Mohon tunggu...
Andi Novriansyah Saputra
Andi Novriansyah Saputra Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer & Mahasiswa S2 Sekolah Tinggi Agama Islam Sadra

Kesungguhan dan kepercayaan diri akan menghasilkan sesuatu yang bernilai.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Metode Tafsir Quran Modern: Reaksi Kontekstual dengan Hermeneutika (Bagian 2)

6 Juli 2024   12:23 Diperbarui: 6 Juli 2024   12:30 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pexels.com/photo/person-reading-and-praying-7249738/

Seperti yang telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, pengaplikasian hermeneutika di dunia Islam, khususnya sebagai metode tafsir Qur'an modern dinilai terlalu dekontruktif oleh para ahli tafsir klasik. Mereka melihat metode yang kehadiran dan perkembangannya tumbuh subur di dunia barat itu hanya akan menghilangkan unsur keotentikan kitab suci umat Islam.

Contoh yang paling dekat yang tentunya digunakan oleh kubu penolak adalah penerapan hermeneutika terhadap kitab bible dan kitab suci umat beragama lainnya. Hermeneutika digunakan oleh sebagian kalangan umat Kristiani dan Yahudi sebagai respon desakan rasionalisasi terhadap bagian-bagian yang dianggap mitos dan mendapatkan relevansinya dalam kitab tersebut.

Proses rasionalisasi dan penyesuaian akan persoalan kekinian melalui metode hermeneutika juga dinilai telah jauh melangkahi batas-batas ketat yang telah ditetapkan oleh kalangan mufassir Qur'an masa klasik. Tentu saja hal itu tidak lepas pula dari kuatnya anggapan bahwa hermeneutika adalah teori interpretasi buatan manusia, sedangkan metode tafsir yang digunakan selama ini merupakan ajaran yang langsung sampai kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Meskipun demikian, sudah banyak sarjana muslim yang akhirnya menerapkan metode hermeneutika sebagai ijtihad baru di abad modern agar menjaga otentisitas al-Qur'an sehingga bisa terus relevan di setiap zaman. Sejak kemunculan gerakan pembaharuan di dunia Islam pada abad ke-18 misalnya, telah mendorong nama Ahmad Khan, Amir Ali, dan Muhammad Abduh sebagai pemikir muslim yang akhirnya menerapkan nuansa interpretasi baru dengan bertumpu pada analisis sastra dan sosial.

Pada saat itu istilah hermeneutika memang belum terlalu dikenal di dunia Islam. Kemudian setelah dekade 1960, muncul tokoh-tokoh yang cukup serius memikirkan masalah metodologi tafsir. Sambutan yang begitu hangat untuk akhirnya menerima hermeneutika sebagai rumusan sistematik dalam menafsirkan al-Qur'an dimulai oleh pemikir muslim lainnya, Fazlur Rahman melalui metode double movement atau hermeneutika bolak-balik.

Upaya untuk membiasakan hermeneutika sebagai opsi baru dalam metode tafsir Qur'an modern akhirnya terus dilanjutkan sampai saat ini. Walaupun belum diterima seutuhnya, kampanye untuk serius bergerak ke arah itu terus digencarkan, terutama oleh para akademisi muslim yang banyak menguji kitab-kitab tafsir di perguruan tinggi barat. Untuk melihat sejauh mana hermeneutika diperlukan dalam penafsiran Qur'an.

Jaga Orisinalitas Qur'an

Tentu yang menjadi kekhawatiran oleh pemuka agama yang terbiasa menerapkan metode tafsir klasik akan bertanya, "apakah hermeneutika akan menghilangkan orisinalitas al-Qur'an sebagai kitab suci?" al-Qur'an sebagai kitab suci yang diwahyukan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'aala kepada Nabi Muhammad sampai kapan pun akan tetap terjaga keaslian dan kesuciannya. Maksud kitab suci di sini adalah kalam Allah yang bersifat kekal dan terlindungi. Sebagai benda -dalam bentuk kitab- yang diterima oleh manusia tentu punya variasi. Selain dalam bentuk fisik, saat ini juga terdapat al-Qur'an digital yang semakin mempermudah kaum muslimin untuk membacanya hanya melalui Hp.

Pada intinya, al-Qur'an yang bersumber langsung dari kalam Ilahi merupakan unsur yang paling otentik. Sementara yang sampai kepada manusia saat ini telah tersusun secara sistematis dan variatif sesuai kebutuhan kaum muslimin di mana pun berada. Tidak hanya dari segi bentuk, pelafalannya pun terjadi keberagaman di beberapa negara Islam.

Jika dari bagian luarannya saja sudah terdapat keberagaman setelah sampai beredar di penjuru dunia, bagaimana dengan metode penafsirannya? Mulai dari langkah itu pula para pemikir muslim abad modern membiasakan upaya kekinian dalam menafsirkan al-Qur'an melalui hermeneutika. Jalan baru ini sifatnya sama saja dengan keberagaman bentuk al-Qur'an yang selama ini tersebar, tapi bukan berarti mengganti isi Qur'an secara radikal dan menyeluruh.

Seperti yang diketahui bahwa kandungan al-Qur'an tidak disusun dalam bentuk pernyataan yang doktrinal, lebih marak ditemukan dalam bentuk narasi historis dan simbolik, serta berupa perumpamaan eskatologis. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa al-Qur'an menunjukkan sifatnya yang substansial dan maknanya yang universal. Kandungannya dapat melampaui ruang yang ada dan kesementaraan waktu yang berjalan.

Karena itu tidak sedikit para mufassir lintas sejarah menghadirkan keberagaman makna dan ditulis dengan bermacam-macam kitab tafsir. Upaya itu tidak dapat dikatakan sebagai pekerjaan yang final, Interpretasi terhadap al-Qur'an leih bersifat proses yang terus berjalan, sehingga harus terus disempurnakan seiring berjalannya waktu.

Antara satu tafsir dengan tafsir berikutnya terus terjadi penyempurnaan. Bahkan metode yang digunakan cukup kreatif, yang pada akhirnya memberikan kesimpulan baru terhadap tafsir suatu ayat. Metode hermeneutika tidak hanya sekedar mengajak penafsir untuk "memahami" suatu teks, tapi naik lagi ke level "mengerti" seperti apa yang menjadi concern Emilio Betti sebagai tokoh beraliran hermeneutika objektif.

Memperoleh Makna

Emilio Betti bisa disebut sebagai tokoh hermenutik yang cukup berani memutarbalikkan kembali kemudi mazhab hermeneutika dari aliran subjektif oleh -pelopor yang terakhir- Hans-Georg Gadamer menuju perpaduan terobosan Schleiermacher dan Wilhem Dilthey. Gagasan antara metode psikologis dan linguistik-historis ternyata cukup melengkapkan bagian-bagian yang kurang utuh dari sitematisasi hermeneutika dalam penerapannya.

Selain memperhatikan hermeneutika sistematis yang diterapkan, bagi Betti, seorang penafsir harus memperhatikan empat momen gerak untuk memperoleh makna objektif, di antaranya; a. melakukan penelusuran fenomena linguistik teks; b. Ketika menafsirkan, harus mengosongkan diri dari setiap kepentingan di sekitar yang bisa menghalangi pemahaman; c. Penafsir menghadirkan pemikiran pengarang teks pada dirinya melalui kerja sama imajinasi dan gagasan; d. Melakukan rekonstruksi untuk memberikan pengaruh situasi dan kondisi sehingga memperoleh hasil yang ingin didapatkan dari suatu reks.

Hermeneutika yang pada dasarnya sebagai metode pemahaman hanya memasuki kawasan "pemahaman" kitab suci. Pemahaman dalam hermeneutika hanya fokus pada ranah linguistik, historis, dan ontoogis. Maka bagian yang diungkap melalaui hermeneutika terhadap teks al-Qur'an yakni makna dan arah tujuan dari suatu ayat diturunkan, realitas sosial pada saat ayat diturunkan, serta penempatan makna dan teks terhadap realitas yang sekarang sedang dialami.

Artinya, penerapan interpretasi modern tidak akan menyelisihi kaidah-kaidah umum yang selama ini diyakini oleh umat muslim, jika itu sudah tegak lurus dengan perinah al-Qur'an dan Nabi. Tafsir klasik memang banyak membantu memberikan terjemahan simplistik terkait ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, usuul dan furuu', qat'iyyah dan zaniiyah, Akan tetapi hermeneutika hanya akan menerjemahkan maksud dan maknanya untuk diambil spirit yang ingin disampaikan kepada situasi saat ini.

Bahkan untuk penerapan hermeneutika objektif oleh Emilio Betti pun sangat sulit dibuktikan jika dianggap dapat mendekonstruksi konsep wahyu atau bahkan mereduksi sisi kerasulan Sang Penyampai Wahu. Karena yang ingin ditunjukkan adalah mencari titik temu antara teks dan konteks, hingga menghasilkan makna kontekstual yang dapat menjadi landasan moral di tengah masyarakat dari masa ke masa.

Menurut Rudy Alhana, dalam bukunya Menimbang Paradigma Hermeneutika dalam Menafsirkan Al-Qur'an, bahwa metode hermeneutika dapat menjadi salah satu opsi penafsiran al-Qur'an dengan syarat; 1. Penafsir perlu mempunyai penguasaan bahasa Arab dan disiplin ilmu yang berkaitan dengan metode tafsir al-Qur'an; 2. Penafsir fokus menelusuri sepenuhnya isi al-Qur'an, dibantu dengan analisis kritis kitab-kitab tafsir para ulama terdahulu dengan harapan masih ada ruang kosong yang ditinggalkan mereka, dan pada sisi itulah dapat dilengkapi melalui metode hermeneutika.***

Referensi:

Emilio Betti, General Theory Of Interpretation. Terjemahan Giorgio A. Pinton. New York: New Vico Studies, 1973.

Rudy Alhana, Menimbang Paradigma Hermeneutika dalam Menafsirkan Al-Qur'an. Surabaya: PT. Revka Petra Media, 2014.

Abdul Rasyid Ridho, "Metode Hermeneutika dan Implementasinya dalam Menafsirkan Alquran". al-Burhan 17, no.2, 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun