Pertumbuhan ekonomi Indonesia telah mendorong bank-bank nasional menuju garis depan di Asia Tenggara. Akan tetapi, di balik kisah perkembangan yang mengesankan ini terdapat kontradiksi yang mendalam. Terlepas dari cita-cita ambisius Indonesia untuk mengurangi emisi, menghentikan deforestasi, dan melindungi keanekaragaman hayati, lembaga keuangan Indonesia tetap menjadi pemodal utama sektor-sektor yang justru menghancurkan hutan bangsa dan memicu kehilangan biodiversitas. Artikel ini secara kritis mengkaji ketidakselarasan mendasar ini, mengungkap skala masalah, kegagalan perlindungan tanggung jawab lingkungan, sosial, dan tata kekola (ESG), kelemahan dalam lingkungan peraturan domestik, serta meningkatnya risiko yang mengancam kemakmuran jangka panjang Indonesia dan tempatnya di dunia yang semakin sadar iklim.
Kebangkitan Deforestasi: Perusahaan Bayangan dan Pengawasan Perbankan yang Lemah
Meskipun Indonesia telah membuat langkah dalam mengurangi tingkat deforestasi secara keseluruhan dalam beberapa tahun terakhir, tren yang mengkhawatirkan telah muncul. Deforestasi terkait dengan sektor pulp & paper dan kelapa sawit telah mengalami peningkatan yang signifikan. Data mengungkapkan peningkatan lima kali lipat dalam deforestasi untuk perkebunan pulp pada tahun 2022 dibandingkan dengan tahun 2017, dengan Provinsi Riau saja mengalami lonjakan deforestasi sebesar 69% pada tahun 2023 dibandingkan dengan rata-rata baru-baru ini. Kebangkitan ini mengungkapkan perubahan taktik -- hilangnya hutan yang utamanya sekarang dilakukan oleh 'perusahaan bayangan' dengan kepemilikan yang tidak jelas dan struktur perusahaan yang kompleks. Entitas-entitas ini seringkali memiliki hubungan dengan kelompok korporasi besar dan terkenal, memungkinkan perusahaan-perusahaan tersebut untuk menghindari tanggung jawab dan menghindari komitmen Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut, Tanpa Eksploitasi (NDPE).
Pemodal yang kemungkinan membiayai operasi bayangan ini terdiri dari bank-bank domestik Indonesia. Dalam periode antara 2016 hingga September 2023, lembaga-lembaga jasa keuangan Indonesia menyediakan sekitar $30,5 miliar atau setara Rp483 triliun (40%) dari kredit yang mengalir ke sektor-sektor dengan risiko hutan paling besar di negara Indonesia: kelapa sawit, pulp & paper, karet, dan kayu. Pembiayaan ini terkonsentrasi secara mengkhawatirkan pada Sinar Mas Group, konglomerat besar di bidang pulp & paper (Asia Pulp & Paper) dan kelapa sawit (Golden Agri Resources) yang menerima 38% dari kredit yang teridentifikasi, menyoroti pengaruh dan eksposur sektor perbankan Indonesia yang sangat besar terhadap sejumlah aktor pengrusakan lingkungan.
Kekhawatiran seputar pembiayaan deforestasi juga semakin diperparah oleh peran investor internasional yang memegang obligasi dan saham senilai $11 miliar atau setara Rp174 triliun yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan yang aktif pada komoditas berisiko hutan di Indonesia. Sebagian besar dari investasi tersebut terkait dengan korporasi pada industri minyak kelapa sawit, terhitung lebih dari 90% ($10 miliar atau setara Rp158 triliun) dan sekitar 5% lainnya pada pulp & paper ($540 juta atau setara Rp8,57 triliun) dan 3% untuk  karet ($324 juta atau setara Rp5,14 triliun).
Kebijakan ESG: Ketinggalan dan Sering Diakali
Bank-bank Indonesia memiliki nilai yang buruk dalam hal kekuatan kebijakan ESG terkait sektor-sektor dengan risiko hutan. Sementara beberapa bank mendapat skor sedikit lebih tinggi pada risiko lingkungan dan tata kelola, kinerja secara keseluruhan tertinggal dari rekan-rekan regional, terutama dalam menangani risiko sosial. Selanjutnya, beberapa bank yang dikendalikan asing, yang merupakan penandatangan kerangka kerja NDPE, memiliki kepemilikan saham yang signifikan di bank-bank Indonesia dengan penerapan komitmen tersebut di tingkat anak perusahaan yang tidak konsisten dan efektif dalam mengurangi pembiayaan deforestasi. Kerentanan utama lainnya juga meliputi kegagalan bank-bank Indonesia untuk menerapkan pendekatan 'kelompok perusahaan' terhadap kebijakan ESG mereka, yang memungkinkan korporasi besar untuk menghindari pengawasan atas kegiatan terlarang yang dilakukan oleh perusahaan bayangan yang terkait dengan operasi mereka, yang pada akhirnya memberikan entitas yang merusak ini jalur bebas dengan kedok identitas perusahaan yang terpisah.
Risiko Iklim, Ilusi Pengungkapan, dan Perisai Regulasi yang Melemah
Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Tata Guna Lahan (AFOLU) Indonesia merupakan sumber emisi gas rumah kaca terbesar, dengan perkebunan pulp saja memancarkan rata-rata tahunan sebesar 103 juta ton CO2e, setara dengan sekitar 7% dari total emisi nasional Indonesia pada tahun 2020. Pembiayaan industri padat karbon menempatkan bank-bank Indonesia tepat di pusat akumulasi risiko iklim. Sementara beberapa bank, seperti BRI, telah mulai melaporkan risiko iklim berdasarkan kerangka kerja Taskforce on Climate Related Financial Disclosures (TCFD), pemutusan hubungan yang mencolok tetap ada melalui kebijakan yang hanya fokus pada mitigasi risiko dalam portofolio daripada menangani akar penyebab emisi -- deforestasi berkelanjutan, penghancuran lahan gambut, dan kebakaran yang mengikutinya.
Lingkungan regulasi Indonesia seputar keuangan berkelanjutan juga tampaknya bergerak mundur. Perubahan pada Taksonomi Hijau Indonesia telah menghilangkan kategori 'tidak berkelanjutan', yang secara efektif mencuci sejumlah besar aktivitas berbahaya. Selain itu, mengklasifikasikan secara otomatis pinjaman kepada usaha kecil dan menengah (UMKM) sebagai 'berkelanjutan' menimbulkan ancaman yang besar. Perkebunan kelapa sawit UMKM, misalnya, dapat mencakup perusahaan dengan omset tahunan yang signifikan (hingga Rp50 miliar atau $3,2 juta) dengan jejak lingkungan yang substansial. Celah ini memberi bank-bank Indonesia saluran yang nyaman untuk pembiayaan deforestasi dengan kedok pinjaman berkelanjutan.
Konsekuensi dan Dorongan untuk Berubah
Ketidakselarasan antara ambisi lingkungan Indonesia dan praktik pembiayaan sektor keuangan membawa konsekuensi berat, berdampak tidak hanya pada masa depan Indonesia tetapi juga pada perjuangan global melawan perubahan iklim. Pembiayaan lanjutan untuk sektor-sektor yang berisiko terhadap hutan secara langsung merusak Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) dari Indonesia, serta komitmen untuk menghentikan deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati. Setiap hektar hutan yang hilang melemahkan kemampuan Indonesia untuk bertindak sebagai penyerap karbon dan mempercepat pengrusakan lingkungan. Penghancuran ekosistem kritis mengganggu layanan ekologi vital, membahayakan keamanan air, dan menggusur spesies yang tidak terhitung jumlahnya. Deforestasi yang sering memicu perebutan hak atas tanah dan konflik dengan masyarakat adat yang secara tradisional mengandalkan sumber daya hutan untuk kelangsungan hidup mereka dapat menyebabkan keresahan sosial dan pelanggaran hak asasi manusia, yang semakin mengguncang daerah-daerah yang terkena dampak.
Bank-bank yang terkait dengan perusahaan terkait deforestasi menghadapi potensi akan kerusakan reputasi yang meningkat. Investor semakin memprioritaskan faktor ESG dalam pengambilan keputusan mereka, serta pembiayaan berkelanjutan untuk praktik yang tidak berkelanjutan dapat menyebabkan divestasi dan pengecualian dari pasar keuangan internasional. Berinvestasi dalam industri padat karbon mengunci Indonesia ke dalam masa depan dengan karbon tinggi. Seiring dengan semakin ketatnya peraturan perubahan iklim dan pergeseran preferensi konsumen menuju produk berkelanjutan, pembiayaan deforestasi berkontribusi pada penciptaan aset terdampar -- investasi yang menjadi tidak berharga karena dinamika pasar yang berubah. Kondisi ini tidak hanya melemahkan kesehatan keuangan bank-bank Indonesia tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi dan stabilitas jangka panjang.
Disclaimer: Artikel ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Forests & Finance, yang merupakan suatu koalisi yang terdiri dari organisasi non-profit kampanye, akar rumput, dan penelitian. Untuk informasi lebih lanjut, dapat mengunjungi situs mereka pada link berikut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI