Mohon tunggu...
Aldo
Aldo Mohon Tunggu... Lainnya - Detektif informasi, pemintal cerita, dan pemuja mise-en-scène

Everyone says that words can hurt. But have they ever been hurt by the deafening silence? It lingers like the awkward echo after a bad joke, leaving you wondering if you've been forgotten, ostracized, or simply become so utterly uninteresting that even crickets find your company unbearable.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tiongkok Bukanlah Kekuatan Regional Asia

13 Maret 2024   14:06 Diperbarui: 13 Maret 2024   14:27 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Personil PLA di Depan Balai Agung Rakyat, Beijing (Yin Hon Chow via CNBC)

Jelas tidak terbantahkan lagi bahwa Tiongkok sedang naik daun. Dari titan ekonomi hingga keperkeasaan tenaga militer, negara tersebut telah mengukuhkan diri sebagai salah satu pemeran utama di panggung global. Akan tetapi, di balik layar kemenangan yang mengesankan, ada kelemahan yang menggerogoti Tiongkok dari dalam. Ambisi Tiongkok untuk menjadi hegemoni regional tidak sekokoh yang terlihat oleh masyarakat dunia. Meski pendapat ini kurang populer termasuk di masyarakat Indonesia, Tiongkok masih jauh dari menjadi kekuatan yang tidak hanya ditakuti, tapi juga dihormati dan didukung.  Jalan menuju dominasi regional dipenuhi ranjau, dan Tiongkok harus hati-hati agar tidak melangkah pada yang jalur salah.

Bangkitnya Raksasa yang Tak Lagi Bisa Bersembunyi

Tiongkok memasuki abad ke-21 dengan kekuatan yang tidak lagi bisa ditekan. Pada akhir dekade 2000-an, mustahil bagi Tiongkok untuk mengkamuflase raksasa ekonomi dan militer yang terus bertumbuh di balik bayang-bayang. Satu setengah dekade kemudian, terlihat jelas bahwa nasihat tokoh revolusioner dan negarawan Tiongkok yang menjabat sebagai pemimpin tertinggi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dari Desember 1978 hingga November 1989, Deng Xiao Ping untuk "menyembunyikan kekuatan" telah dikoyak. 

Tiongkok tidak lagi malu memamerkan pengaruhnya, bukan hanya ke tetangga-tetangga terdekatnya, tetapi juga negara-negara yang tidak berbagi perbatasan langsung dengan negara ini. Sengketa perbatasan berdarah dengan India di pegunungan Himalaya, pelanggaran Zona Identifikasi Pertahanan Udara Taiwan yang makin sering terjadi, serta pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara di Laut Tiongkok Selatan seolah menjadi langganan di berita-berita dunia seputar Tiongkok. Belum lagi, penemuan "kantor polisi Tiongkok ilegal" di Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Kanada menambah bara ketegangan global. Puncaknya, kontroversi balon mata-mata yang melintasi wilayah udara AS awal tahun ini makin memperlihatkan bahwa Tiongkok enggan main kucing-kucingan lagi. Meskipun demikian, terdapat sisi lain yang sama mencoloknya. Melalui Belt and Road Initiative (BRI) yang tersohor (atau tercela?), Tiongkok gencar mendanai proyek-proyek infrastruktur di negara-negara berkembang, termasuk banyak di antaranya yang terengah-engah di bawah beban utang yang berat. Tujuannya? Membangun rute-rute perdagangan yang akan menguntungkan Tiongkok secara masif. Sejumlah negara Asia menikmati angin segar ini, sementara sisanya menjadi contoh nyaring "diplomasi jebakan utang" ala Tiongkok.

Menimbang Kekuatan Tiongkok

Memiliki ekonomi terbesar kedua di dunia dan militer yang kian asertif, tidak ayal banyak pengamat lantas menyebut Tiongkok sebagai negara adidaya. Namun, mereka yang tidak sependapat memilih sebutan 'kekuatan regional', mengingat pengaruh Tiongkok yang masih sangat terkonsentrasi dalam dinamika kawasan Asia. Ironisnya, jika definisi 'kekuatan regional' ditelaah lebih jauh, Tiongkok ternyata tidaklah layak menyandang gelar tersebut. 

Kekuatan militer saja, meski bisa mempengaruhi urusan regional, belumlah cukup bagi sebuah negara untuk digelari 'kekuatan regional'. Ada empat kriteria yang lazimnya harus dipenuhi agar suatu negara layak disebut sebagai 'kekuatan regional': sumber daya yang memadai, penggunaan instrumen kebijakan luar negeri yang efektif, klaim atas kepemimpinan regional, dan yang terpenting, pengakuan peran kepemimpinan oleh negara-negara lain di kawasan terkait. 

Ide filsuf Italia Antonio Gramsci tentang hegemoni menggemakan gagasan penerimaan akan kepemimpinan ini. Hegemon sejati, menurut Gramsci, tidak hanya punya kekuatan politik dan ekonomi, tapi juga meraih dukungan dan persetujuan dari mereka yang dipimpinnya. Terlebih, hegemon regional diharapkan berperan sebagai pembawa perdamaian dan teladan moral. Di atas kertas, Tiongkok memenuhi beberapa syarat tersebut. Dengan penduduk lebih dari 1,4 miliar jiwa dan kekuatan tunggal Partai Komunis menyokong Produk Domestik Bruto (PDB) negara ini hingga menembus $17,7 triliun (lebih dari 10 kali lipat dari PDB Indonesia), hanya kalah dari AS dengan PDB $23,3 triliun. Ekonomi Tiongkok pun bukan lagi sekadar berbasis manufaktur, tetapi sudah mampu mendominasi sektor jasa. Di bidang militer, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) dengan 2 juta lebih personel aktif beroperasi dengan anggaran fantastis hingga $230 miliar, hanya kalah besar dari AS sebesar $766 miliar. Sebagai perbandingan, Indonesia memiliki anggaran pertahanan sebesar $8,8 miliar pada tahun 2022, dan jumlah anggaran militer Tiongkok tersebut melampaui gabungan kekuatan Jepang dan India. Tiongkok dengan 3 kapal induk dan pangkalan angkatan laut di luar negeri menempatkan mereka sebagai pemilik angkatan laut 'air biru' berkemampuan global. Rudal hipersonik PLA yang sanggup mengelak radar bahkan membuat AS ketar-ketir pada akhir 2023.

Kegagalan Hegemoni Tiongkok: Kelemahan Tersembunyi di Balik Kekuatan Kolosal

Dibalik gemerlapnya ekonomi Tiongkok dan citra kekuatan militer yang diproyeksikan, terdapat kerentanan yang mengkhawatirkan dari negara Tiongkok.  Kualitas sumber daya manusia (SDM) negara ini masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju di Asia, termasuk negara-negara tetangga mereka. Indeks pembangunan manusia (IPM) Tiongkok (0,768) masih relatif sangat timpang jika dibandingkan dengan  Korea Selatan, Jepang, bahkan negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura dan Brunei.

Di balik statistik militer yang mengesankan, terdapat keraguan besar lain tentang kualitas personil PLA. Banyak analis mempertanyakan efektivitas pelatihan PLA. Fokusnya selama ini lebih kepada doktrin perang tradisional dan propaganda, bukan pada pelatihan tempur modern yang realistis. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang kesiapan PLA dalam menghadapi konflik bersenjata modern. Meskipun Tiongkok telah mengalami kemajuan pesat dalam pengembangan teknologi militer, PLA masih tertinggal dari negara-negara maju dalam beberapa bidang penting, seperti sistem pertahanan udara, teknologi maritim, ataupun pertahanan dengan pesawat 'siluman'. PLA masih mengandalkan sistem pertahanan udara era Soviet yang sudah usang, dan belum memiliki sistem yang mampu menangkal rudal balistik hipersonik. Angkatan Laut PLA meskipun sudah memiliki jumlah kapal yang besar, tetapi teknologi maritimnya masih jauh tertinggal dari Angkatan Laut Amerika Serikat. PLA memiliki beberapa pesawat tempur siluman, tetapi teknologinya masih belum secanggih F-35 Amerika Serikat. 

Keberhasilan PLA dalam pertempuran modern juga masih belum terbukti, jauh berbeda dengan negara-negara dominan lainnya, seperti AS dan Rusia. Lebih lanjut, krisis populasi dan menyusutnya generasi muda yang produktif semakin memperburuk upaya Tiongkok untuk menjadi hegemoni regional dan global. Bom waktu demografis Tiongkok dapat sangat menghambat kekuatan ekonomi dan militer Tiongkok dalam jangka panjang.

Diplomasi yang Cacat: Gagal Memenangkan Tetangga dan Dunia

Diplomasi Tiongkok yang diwarnai dengan berbagai aspek yang tidak bersahabat, seperti "serigala pejuang" dan "jebakan utang", telah gagal secara mencolok dalam upaya untuk memenangkan hati dan pikiran negara-negara lain di kawasan Asia. Meskipun Tiongkok telah mencoba memperluas pengaruhnya melalui berbagai inisiatif, termasuk "Belt and Road Initiative" (BRI), upaya ini sering kali dianggap sebagai strategi yang lebih menguntungkan bagi Tiongkok sendiri daripada bagi negara-negara mitra. Meskipun BRI telah memberikan manfaat ekonomi bagi beberapa negara, banyak yang melihatnya sebagai bentuk jebakan utang yang dapat menempatkan negara-negara penerima dalam ketergantungan yang tidak sehat. 

Selain itu, kebijakan ini seringkali disoroti sebagai upaya neo-kolonialisme yang berpotensi merugikan negara-negara yang menerima bantuan tersebut. Sikap Tiongkok yang arogan dan tidak bersahabat terhadap negara-negara tetangga semakin memperburuk citranya di mata dunia. Pelanggaran wilayah udara dan maritim negara lain, bersamaan dengan pendekatan yang cenderung dominan dalam menangani konflik, telah menimbulkan ketegangan yang merugikan bagi stabilitas regional. Meskipun Tiongkok mungkin mencoba untuk menegaskan kehadirannya di panggung global, tindakan-tindakan semacam ini justru memperburuk persepsi terhadap negara tersebut dan menyulitkan upaya-upaya diplomasi yang lebih luas. Sebagai akibatnya, Tiongkok mungkin menemui tantangan yang semakin besar dalam membangun hubungan yang kokoh dan saling menguntungkan dengan negara-negara lain di kawasan dan di seluruh dunia.

Dengan demikian, Tiongkok masih memiliki jalan panjang untuk mencapai hegemoni regional. Tantangan terkait dengan kualitas SDM dan diplomasi yang cacat menjadi batu sandungan yang perlu diatasi. Jika Tiongkok ingin menjadi pemimpin yang diakui dan dihormati di kawasan Asia, mereka perlu mengubah pendekatannya dan fokus pada pembangunan yang berkelanjutan, kerjasama yang saling menguntungkan, dan diplomasi yang lebih halus. 

Pentingnya memperbaiki kualitas SDM tidak dapat dipandang remeh. Meskipun Tiongkok telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa, masih terdapat kebutuhan yang mendesak untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, serta memperbaiki sistem kesehatan dan kesejahteraan sosial. Hanya dengan memiliki SDM yang berkualitas, Tiongkok dapat memastikan keberlanjutan dan daya saingnya di pasar global yang semakin kompetitif. 

Di samping itu, sikap yang terlalu dominan dan kurangnya diplomasi Tiongkok yang seringkali merugikan negara mitra dalam menangani konflik menyulitkan upaya-upaya diplomasi yang lebih luas. Untuk memenangkan hati dan pikiran negara-negara lain di kawasan, Tiongkok perlu mengubah pendekatannya menjadi lebih lunak berorientasi pada solusi. Hanya dengan demikian, Tiongkok dapat membentuk hubungan yang kuat dan harmonis dengan negara-negara tetangganya serta memperkuat posisinya di panggung internasional secara keseluruhan dan menjadi kekuatan regional utama di kawasan Asia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun