Dalam pasal utama NATO di pasal V menyebutkan, serangan bersenjata terhadap salah satu atau lebih dari anggotanya dianggap sebagai serangan terhadap semua anggota, sehingga mereka berhak secara bersama-sama melakukan upaya pertahanan nasional.
Sementara bagi mereka yang masih berstatus non anggota tapi sudah memperoleh persetujuan kerja sama seperti Ukraina, maka akan mendapat dukungan sepenuhnya dengan catatan tidak mengerahkan pasukan militer NATO secara keseluruhan.
Itu pun terlihat jelas dari perkembangan konflik Ukraina-Rusia hingga hari ini. Belum ada serangan balasan dari NATO, selain mengerahkan bantuan untuk masyarakat sipil yang menjadi korban. Meskipun Ukraina merasa semakin dirugikan dengan pengambilan paksa Rusia terhadap 4 wilayahnya.
Jika hingga saat ini upaya negosiasi belum juga menemukan solusi terbaik, maka perang antar kedua negara mungkin tidak dapat terelakkan.
Untuk menengahinya, NATO harus melakukan upaya doktrin ius ad bellum untuk mencegah terjadinya konflik yang anarkis. ius ad bellum versi aliran St. Agustine bisa menjadi bahan resolusi konflik untuk NATO menciptakan perdamaian kedua negara.
Perang dipandang sebagai tindak kejahatan yang perlu dilakukan untuk menciptakan perdamaian. Maka dari itu perlu upaya-upaya moral untuk membatasi tindakan kejahatan yang lebih luas.
Apalagi dengan basis yang sudah lebih kuat di kawasan Eropa Timur, NATO diharapkan dapat menjadi aktor non-negara dengan mengupayakan resolusi konflik terhadap sengketa tersebut, meski ujungnya akan sedikit menurunkan marwah Vladimir Putin di mata dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H