Tidak sedikit mendengar atau melihat pernyataan "Apa yang kamu katakan itu tidak masuk akal!", "Nggak logis banget", "Pakai logika dong!", "... tuh, logikanya di mana coba?", dan sebagainya. Benar, tidak ada larangan untuk menempatkan istilah atau kata "logika" dalam suatu pernyataan. Namun apakah istilah masuk akal dan logis itu sudah dimaknai secara benar oleh mereka yang melontarkannya?
Tulisan ini berangkat dari temuan akan banyaknya narasi semacam itu yang beredar di grup chat WhatsApp, status Facebook, dan caption beberapa public figure yang memagari postingannya. Bahkan peletakkan kata logis atau logika sesuka hati tidak jarang menimbulkan pro dan kontra di kalangan warganet. Alasannya, saat seseorang sudah mengeluarkan kata tersebut, maka pernyataannya harus dianggap paling benar dan pernyataan yang lain sudah mesti salah karena tidak masuk akal.
Pertanyaan berikutnya pun muncul, apakah logis atau tidaknya pernyataan dapat diklaim secara subjektif atau butuh akan penilaian orang lain? Jika sudah seperti demikian temuannya, maka wajib hukumnya untuk mengetahui hal-hal paling mendasar seputar logika, dan bagaimana caranya agar pernyataan sebagai hasil dari proses berpikir kita dianggap benar.
Apa itu Logika?
Ketika berbicara tentang logika? Orang-orang pada umumnya akan berpikir tentang filsafat, berikut kerumitan metodenya dan cara untuk menjelaskannya. Tapi terkait definisi, logika tidak seragam filsafat, yang bisa jadi apa yang dianggap filsafat oleh orang Timur dapat dinilai sudah tidak lagi murni oleh Barat (seperti halnya filsafat hikmah muta'aliyyah Mulla Sadra yang dinilai akademisi Barat sudah mengaburkan makna filsafat, dengan ditambahkannya unsur doktrin agama).
Logika (bahasa Arab: mantiq) adalah aturan atau pedoman cara berpikir benar. Artinya, aturan yang logis seperti perangkat yang mengukur argumentasi mengenai pembahasan ilmiah ataupun filosofis, untuk mencegah kita keliru dalam berpikir. Maka dengan berpikir logis, seseorang memahami aturan untuk menjalankan serta menjaga pikirannya.
Berpikir dengan panduan yang disebut logika tentu sangat bermanfaat dalam proses penalaran (fikr). Penalaran atau berpikir adalah upaya untuk menghubungkan beberapa hal yang diketahui (maklum) agar menghasilkan pengetahuan yang baru dengan cara mengubah hal yang tidak diketahui (majhul) menjadi hal yang diketahui pada akhirnya. Sehingga, penalaran dapat juga diartikan bergeraknya pikiran atau proses berpikir yang berangkat dari sebuah target atas apa yang tidak diketahui menuju serangkaian premis (mukadimah yang diketahui). Kemudian gerakan kembali dari beberapa premis tersebut menuju target yang tidak diketahui tadi untuk mengubahnya menjadi hal yang diketahui atau pengetahuan baru.
Penalaran erat kaitannya dengan pemikiran rasional sekaligus mendasar, karena proses untuk mengubah hal yang tidak diketahui, merenunginya secara mendalam, untuk menyuling hal yang tidak diketahui, serta pergerakan pikiran dari arah dan ke arah beberapa premis menuju target. Ketika pikiran akan menyusun beberapa hal yang diketahui, maka pikiran tentu memberinya bentuk dan aturan tertentu. Jadi, hanya beberapa hal yang diketahui dalam bentuk-bentuk tertentu saja yang bisa menghasilkan dan memberikan kesimpulan.
Logika menjelaskan cara-cara, aturan penyusunan dan pembentukan hal-hal yang diketahui menjadi suatu kesimpulan. Jika diketahui bahwa logika merupakan aturan kerja untuk proses berpikir yang benar, dan dari sisi lain sepakat bahwa proses berpikir (fikr) adalah gerak pikiran dari premis-premis menuju hasil (target), maka program kerja logika yaitu menunjukkan jalur gerak pikiran yang sebenarnya atau mengendalikan gerak pikiran saat berpikir.
Panduan berpikir tersebut tidak datang secara tiba-tiba, terdapat rentetan sejarah yang cukup panjang mewarnai perkembangan metode logika. Setidaknya, setiap zaman memberikan kontribusi untuk menyusun sebuah koleksi dalam merumuskan cara berpikir benar pada manusia. Walaupun tidak banyak sejarawan yang mengetahui sejak kapan tepatnya manusia mengenal adanya kaidah-kaidah dan bentuk-bentuk dalam merumuskan pikiran mereka, didapati adanya bukti-bukti yang menunjukkan proses pemikiran yang sistematis di beberapa pusat peradaban kuno seperti di Cina, India, dan Iran.
Logika yang berkembang, baik di Barat dan Timur tentu berpijak dari lahirnya teori dan rumusan ilmu logika di negeri Yunani dengan para cendikiawan yang disebut Sophisme. Mereka awalnya dikenal sebagai pengajar yang profesional dalam membawakan seni retorika (khitabah) dan berdebat (munadharah). Mereka juga adalah para pengacara pembela yang bekerja untuk pengadilan.
Profesi pengacara menuntut mereka bisa membuktikan setiap klaim yang benar ataupun yang salah dan sebaliknya mampu menolak klaim yang berlawanan. Namun upaya semacam itu justru mengaburkan apa yang mereka klaim sebagai kebijaksanaan. Jenis pendidikan tersebut sudah mengarah pada hasil yang tidak benar, sedikit demi sedikit memunculkan pemikiran dalam diri mereka dan kelompak yang lain bahwa tidak ada satupun kebenaran dalam pemikiran manusia sebagai sebuah realitas yang paten.
Ketika situasi penuh kerancuan akal itu berlangsung, muncul cendikiawan-cendikiawan seperti Socrates, Plato dan Aristoteles yang berhadapan dengan kelompok Sophisme. Mereka menyusun metode khusus untuk proses berpikir yang benar, dengan begitu bisa dibedakan argumen yang benar dari argumen yang salah. Pada masa itu, ilmu logika muncul sebagai sebuah bidang ilmu yang mandiri dan sistematis.
Menyusun Definisi dan Argumentasi
Ketika memahami tentang cara kerja logika dalam membentuk proses penalaran, maka ditemukan dua cabang yang mencakup hasil dari proses tersebut, yakni cabang membuat definisi atau konsepsi (tashawur), dan argumentasi atau penilaian (tashdiq). Terbaginya ilmu logika dalam definisi dan argumentasi, karena pengetahuan manusia mengenai suatu hal, ada kalanya dalam pikiran sekaligus menghukumi ada atau tidaknya hubungan antara suatu hal tertentu dengan hal lainnya. Terkadang pengetahuan manusia tidak bersifat memutuskan (menilai) antara dua hal, hanya mengamati dan menjelaskan tanpa mengeluarkan hukum apa pun mengenainya, disebut definisi. Sementara penilaian pikiran atas dua hal, disebut argumentasi yang menghukumi sesuatu. Contoh tashdiq yakni "hawa itu panas", "hawa itu tidak panaa", "kebenaran itu baik", "kebohongan itu tidak baik".
Maka saat pikiran menghukumi bahwa "hawa itu panas" disebut tashdiq, sedangkan gambaran pikiran terkait "hawa" dan "panas" disebut tashawur. Satu alasan penting pembagian ilmu logika kepada dua bagian tersebut yaitu bahwa proses berpikir dalam benak, atau upaya akal untuk merubah sesuatu yang tidak diketahui menjadi diketahui, terkadang melalui sebuah definisi dan terkadang lewat seni argumentasi.
Karena definisi merupakan cara menyiapkan beberapa konsep yang diketahui untuk bisa sampai kepada konsep atau gambaran baru, sedangkan argumentasi adalah cara menyusun beberapa konsep yang berhukum (tashdiq) yang jelas untuk sampai kepada tashdiq yang baru. Sehingga, logika adalah sebuah alat untuk mengukur kebenaran dan kesalahan dalam proses berpikir.
Mengeluarkan pernyataan bahwa "narasi Anda tidak logis", atau "logika saja, mana mungkin...", dan contoh pernyataan warganet lainnya yang lazim ditemukan di media sosial jika disesuaikan kembali dengan definisi utama logika tentu sangat berlainan maknanya. Mereka mengira bahwa berbicara berdasarkan logika sudah pasti benar dan pernyataan lain yang berlawanan dengannya dianggap salah. Logika hanya alat atau panduan, bukan klaim pernyataan yang hukumnya pasti benar.
Kesalahan dalam memaknai logika juga ditangkap oleh sebagian para pemuka agama dalam menjalankan dakwahnya, bahwa untuk memahami agama tidak perlu logika bahkan akal. Sementara Tuhan telah mengaruniakan akal kepada setiap manusia agar dia bisa memikirkan tanda-tanda kebesaran-Nya serta bebas memilih jalan yang ia tempuh dengan konsekuensi pertanggungjawaban atas pilihannya termasuk dalam beragama.
Meskipun ditolak oleh kelompok agama semacam itu, justru upaya penolakannya pun berdasarkan metode logika (terlepas benar atau tidaknya susunan dan materinya). Jadi tanpa disadari proses berpikir (fikr) pun dilakukan untuk menolak "beragama dengan logika", begitu pun untuk memahami ajaran agama juga diperlukan proses berpikir yang serius sehingga bisa mengerti dan menjelaskan isinya.
Kekhawatiran bahwa logika bias kebenaran tergantung pada upaya proses berpikir manusia. Karena kesalahan berpikir sangat dimungkinkan terjadi apabila hal-hal yang dijadikan sebagai dasar premis-premis dan dianggap sebagai hal yang diketahui sebenarnya keliru, dan susunan yang diberikan pada premis-premis adalah salah walaupun materinya benar.
Argumentasi layaknya bangunan, suatu bangunan akan menjadi sempurna kalau selain mempersiapkan bahan-bahannya, bentuk bangunan tersebut juga didasarkan pada teori-teori yang benar. Jika salah satu dari dua kemungkinan penyebab kesalahan berpikir tadi belum terjamin, apa yang dibangun tidak akan dapat menghasilkan kepercayaan.
Itulah sedikit banyaknya penjelasan mendasar tentang logika dan turunannya yang juga dijelaskan masih sangat terbatas. Akan tetapi setidaknya, dasar-dasar tersebut dapat menjadi acuan untuk berhati-hati dalam menyimpulkan apa itu logika di ruang publik, agar di kemudian hari tidak lagi orang sembarangan menggunakan istilah itu.***
Referensi:
- Murtadha Muthahhari, Belajar Konsep Logika (Terj,)
- Mahmud Muntazeri Muqaddam, Pelajaran Mantiq (Terj.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H