Bahkan dengan sistem politik yang lebih dewasa, potensi fragmentasi tetap menjadi ancaman tanpa ambang batas. Sejarah di dunia banyak dipenuhi dengan contoh fenomena ini.
Fragmentasi yang berlebihan di Jerman era Republik Weimar membuka pintu bagi ekstremisme, sementara negara-negara kontemporer seperti Israel berjuang dengan ketidakstabilan pemerintah yang kronis karena menjamurnya partai-partai kecil.
Indonesia tentu tidak kebal dengan ancaman tersebut sekalipun terdapat argumen bahwa karakteristik negara ini sangat berbeda dibandingkan negara-negara tersebut.
Dalam pemilu 2019, dengan ambang batas 4%, sembilan partai memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jumlah ini bisa berlipat hingga 16 tanpa adanya ambang batas.
Walaupun pemerintahan koalisi adalah hal yang normal di bawah sistem Indonesia, fragmentasi berlebihan berisiko menciptakan rawa politik, ditandai dengan pertengkaran internal tanpa akhir, bukannya tindakan tegas.
Prioritas nasional yang mendesak seperti investasi infrastruktur, pembangunan kualitas sumber daya manusia, dan memerangi ketimpangan pendapatan bisa tersendat, membuat Indonesia tidak mampu menghadapi tantangan dunia yang berubah dengan cepat.
Lebih buruk lagi, banyaknya partai dengan ceruk sempit berisiko memicu ketegangan sosial. Keragaman Indonesia yang kaya adalah kekuatan nasional, tetapi badan legislatif yang didominasi oleh partai-partai yang melayani kepentingan etnis, agama, atau regional yang sempit dapat merusak persatuan nasional.
Teka-teki Hukum: Demokrasi Menjadi Tidak Bermakna
Representasi proporsional adalah landasan demokrasi Indonesia -- legislatur harus secara kasar mencerminkan kehendak rakyat. Menghapus ambang batas secara mendasar merusak prinsip ini.
Pertimbangkan ini: sebuah partai yang hanya memperoleh 1% suara nasional secara teoritis dapat mengumpulkan cukup kursi untuk menggunakan pengaruh yang tidak proporsional, yang berarti jutaan suara rakyat Indonesia bisa pada dasarnya dibungkam.
Ketidakwajaran ini menjadi suatu bentuk ejekan terhadap diadakannya pemilu yang kompleks dan komprehensif. Jika hasil pemilu memiliki sedikit kemiripan dengan representasi aktual dalam legislatif, kepercayaan publik pada proses demokrasi itu sendiri akan terkikis.