke posisi pemerintahan seringkali memiliki afiliasi tersembunyi dengan kekuatan politik atau ekonomi tertentu, yang berpotensi menggerogoti kepercayaan publik.
Lebih jauh, dengan mengurangi representasi partai politik dalam kabinet, siapa yang akan memastikan bahwa kebijakan yang diambil oleh teknokrat tetap mendapat dukungan politik di parlemen? Dalam demokrasi yang sehat, proses politik tidak bisa sepenuhnya didominasi oleh teknokrasi; ia membutuhkan elemen representasi yang kuat untuk memastikan bahwa kepentingan rakyat dari berbagai latar belakang sosial tetap terwakili.
Dilema antara Profesionalisme dan Politik
Salah satu premis utama zaken kabinet adalah mengandalkan keahlian teknis untuk menghadapi tantangan kompleks dalam birokrasi pemerintahan. Akan tetapi, ada dilema lainnya yang sering muncul dalam teknokrasi, ketidakmampuan teknokrat untuk beroperasi dalam konteks politik yang dinamis. Pemerintahan bukanlah sekadar soal efisiensi, tetapi juga soal bagaimana kebijakan dibuat dan diterima oleh masyarakat. Profesionalisme yang terpisah dari sensitivitas politik seringkali gagal memahami kebutuhan dan tuntutan rakyat yang beragam, serta berisiko pada munculnya ketidakstabilan pergerakan rakyat dan bahkan dapat berisiko pada revolusi.
Contohnya, kebijakan ekonomi yang terlalu berorientasi pada stabilitas makro, tetapi mengabaikan dampak terhadap kelompok masyarakat miskin. Di Indonesia, teknokrat seringkali lebih dekat dengan agenda-agenda neoliberalisme, yang sebenarnya bagus karena bertujuan untuk menciptakan efektivitas kebijakan pemerintah dan efisiensi penggunaan anggaran negara, tetapi tidak selalu sesuai dengan kebutuhan ekonomi rakyat kecil. Dalam hal ini, kebijakan yang digagas teknokrat mungkin dianggap sebagai pengaplikasian teori ilmiah berbasis data yang kuat, tetapi bisa gagal dalam hal penerimaan politik dan sosial.
Pada akhirnya, keputusan yang diambil tidak hanya harus benar dari sisi teknis, tetapi juga harus relevan secara politik dan sosial. Keseimbangan ini sulit dicapai tanpa partisipasi aktif dari aktor politik yang memahami dinamika lapangan, terutama dari partai-partai yang mewakili basis konstituen.
Independensi dan Kepentingan di Balik Teknis
Tantangan utama lainnya dari zaken kabinet adalah memastikan bahwa para profesional yang dipilih benar-benar independen dan tidak memiliki konflik kepentingan. Banyak yang khawatir bahwa teknokrat yang diangkat ke dalam kabinet justru berafiliasi dengan kepentingan bisnis atau kelompok elite tertentu, meskipun tidak secara langsung terikat dengan partai politik. Di Indonesia, keterkaitan antara elite politik, bisnis, dan teknokrat bukanlah fenomena baru.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan kritis: sejauh mana para teknokrat ini dapat membuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat, bukan hanya segelintir elite? Tanpa akuntabilitas politik yang kuat, teknokrat berpotensi lebih tunduk pada kepentingan ekonomi elite bisnis yang mendukung mereka daripada kepada rakyat. Risiko ini makin nyata dalam konteks Indonesia, di mana oligarki ekonomi memainkan peran besar dalam proses politik dan pengambilan keputusan pemerintah.
Misalnya, sektor energi dan pengelolaan sumber daya alam, termasuk industri nikel dan kelapa sawit yang besar, sering menjadi sasaran kebijakan pemerintah. Tanpa adanya pengawasan politik yang kuat, teknokrat yang dekat dengan industri tersebut dapat membuat kebijakan yang lebih menguntungkan perusahaan-perusahaan besar dibandingkan melindungi lingkungan atau masyarakat adat yang terdampak.
Kekhawatiran Soal Stabilitas Koalisi Politik
Di Indonesia, sistem politik multipartai menghasilkan koalisi yang kompleks. Setiap pemerintahan harus bergantung pada dukungan parlemen untuk menjalankan agenda-agenda penting. Dalam skenario di mana kabinet diisi oleh teknokrat yang tidak berasal dari partai politik, bagaimana stabilitas koalisi akan terjaga?
Dalam kasus zaken kabinet, partai politik yang merasa tersisih dari pengambilan keputusan mungkin akan lebih cenderung mengambil sikap oposisi yang keras di parlemen. Ini bisa berujung pada kebuntuan politik yang akan menyulitkan pemerintah dalam menjalankan agenda-agendanya. Perdebatan antara kabinet yang diisi oleh profesional dan parlemen yang didominasi oleh politisi partai bisa mengarah pada ketidakstabilan politik yang tidak diinginkan. Sekalipun narasi bahwa teknokrat yang diangkat tetap punya kaitan dengan partai politik, tidak ada kepastian bahwa semua partai pendukung akan puas dengan keberadaan teknokrat yang dituntut untuk bertindak profesional tanpa intervensi besar dari partai mereka.
Sebagai perbandingan, sistem zaken kabinet di beberapa negara Eropa, seperti Belanda, hanya berjalan efektif karena adanya kultur politik yang matang dan kesepahaman antara partai politik dan profesional. Namun, apakah kultur politik Indonesia yang sangat berwarna dan sering kali bergejolak dapat mendukung model ini?
Refleksi Kritis Atas Rencana Prabowo
Rencana zaken kabinet Prabowo Subianto menawarkan janji pemerintahan yang lebih profesional, tetapi ada risiko besar yang menyertainya. Peran penting partai politik dalam demokrasi bisa tergerus, kepentingan rakyat bisa tergantikan oleh kepentingan elit bisnis, dan stabilitas politik bisa terguncang akibat ketidakpuasan dari partai-partai di parlemen.
Jika Prabowo benar-benar ingin mewujudkan zaken kabinet yang sukses, beliau harus memastikan bahwa teknokrat yang dipilih memiliki pemahaman mendalam tentang realitas politik dan sosial Indonesia. Lebih dari itu, mereka harus tetap akuntabel kepada publik melalui mekanisme politik yang ada, bukan hanya kepada kepentingan ekonomi atau elite tertentu. Kombinasi antara profesionalisme teknis dan sensitivitas politik inilah yang akan menentukan keberhasilan zaken kabinet di Indonesia nantinya dalam kabinet dari presiden baru Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI