Begitu pun dengan manusia, tidak ada celah untuknya menghindari waktu kehidupan yang terus bergerak maju. Maka progres pada diri internal dan eksternal secara tidak langsung bergerak dengan sendirinya. Pergerakan itu dapat dirasakan pada diri sendiri, yaitu jiwa yang menjadi substansi dalam kepribadian seorang manusia.
Filsuf Islam dari Iran, Shadr al-Din Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Yahya Qawami Al-Syirazi (Mulla Sadra) memperkenalkan konsep Al-Haraakat Al-Jawharriyyah atau Gerak Transubstansial untuk menunjukkan bahwa gerak tidak hanya terjadi secara aksidental (bagian luaran manusia), tapi justru gerak paling mendasar adalah secara substansial (dalam diri manusia). Konsep ini dinilai berbeda atas gagasan tentang jiwa yang pernah disampaikan oleh para filsuf sebelumnya, termasuk Plato.
Konsep kemunculan jiwa menurut Plato adalah berangkat dari alam idea (alam kesempurnaan). Lalu jiwa terlepas dari alam kesempurnaan untuk bergabung dan terikat dengan alam materi. Akibat dari penggabungan itu, jiwa kehilangan kesempurnaan yang sebelumnya pernah ada.
Gerak Transubstansial hadir untuk membawa pandangan baru sekaligus mengkritik konsep jiwa yang digunakan Plato. Bahwa sesuatu yang sudah eksis dalam alam kesempurnaan mustahil turun ke alam ketidaksempurnaan, lalu berproses lagi menjadi sempurna. Perkembangan kesempurnaan seharusnya bersifat progresif dari yang sebelumnya tidak sempurna menjadi lebih sempurna.
Gerak -menurut Mulla Sadra- bukan hanya sesuatu yang objektif dan berkelanjutan, tetapi meliputi substansi. Gerakan tidak mungkin hanya terjadi pada wilayah aksiden, karena dalam segala sesuatu di dunia ini aksiden selalu bergantung pada substansi. Jika terjadi gerakan pada aksiden, maka tentu hal itu menunjukkan adanya gerakan yang terjadi pada substansi.
 Jika gerakan dapat terjadi pada sisi kuantitas dan kualitas serta turunan antara keduanya secara potensial, maka wujud selau membaru dalam identitasnya, baik pada kuantitas ataupun kualitas. Kondisi tersebut memungkinkan substansi untuk menguat dan menjadi lebih sempurna dalam wujud tanpa merusak identitas dan kesatuan substantifnya.
Sebagai contoh, perubahan pada wilayah aksiden yang ditunjukkan oleh sebuah apel. Awalnya apel itu berwarna hijau tua, lalu berubah menjadi hijau muda, merah, dan kuning. Perubahan pada wilayah substansial juga terjadi, contohnya apel awalnya buah muda, sedang, ranum, hingga busuk.
Selanjutnya yang jadi pertanyaan, apakah apel yang pada akhirnya menjadi buah busuk adalah pertanda terjadinya progres kehidupan yang menyempurna? Jawabannya, Ya. Menyempurnanya buah apel itu ketika memasuki tahap paling akhir dalam perkembangannya dengan melampaui setiap gerakan transubstansial sampai kepada puncak keberadaannya.
Pada konteks hidup manusia, gerak tidak hanya terjadi pada yang tampak di luaran. Seperti pakaian, raga, tindakan, sikap, perkataan, dan sebagainya. Gerak yang berprogres berawal dari jiwa, ke-diri-an seseorang. Contohnya Ali usia 7 tahun dengan Ali yang telah berusia 17 tahun adalah diri yang berbeda. Tapi perubahan diri Ali saat berusia 17 tahun bukan berarti menegasikan Ali yang dulu berusia 7 tahun. Pada tahapan 7 tahun hingga 17 tahun itu, Ali mengalami gerak transubstansial yang membawanya dalam perubahan yang lebih dewasa serta memiliki wawasan lebih luas dari sebelumnya.
Jadi tidak perlu takut pada roda kehidupan yang terus berjalan. Masing-masing individu punya otoritas atas keputusan hidupnya sendiri. Jangan pedulikan sesuatu yang di luar dari kontrol, fokus membangun kepercayaan diri dan bertanggung jawab pada semua pilihan hidup. Bangun kepercayaan diri bahwa pilihan yang diambil mengarahkan untuk bergerak ke depan bukan mundur ke belakang.***
Referensi:
- https://www.idntimes.com/health/fitness/nurulia-r-fitri/kesehatan-mental-tantangan-dan-solusi-untuk-milenial-dan-gen-z?page=all
- https://pmb.unjani.ac.id/generasi-z-dan-kesehatan-mental-tantangan-dan-solusinya/#:~:text=Prevalensi%20Masalah%20Kesehatan%20Mental%20di,menunjukkan%20betapa%20seriusnya%20masalah%20ini.
- Kholid Al Walid, Filsafat Manusia. Nuralwala: Depok, 2023, hal. 41-42.
- Kholid Al Walid, Perjalan Jiwa Menuju Akhirat. Al-mustafa International Translation and Publication Center: Qom, 2016, hal. 51-51.