Mohon tunggu...
Andipati 2001
Andipati 2001 Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Suka nulis artikel random, cerpen dan puisi https://www.instagram.com/Andipati17/

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Karang Jati

25 Agustus 2024   14:01 Diperbarui: 25 Agustus 2024   14:02 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.wattpad.com/1471934162-catatan-para-setan-karang-jati-part-2?fbclid=IwY2xjawE3rVJleHRuA2FlbQIxMAABHexLtCua2ZJxOBFvaxbdr1u1PhJBOgvfqqCnTM7H

Arhan, si sulung yang menjadi tulang punggung keluarga sejak kepergian ayahnya lima tahun lalu, adalah seorang pemuda yang penuh tanggung jawab. Ia rela menunda mimpinya untuk melanjutkan kuliah demi membantu keluarganya bertahan hidup. Setiap hari, Arhan bangun sebelum fajar, bekerja keras demi mengumpulkan uang. Setelah bertahun-tahun, akhirnya ia memiliki cukup tabungan untuk kembali ke bangku kuliah. Tapi jalan yang harus ditempuhnya tidaklah mudah.

Pagi hingga siang hari, Arhan menghadiri kuliah dengan semangat. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang sudah lama dinantikannya. Meski tubuhnya sering lelah, matanya berat, ia tetap berusaha untuk menyerap ilmu yang diajarkan. Saat teman-teman sekelasnya menikmati waktu istirahat atau bersosialisasi, Arhan harus segera bergegas ke rumah untuk membuka les bagi anak-anak di sekitar rumahnya. Ia mengajar dengan sabar, berharap bisa memberi mereka ilmu yang bermanfaat sambil menambah penghasilannya.

Sore harinya, Arhan beralih profesi menjadi tukang ojek online. Jalanan Cirebon yang macet dan panas sudah menjadi teman sehari-harinya. Setiap kali ada orderan masuk, ia langsung bergerak tanpa mengeluh. Penghasilannya dari mengojek inilah yang menjadi tumpuan utama keluarganya. Malam semakin larut, tapi Arhan belum bisa berhenti. Kadang ia baru pulang jam dua, tiga, bahkan pernah ia pulang saat pagi sudah menyingsing, langsung bersiap untuk kuliah lagi tanpa sempat tidur. Hari-hari berat ini menguras tenaganya, tapi Arhan tidak pernah menyerah. Rasa kantuk yang sering menyerangnya di kelas dianggapnya sebagai bagian dari perjuangan. Meski matanya terpejam sesaat, pikirannya tetap berusaha mengikuti apa yang dosen sampaikan.

Suatu malam, pukul dua belas tengah malam, sebuah orderan masuk ke ponsel Arhan. Lokasinya cukup jauh, di pinggiran Kota Cirebon yang berdekatan dengan Kabupaten Cirebon. Meskipun jaraknya jauh dari rumah, Arhan tidak ragu untuk mengambilnya, sebab ongkos yang ditawarkan cukup besar. Ia segera memacu motornya menuju lokasi, melintasi jalanan yang sudah sepi dan gelap.

Pinggiran Cirebon memang benar-benar sunyi di tengah malam. Jalan yang harus dilalui Arhan penuh dengan lubang, melewati sawah-sawah yang membentang luas, pekarangan kosong yang dipenuhi pohon jati, dan kebun-kebun gelap yang tampak menyeramkan di bawah cahaya rembulan yang redup. Arhan sudah akrab dengan jalanan ini. Meski sering kali harus berhati-hati menghindari lubang, ia tetap melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi agar bisa segera sampai ke tujuan.

Namun malam itu, Arhan merasakan sesuatu yang berbeda. Entah karena kelelahan atau pikirannya yang mengembara, tiba-tiba ia kehilangan keseimbangan. Motornya tergelincir dan ia terjatuh di tengah jalan yang sepi, dekat dengan area persawahan yang sunyi. Suara air dari perairan di dekat situ terdengar mengombak pelan, menambah kesan kesepian di malam itu.

"Waduh Mas, sampean ga papa?" Suara seorang bapak paruh baya mengejutkan Arhan. Bapak itu tampak kurus, berjanggut putih, dan mengenakan baju yang tampaknya pemberian dari toko pupuk padi. Arhan menduga bapak itu mungkin sedang menjaga bebek di sekitar situ, mengingat suara-suara bebek yang terdengar dari kejauhan. Bapak itu membantu Arhan dan motornya untuk berdiri.

"Enggak papa Pak, suwun Pak sudah dibantu," jawab Arhan dengan sopan, meskipun kepalanya masih sedikit pusing akibat jatuh tadi.

"Hati-hati mas kalau lewat sini, jangan lenger (lengah). Ya wajar mas, di sini mah emang banyak lubang, sudah ciri khas daerah sini," katanya sambil tertawa kencang, membuat Arhan tersenyum meski rasa lelah masih menggerogoti tubuhnya. "Ya sudah Mas, saya mau balik ke kandang lagi."

Arhan mengucapkan terima kasih sekali lagi, memandang bapak itu berjalan menuju kandang bebek yang tidak jauh dari situ. Suara bebek saling bersahutan, menyambut kedatangan sang majikan. Setelah bapak itu pergi, Arhan menghela napas panjang, mencoba menghilangkan rasa aneh yang tiba-tiba menyerangnya. Kenapa tiba-tiba jadi kehilangan keseimbangan?

"Ada-ada saja," pikir Arhan. Ia masih merasa heran kenapa tadi bisa jatuh. Bukan hanya karena lubang di jalan, tapi ada sesuatu yang membuatnya tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya dan segera melanjutkan perjalanan. Customer lebih penting, dan ia tidak ingin membuat pelanggan menunggu terlalu lama.

Tak lama setelah melanjutkan perjalanan, Arhan mengalami hal yang tak terduga. Lagi-lagi, ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh di jalan yang sama. "Apa-apaan ini?" pikirnya. Rasanya seperti dejavu. Ia kembali terbaring di aspal, bingung dan kelelahan.

Lagi-lagi, seorang bapak paruh baya datang membantunya. "Sampean ga papa tah Mas?" tanya bapak itu, wajahnya terlihat cemas namun penuh perhatian. Arhan merasa aneh. Dejavu lagi, yang membedakan adalah bapak yang satu ini lebih tambun.

"Ga papa Pak, ga papa," jawab Arhan sambil mencoba menenangkan diri, meski hatinya mulai merasa ganjil. Mana pernah dia tiba-tiba jatuh dua kali di jalanan? Tanpa sebab pula. Sebagaimana pun Arhan pernah mengantuk dan lelah, ia tak pernah tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan jatuh. Bahkan lubang jalanan Cirebon paling dalam pun pernah ia lalui dan tetap melaju dengan mantap.

"Yakin sampean ga papa Mas?" Bapak itu menatap Arhan dengan sorot mata yang penuh tanda tanya. Kali ini, Arhan memperhatikan lebih seksama. Wajah bapak ini, meskipun tampak ramah, membawa perasaan yang sulit dijelaskan, seolah ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyumannya.

"Ga papa kok Pak, suwun Pak," jawab Arhan, berusaha untuk tetap tenang. Namun saat ia mencoba menyalakan motornya, tidak terjadi apa-apa. Mesin motornya mati total, dan usahanya untuk menghidupkannya sia-sia. Rasanya seolah malam itu dunia sedang melawan Arhan, membuatnya terjebak di tengah kegelapan yang semakin mencekam. Arhan mulai merasa cemas. Apakah semua ini hanya kebetulan? Atau ada sesuatu yang tidak beres di tempat ini?

"Motornya kenapa, Mas?" Suara bapak paruh baya yang tambun itu terdengar lembut, tetapi ada nada khawatir yang merambat dari bibirnya. Dia masih berdiri dekat dengan Arhan, wajahnya dipenuhi oleh kekhawatiran yang terlihat tulus.

Namun, Arhan malah merasakan bulu kuduknya berdiri, ada sesuatu yang aneh dan tak terjelaskan. Ia menelan ludah, perasaan tak nyaman menjalar di tubuhnya. Di tengah kecemasan itu, matanya melirik sekeliling, mencoba mencari pegangan pada sesuatu yang mungkin bisa meredakan kegelisahannya. Tapi, yang dia temukan hanyalah deretan pohon jati yang menjulang tinggi di sekelilingnya. Tak ada tanda-tanda kehidupan manusia di sekitar sini. Bahkan lebih ganjil lagi, tak ada suara serangga malam yang biasanya riuh, tak ada desau angin, tak ada nyamuk yang berterbangan. Sunyi. Sepi. Seolah-olah seluruh alam mendadak membisu. Suasana itu menciptakan sensasi ganjil yang semakin menekan hati Arhan.

"Mas? Motornya kenapa?" tanya si bapak lagi, kali ini sambil menepuk pelan pundak Arhan. Arhan terlonjak, hampir saja dia melompat dari tempatnya berdiri. Kejutan itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

"Oh, eh, iya, Pak. Ini, anu, mo... motor saya mogok, kayaknya," jawabnya dengan nada gugup, kata-katanya tersendat. Ketakutan mulai menjalar lebih kuat, merayap dari kakinya hingga ke seluruh tubuhnya.

Bapak itu menarik napas panjang, seolah merenungkan sesuatu. "Begini saja, Mas," katanya akhirnya, suaranya tetap tenang, "makanan yang sampean bawa juga tumpah, kan? Sampean ojek online, ya? Nyasar sepertinya sampean."

Arhan terperanjat, menyadari bahwa makanan yang dibawanya memang tumpah saat motor itu tergelincir. "Astaga," pikirannya mulai kacau, segala sesuatunya terasa semakin tidak terkendali. Makin bingung dan tak tahu harus berbuat apa.

"Ke rumah saya saja, Mas. Tak jauh dari sini. Lebih baik sampean istirahat dulu. Nanti pagi, saya hubungi teman untuk bantuin motor sampean," tawar si bapak dengan nada bersahabat. Arhan ragu sejenak, tetapi keheningan dan kesepian yang mencekam di sekitarnya membuatnya merasa tak punya pilihan lain. Dengan hati yang masih dipenuhi keraguan, dia mengikuti si bapak sembari menuntun motornya yang mogok. Ingin rasanya ia memarahi motornya yang suka jajan oli itu karena di saat seperti ini justru motornya tidak bisa diandalkan.

Benar saja, rumah yang umum di daerah Cirebon itu memang tak jauh dari tempat Arhan terjatuh. Sederhana, terbuat dari beton yang belum ditembok. Rumah sederhana namun terawat itu berdiri sendiri di tengah hutan yang seolah tak berujung. Tak ada rumah lain yang terlihat, hanya kegelapan yang menyelimuti segala penjuru. Pohon-pohon menjulang tinggi dengan dedaunan yang hampir tak bergerak, seolah enggan bersuara di tengah malam.

Arhan berniat menghubungi customernya untuk memberi tahu situasinya, tetapi ponselnya menunjukkan bahwa tak ada sinyal sama sekali. Seolah teknologi tak berdaya di tempat ini. Bapak itu, yang tampak sangat baik hati, sempat masuk ke dalam rumah, meninggalkan Arhan di teras yang dikelilingi oleh keheningan malam. Tak lama kemudian, dia kembali dengan nampan yang berisi secangkir kopi hangat dan beberapa camilan. "Maleman di sini aja, Mas. Saya temani. Santai saja, ini kopinya," katanya, sambil menyodorkan kopi itu kepada Arhan dengan senyum yang entah kenapa membuat Arhan sedikit lebih tenang. Senyum itu membawa rasa nyaman yang tak bisa dijelaskan, membuat Arhan mulai merasa lebih rileks.

"Terima kasih, Pak," si bapak itu hanya tersenyum mengangguk sebagai jawaban.

Mereka mulai mengobrol ringan, topik-topik sederhana yang perlahan mencairkan ketegangan yang tadi sempat menguasai diri Arhan. Suasana terasa lebih hangat.

"Sampean jatuh di tempat ini kok bisa, Mas?" tanya si bapak setelah beberapa saat. Arhan hanya menggeleng, tak tahu harus menjelaskan apa. "Memangnya sampean mau ke mana?" lanjut si bapak dengan nada penasaran.

"Kondangsari, Pak," jawab Arhan, mencoba kembali ke tujuan awalnya sambil menyeruput kopinya. Dia mulai merasa nyaman dalam percakapan itu, rasa takut yang tadi mencengkeramnya mulai mengendur.

"Jauh pisan (banget), Mas," bapak itu terlihat sangat terkejut, lebih dari yang Arhan bayangkan. Reaksinya membuat Arhan heran.

"Ini sudah sampai mana, sih, Pak? Gak ada sinyal, saya gak tahu jalan," keluh Arhan sambil tersenyum kecut, berusaha mencari humor di tengah situasi yang tak menentu.

"Wesss, gampang soal itu, Mas. Nanti pagi saya tunjukkan jalannya. Jalan ke sini itu ribet, Mas, penuh kelak-kelok. Nanti malah tambah kesasar kalau nyoba jalan sendiri," bapak itu tertawa kecil, terkekeh dengan suara yang terdengar jujur. Arhan hanya tersenyum canggung, mencoba mengikuti alur pembicaraan yang perlahan membuatnya merasa lebih tenang. Mereka kembali mengobrol, topik beralih dari satu hal ke hal lainnya, sampai akhirnya suasana menjadi lebih hangat.

Tak lama kemudian, si bapak pamit untuk mengambil air panas di dapur. Arhan menunggu, namun waktu berlalu dan si bapak tak kunjung kembali. Terdengar suara gaduh yang membuat Arhan merasa ada yang tak beres, Arhan bangkit dan berjalan menuju dapur. Namun, saat dia tiba di sana, pemandangan yang dilihatnya membuat darahnya membeku.

Si bapak tergeletak di lantai dapur, tubuhnya berlumuran darah. Wajahnya pucat, nafasnya tersengal-sengal. Dengan tangan gemetar, dia memeluk erat sebuah benda yang terbungkus kain batik bermotif mega mendung, batik khas Cirebon. Darah menodai bungkusan kain itu, membuatnya semakin terlihat mengerikan.

Arhan yang panik dan ketakutan berusaha mendekat, tetapi si bapak tiba-tiba mencengkeram tangan Arhan dengan kekuatan yang mengejutkan. "Bawa ini pergi!" desisnya dengan suara serak penuh urgensi. "Jaga baik-baik, nyawa kamu taruhannya! Bawa ini ke saudara saya! Cepat! Pergi! Pergi!"

Arhan tak sempat mencerna apa yang baru saja terjadi. Sebelum dia bisa merespons atau bahkan berpikir jernih, suasana di dapur tiba-tiba berubah menjadi lebih mencekam. Dari dinding dapur yang usang, sesosok kuntilanak keluar perlahan, melayang melewati kompor dan berbagai perkakas dapur lainnya. Sosok itu mendekati Arhan dengan gerakan yang tenang namun mengancam.

Makhluk itu berkulit putih pucat, mengenakan kain putih panjang yang menjuntai sampai kakinya tak terlihat. Kukunya panjang dan hitam, menciptakan kontras yang menakutkan dengan kulitnya. Senyumnya yang menyeramkan terpampang di wajah yang dingin tanpa emosi. Rambutnya yang panjang dan kusut berkibar perlahan, seperti ditiup angin yang tak ada di ruangan itu. Matanya menatap Arhan dengan tajam, penuh dendam dan kebencian yang tak terkatakan.

Arhan yang ketakutan tidak mampu berpikir panjang. Dia segera berlari meninggalkan bapak paruh baya yang entah masih hidup atau sudah mati, menuju kamar yang pintunya terbuka. Tanpa pikir panjang, dia masuk ke dalamnya dan menutup pintu dengan cepat. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mengucur deras di wajahnya. Di dalam kamar yang remang-remang itu, Arhan berusaha menenangkan diri, tetapi ketakutan yang mencekam semakin memperparah keadaan. Di luar kamar, bayangan kuntilanak itu masih membayang, seolah menunggu kesempatan untuk kembali muncul dan meneror Arhan.

lengkapnya ke wattpad: https://www.wattpad.com/1471934162-catatan-para-setan-karang-jati-part-2?fbclid=IwY2xjawE3rVJleHRuA2FlbQIxMAABHexLtCua2ZJxOBFvaxbdr1u1PhJBOgvfqqCnTM7HpB2xTseRgCgYr8cLiA_aem_VPxTlZWNldtFbXvoIny7JQ 

https://www.wattpad.com/1471934162-catatan-para-setan-karang-jati-part-2?fbclid=IwY2xjawE3rVJleHRuA2FlbQIxMAABHexLtCua2ZJxOBFvaxbdr1u1PhJBOgvfqqCnTM7H
https://www.wattpad.com/1471934162-catatan-para-setan-karang-jati-part-2?fbclid=IwY2xjawE3rVJleHRuA2FlbQIxMAABHexLtCua2ZJxOBFvaxbdr1u1PhJBOgvfqqCnTM7H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun