Di antara batu jalanan yang terabaikan,Â
Mereka diam, tanpa suara, terlupakan.Â
Seperti pilu yang merayap di malam gulita,Â
Dalam keheningan, hati-hati mereka tergulita.
Batuan-batu itu, saksi bisu kesepian,Â
Di atasnya langkah kaki tak berarti,Â
Seakan hidup terhenti dalam bayang kelam,Â
Di kegelapan, pilu terpatri dalam raut wajahnya.
Seperti sajak malam yang tak berkesudahan,Â
Batu-batu itu merintih di bawah rembulan,Â
Menggambarkan kesedihan yang mendalam,Â
Bagai puisi lama yang tersimpan dalam angan.
Di antara remah-remah sejarah yang terlupakan,Â
Batu-batu itu bertahan dalam sunyi,Â
Sejauh mata memandang, sejauh hati merindu,Â
Mereka mencerminkan pilu yang tak terlukiskan.
Seperti pena tua yang beranjak senja,Â
Batu jalanan merayu pada kenangan,Â
Pilu meliuk, membelit dalam setiap retak,Â
Seiring waktu, seperti kehidupan yang berlalu tak terduga.
Batu-batu itu, tak kenal rasa bersalah,Â
Namun, pilu merayap dalam rongga mereka,Â
Seperti hujan yang tak pernah berhenti,Â
Mengguyur hati, menyisakan goresan pilu yang abadi.
Oh, batu jalanan yang tak pernah bicara,Â
Kau mengajar tentang kesendirian dalam bisu,Â
Seperti puisi lama yang menari di sepi,Â
Pilu mengalir dalam irama malam yang sunyi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H