Risiko Iklim, Ilusi Pengungkapan, dan Perisai Regulasi yang Melemah
Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Tata Guna Lahan (AFOLU) Indonesia merupakan sumber emisi gas rumah kaca terbesar, dengan perkebunan pulp saja memancarkan rata-rata tahunan sebesar 103 juta ton CO2e, setara dengan sekitar 7% dari total emisi nasional Indonesia pada tahun 2020. Pembiayaan industri padat karbon menempatkan bank-bank Indonesia tepat di pusat akumulasi risiko iklim. Sementara beberapa bank, seperti BRI, telah mulai melaporkan risiko iklim berdasarkan kerangka kerja Taskforce on Climate Related Financial Disclosures (TCFD), pemutusan hubungan yang mencolok tetap ada melalui kebijakan yang hanya fokus pada mitigasi risiko dalam portofolio daripada menangani akar penyebab emisi -- deforestasi berkelanjutan, penghancuran lahan gambut, dan kebakaran yang mengikutinya.
Lingkungan regulasi Indonesia seputar keuangan berkelanjutan juga tampaknya bergerak mundur. Perubahan pada Taksonomi Hijau Indonesia telah menghilangkan kategori 'tidak berkelanjutan', yang secara efektif mencuci sejumlah besar aktivitas berbahaya. Selain itu, mengklasifikasikan secara otomatis pinjaman kepada usaha kecil dan menengah (UMKM) sebagai 'berkelanjutan' menimbulkan ancaman yang besar. Perkebunan kelapa sawit UMKM, misalnya, dapat mencakup perusahaan dengan omset tahunan yang signifikan (hingga Rp50 miliar atau $3,2 juta) dengan jejak lingkungan yang substansial. Celah ini memberi bank-bank Indonesia saluran yang nyaman untuk pembiayaan deforestasi dengan kedok pinjaman berkelanjutan.
Konsekuensi dan Dorongan untuk Berubah
Ketidakselarasan antara ambisi lingkungan Indonesia dan praktik pembiayaan sektor keuangan membawa konsekuensi berat, berdampak tidak hanya pada masa depan Indonesia tetapi juga pada perjuangan global melawan perubahan iklim. Pembiayaan lanjutan untuk sektor-sektor yang berisiko terhadap hutan secara langsung merusak Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) dari Indonesia, serta komitmen untuk menghentikan deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati. Setiap hektar hutan yang hilang melemahkan kemampuan Indonesia untuk bertindak sebagai penyerap karbon dan mempercepat pengrusakan lingkungan. Penghancuran ekosistem kritis mengganggu layanan ekologi vital, membahayakan keamanan air, dan menggusur spesies yang tidak terhitung jumlahnya. Deforestasi yang sering memicu perebutan hak atas tanah dan konflik dengan masyarakat adat yang secara tradisional mengandalkan sumber daya hutan untuk kelangsungan hidup mereka dapat menyebabkan keresahan sosial dan pelanggaran hak asasi manusia, yang semakin mengguncang daerah-daerah yang terkena dampak.
Bank-bank yang terkait dengan perusahaan terkait deforestasi menghadapi potensi akan kerusakan reputasi yang meningkat. Investor semakin memprioritaskan faktor ESG dalam pengambilan keputusan mereka, serta pembiayaan berkelanjutan untuk praktik yang tidak berkelanjutan dapat menyebabkan divestasi dan pengecualian dari pasar keuangan internasional. Berinvestasi dalam industri padat karbon mengunci Indonesia ke dalam masa depan dengan karbon tinggi. Seiring dengan semakin ketatnya peraturan perubahan iklim dan pergeseran preferensi konsumen menuju produk berkelanjutan, pembiayaan deforestasi berkontribusi pada penciptaan aset terdampar -- investasi yang menjadi tidak berharga karena dinamika pasar yang berubah. Kondisi ini tidak hanya melemahkan kesehatan keuangan bank-bank Indonesia tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi dan stabilitas jangka panjang.
Disclaimer: Artikel ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Forests & Finance, yang merupakan suatu koalisi yang terdiri dari organisasi non-profit kampanye, akar rumput, dan penelitian. Untuk informasi lebih lanjut, dapat mengunjungi situs mereka pada link berikut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI