McDonnell Douglas, yang dikenal dengan fokus militer dan sejarah langkah-langkah pemotongan biaya, bisa dibilang memperkenalkan pola pikir yang secara halus mulai mengikis etos Boeing yang berpusat pada teknik dan kualitas.
Dedikasi yang dulu dianggap sakral terhadap desain yang ketat dan pengujian menyeluruh tampaknya menghadapi tekanan yang meningkat dari tuntutan pasar dan ekspektasi pemegang saham, termasuk eksekutif bawaan dari McDonnell Douglas.
Tekanan untuk Bersaing -- Munculnya 737 MAX
Pada awal dekade 2010-an, Boeing menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dari pesaing beratnya di Eropa, Airbus. Pesawat Airbus A320neo, yang menawarkan efisiensi bahan bakar yang lebih baik berkat mesin barunya, dengan cepat memperoleh pangsa pasar.Â
Dengan keinginan untuk melawan kesuksesan Airbus tersebut, Boeing memulai sebuah program dengan konsekuensi yang akhirnya sangat fatal: pengembangan pesawat Boeing 737 MAX.
Alih-alih melakukan desain ulang yang mahal dan memakan waktu dari pesawat induk lamanya, Boeing 737 Next Generation, Boeing mengincar solusi yang cepat dan mengutamakan keuntungan.Â
Program Boeing 737 MAX dirancang untuk menggabungkan mesin yang lebih besar dan efisien sambil meminimalkan perubahan yang akan memerlukan pelatihan ulang pilot yang ekstensif.
Akan tetapi, mesin baru tersebut secara fundamental mengubah karakteristik penerbangan pesawat Boeing kelas ini. Untuk melawan kecenderungan pesawat untuk naik ke atas, Boeing menerapkan sistem MCAS yang kini terkenal.Â
Yang terpenting dari MCAS, perangkat lunak ini bergantung pada satu sensor untuk data, menciptakan titik kegagalan yang berbahaya. Dorongan tanpa henti untuk menampilkan Boeing 737 MAX sebagai sekadar peningkatan, bukan sebagai pesawat yang dimodifikasi secara signifikan, memiliki implikasi yang mengerikan.
Para eksekutif Boeing melobi Badan Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA) secara agresif untuk melawan persyaratan pelatihan simulator yang mendalam.Â