Teori itu dipastikan sedang dijalankan oleh Rusia dalam operasi militer ke Ukraina. Sehingga ada pernyataan "melindungi warga" ketika pasukan militer mereka memasuki wilayah Kremlin hingga ibu kota Kiev. Dalam hal ini, Ukraina pun tidak ingin terlihat sebagai pelaku yang bersalah.
Presiden Zelensky pun mengumbar orasi dengan narasi seruan kepada seluruh dunia untuk mengutuk tindakan Rusia. Sikap itu juga diambil sebagai bagian dari rencana mereka untuk segera memperoleh keanggotaan NATO jalur cepat.
Putus-Sambung Hubungan Ukraina dan NATO
Dalam sejarahnya, NATO dan Ukraina sudah saling bermitra pada tahun 1992. Ukraina-NATO membuat forum diskusi bersama - tanpa perjanjian keanggotaan formal - terkait masalah keamanan negara.
Secara terbuka, Presiden Ukraina Leonid Kurchma tahun 2002 menyatakan ketertarikan Ukraina untuk bergabung dengan NATO. Proses itu sempat terhenti di era kepemimpinan Presiden Viktor Yanukovych, karena ia merupakan simpatisan Putin.
Tahun 2017, komunikasi politik antara Ukraina dan NATO dibuat lebih fleksibel dengan mengadopsi amandemen konstitusi yang berkomitmen menjadi anggota NATO. Ukraina bahkan mengadopsi strategi keamanan nasional untuk terus menjalin kemitraan dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara tersebut.
Upaya diskusi mempercepat jalur keanggotaan NATO sudah cukup lama ditempuh oleh Ukraina dengan hasil yang masih nihil. Ada opini yang menyebut bahwa NATO dan Amerika Serikat sebagai pemegang saham militer terbesar di dalamnya sengaja mengadu domba Ukraina-Rusia demi tujuan kekuasaan yang lebih luas lagi.
Doktrin ius ad bellum
NATO yang dalam hal ini mendapat pengaruh besar dari Amerika Serikat ikut campur dalam memanas-manaskan situasi perang saudara antara Ukraina dan Rusia masih simpang siur.
Namun satu hal yang pasti aliansi ini hadir dengan semangat perdamaian, setidaknya itu yang disampaikan oleh Evelyne Theresia dalam sebuah artikel ilmiah dengan judul "Kajian Hukum Internasional Tentang Peran NATO Dalam Operasi Perdamaian di Timur Tengah.