Di jendela hati, hujan turun perlahan,
Seperti air mata hati yang perlahan-lahan menitik.
Patah hati, sebuah seni yang terukir dalam tetesan,
Mengalir di dalam malam yang kelam dan sunyi.
Dalam setiap tetesan hujan, ada lara yang tercipta,
Sebuah puisi patah hati yang ditulis oleh awan.
Gemuruh mendalam, serupa dengan getaran hati yang terluka,
Malam terasa gelap, seperti bayangan rindu yang memayungi.
Dalam pelukan hujan, aku merenung sendiri,
Hatiku hancur, seakan puing asmara tak terbendung.
Terkadang, hujan menjadi cermin rasa dalam,
Menggambarkan perasaan yang tak mampu terucapkan.
Tetesan-tetesan itu, menyelinap dalam resah jiwa,
Seperti kenangan yang menyayat dalam diam.
Patah hati, sebuah cerita yang terpahat di setiap tetesan,
Hujan menjadi saksi bisu akan derita yang terpendam.
Namun, mungkin hujan juga membawa kesembuhan,
Seiring waktu berlalu, membawa rintihan pelan.
Dalam hujan, ada kekuatan untuk menyucikan,
Mungkin juga, untuk mengembalikan hati yang patah.
Hujan patah hati, seperti tari air yang melankolis,
Menari di atap-atap kenangan yang terbuka lebar.
Meski hujan menderas, dan hati patah terluka,
Mungkin di balik hujan, ada pelangi harapan yang terbentang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H