Mohon tunggu...
Aldo
Aldo Mohon Tunggu... Lainnya - Detektif informasi, pemintal cerita, dan pemuja mise-en-scène

Everyone says that words can hurt. But have they ever been hurt by the deafening silence? It lingers like the awkward echo after a bad joke, leaving you wondering if you've been forgotten, ostracized, or simply become so utterly uninteresting that even crickets find your company unbearable.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rencana Zaken Kabinet Prabowo Subianto: Dilema Profesionalisme dan Akuntabilitas Politik

21 September 2024   14:47 Diperbarui: 21 September 2024   19:58 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jajaran Kabinet Indonesia Maju di Depan Istana Garuda IKN (ANTARA/HO-Kementerian ATR)

Rencana Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih untuk periode 2024-20229 untuk membentuk zaken kabinet --- kabinet yang diisi oleh para profesional dan teknokrat di luar struktur partai politik --- telah menuai perhatian publik dan politisi. Gagasan ini sekilas terlihat sebagai upaya yang terpuji untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi dominasi elite partisan dalam pemerintahan. Namun, seperti semua inovasi dalam sistem politik, rencana ini perlu dikaji secara lebih mendalam untuk memahami potensi keunggulannya sekaligus risiko-risiko yang tersembunyi. Ada beberapa kritik tajam yang perlu dibahas terkait efektivitas dan keberlanjutan konsep zaken kabinet dalam konteks politik Indonesia yang unik.

Potensi Erosi Demokrasi dan Peran Partai Politik

Dalam konteks demokrasi, partai politik memainkan peran sentral sebagai jembatan antara kehendak rakyat dan kebijakan pemerintah. Mereka memberikan wadah bagi aspirasi masyarakat dan memastikan bahwa pemerintahan tetap akuntabel terhadap kepentingan publik. Dengan meminggirkan peran partai dalam pembentukan kabinet, zaken kabinet berpotensi melemahkan mekanisme representasi ini.

Pada satu sisi, gagasan untuk mengurangi pengaruh politik partisan di kabinet mungkin dimaksudkan untuk memastikan kebijakan lebih didasarkan pada keahlian teknis daripada kalkulasi politik. Namun, apakah teknokrat yang dipilih nantinya bisa benar-benar mewakili aspirasi rakyat? Dalam sejarah politik, terutama di Indonesia, profesional yang diangkat ke posisi pemerintahan seringkali memiliki afiliasi tersembunyi dengan kekuatan politik atau ekonomi tertentu, yang berpotensi menggerogoti kepercayaan publik.

Lebih jauh, dengan mengurangi representasi partai politik dalam kabinet, siapa yang akan memastikan bahwa kebijakan yang diambil oleh teknokrat tetap mendapat dukungan politik di parlemen? Dalam demokrasi yang sehat, proses politik tidak bisa sepenuhnya didominasi oleh teknokrasi; ia membutuhkan elemen representasi yang kuat untuk memastikan bahwa kepentingan rakyat dari berbagai latar belakang sosial tetap terwakili.

Dilema antara Profesionalisme dan Politik

Salah satu premis utama zaken kabinet adalah mengandalkan keahlian teknis untuk menghadapi tantangan kompleks dalam birokrasi pemerintahan. Akan tetapi, ada dilema lainnya yang sering muncul dalam teknokrasi, ketidakmampuan teknokrat untuk beroperasi dalam konteks politik yang dinamis. Pemerintahan bukanlah sekadar soal efisiensi, tetapi juga soal bagaimana kebijakan dibuat dan diterima oleh masyarakat. Profesionalisme yang terpisah dari sensitivitas politik seringkali gagal memahami kebutuhan dan tuntutan rakyat yang beragam, serta berisiko pada munculnya ketidakstabilan pergerakan rakyat dan bahkan dapat berisiko pada revolusi.

Contohnya, kebijakan ekonomi yang terlalu berorientasi pada stabilitas makro, tetapi mengabaikan dampak terhadap kelompok masyarakat miskin. Di Indonesia, teknokrat seringkali lebih dekat dengan agenda-agenda neoliberalisme, yang sebenarnya bagus karena bertujuan untuk menciptakan efektivitas kebijakan pemerintah dan efisiensi penggunaan anggaran negara, tetapi tidak selalu sesuai dengan kebutuhan ekonomi rakyat kecil. Dalam hal ini, kebijakan yang digagas teknokrat mungkin dianggap sebagai pengaplikasian teori ilmiah berbasis data yang kuat, tetapi bisa gagal dalam hal penerimaan politik dan sosial.

Pada akhirnya, keputusan yang diambil tidak hanya harus benar dari sisi teknis, tetapi juga harus relevan secara politik dan sosial. Keseimbangan ini sulit dicapai tanpa partisipasi aktif dari aktor politik yang memahami dinamika lapangan, terutama dari partai-partai yang mewakili basis konstituen.

Independensi dan Kepentingan di Balik Teknis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun