Profesi pengacara menuntut mereka bisa membuktikan setiap klaim yang benar ataupun yang salah dan sebaliknya mampu menolak klaim yang berlawanan. Namun upaya semacam itu justru mengaburkan apa yang mereka klaim sebagai kebijaksanaan. Jenis pendidikan tersebut sudah mengarah pada hasil yang tidak benar, sedikit demi sedikit memunculkan pemikiran dalam diri mereka dan kelompak yang lain bahwa tidak ada satupun kebenaran dalam pemikiran manusia sebagai sebuah realitas yang paten.
Ketika situasi penuh kerancuan akal itu berlangsung, muncul cendikiawan-cendikiawan seperti Socrates, Plato dan Aristoteles yang berhadapan dengan kelompok Sophisme. Mereka menyusun metode khusus untuk proses berpikir yang benar, dengan begitu bisa dibedakan argumen yang benar dari argumen yang salah. Pada masa itu, ilmu logika muncul sebagai sebuah bidang ilmu yang mandiri dan sistematis.
Menyusun Definisi dan Argumentasi
Ketika memahami tentang cara kerja logika dalam membentuk proses penalaran, maka ditemukan dua cabang yang mencakup hasil dari proses tersebut, yakni cabang membuat definisi atau konsepsi (tashawur), dan argumentasi atau penilaian (tashdiq). Terbaginya ilmu logika dalam definisi dan argumentasi, karena pengetahuan manusia mengenai suatu hal, ada kalanya dalam pikiran sekaligus menghukumi ada atau tidaknya hubungan antara suatu hal tertentu dengan hal lainnya. Terkadang pengetahuan manusia tidak bersifat memutuskan (menilai) antara dua hal, hanya mengamati dan menjelaskan tanpa mengeluarkan hukum apa pun mengenainya, disebut definisi. Sementara penilaian pikiran atas dua hal, disebut argumentasi yang menghukumi sesuatu. Contoh tashdiq yakni "hawa itu panas", "hawa itu tidak panaa", "kebenaran itu baik", "kebohongan itu tidak baik".
Maka saat pikiran menghukumi bahwa "hawa itu panas" disebut tashdiq, sedangkan gambaran pikiran terkait "hawa" dan "panas" disebut tashawur. Satu alasan penting pembagian ilmu logika kepada dua bagian tersebut yaitu bahwa proses berpikir dalam benak, atau upaya akal untuk merubah sesuatu yang tidak diketahui menjadi diketahui, terkadang melalui sebuah definisi dan terkadang lewat seni argumentasi.
Karena definisi merupakan cara menyiapkan beberapa konsep yang diketahui untuk bisa sampai kepada konsep atau gambaran baru, sedangkan argumentasi adalah cara menyusun beberapa konsep yang berhukum (tashdiq) yang jelas untuk sampai kepada tashdiq yang baru. Sehingga, logika adalah sebuah alat untuk mengukur kebenaran dan kesalahan dalam proses berpikir.
Mengeluarkan pernyataan bahwa "narasi Anda tidak logis", atau "logika saja, mana mungkin...", dan contoh pernyataan warganet lainnya yang lazim ditemukan di media sosial jika disesuaikan kembali dengan definisi utama logika tentu sangat berlainan maknanya. Mereka mengira bahwa berbicara berdasarkan logika sudah pasti benar dan pernyataan lain yang berlawanan dengannya dianggap salah. Logika hanya alat atau panduan, bukan klaim pernyataan yang hukumnya pasti benar.
Kesalahan dalam memaknai logika juga ditangkap oleh sebagian para pemuka agama dalam menjalankan dakwahnya, bahwa untuk memahami agama tidak perlu logika bahkan akal. Sementara Tuhan telah mengaruniakan akal kepada setiap manusia agar dia bisa memikirkan tanda-tanda kebesaran-Nya serta bebas memilih jalan yang ia tempuh dengan konsekuensi pertanggungjawaban atas pilihannya termasuk dalam beragama.
Meskipun ditolak oleh kelompok agama semacam itu, justru upaya penolakannya pun berdasarkan metode logika (terlepas benar atau tidaknya susunan dan materinya). Jadi tanpa disadari proses berpikir (fikr) pun dilakukan untuk menolak "beragama dengan logika", begitu pun untuk memahami ajaran agama juga diperlukan proses berpikir yang serius sehingga bisa mengerti dan menjelaskan isinya.
Kekhawatiran bahwa logika bias kebenaran tergantung pada upaya proses berpikir manusia. Karena kesalahan berpikir sangat dimungkinkan terjadi apabila hal-hal yang dijadikan sebagai dasar premis-premis dan dianggap sebagai hal yang diketahui sebenarnya keliru, dan susunan yang diberikan pada premis-premis adalah salah walaupun materinya benar.
Argumentasi layaknya bangunan, suatu bangunan akan menjadi sempurna kalau selain mempersiapkan bahan-bahannya, bentuk bangunan tersebut juga didasarkan pada teori-teori yang benar. Jika salah satu dari dua kemungkinan penyebab kesalahan berpikir tadi belum terjamin, apa yang dibangun tidak akan dapat menghasilkan kepercayaan.