Dialog terbuka mampu memberikan kesepemahaman dan memperkecil perselisihan yang ada. Hal ini dibutuhkan berbagai pihak untuk turut andil sehingga rasa keadilan dapat diwujudkan dan konflik dapat diatasi. Namun, melihat fenomena sengketa tanah yang ada pada saat ini sering kali dialog hanya dilakukan oleh pihak-pihak pemegang kuasa saja. Pihak yang tidak berkepentingan atau dengan kata lain pihak yang lemah sering kali tidak dihiraukan baik aspirasi suara dan keikutsertaannya. Hal ini memperlebar jurang perbedaan karena dialog tidak melibatkan berbagai pihak yang ada.
- Terabaikannya Hak yang AdaÂ
Hak masyarakat adat sering diabaikan karena anggapan "lemah". Hak yang sering ditonjolkan adalah hak pihak yang memiliki kuasa semata dan jarang hak masyarakat adat didengar ataupun diperjuangkan. Seakan-akan "terjajah" secara halus dengan mengabaikan hak yang mereka punya.
- Jaminan Perlindungan Hukum RendahÂ
Jaminan perlindungan hukum terhadap masyarakat adat rendah sehingga perampasan tanah yang dimiliki dapat dengan mudah dilakukan. Tidak ada hukum yang mengatur secara tegas terhadap hak, perlindungan, dan keamaan masyarakat sehingga tidak jarang terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat adat (secara fisik) demi mempertahankan hak dan kepemilikannya.
Demi terwujudnya pembangunan dan peningkatan taraf hidup masyarakat baik taraf mikro maupun makro, lahan menjadi hal yang penting dalam pembangunan. Masyarakat, pemerintah, ditambah kaum pemilik modal berupaya untuk menyinergikan tujuan demi terwujud perekonomian yang lebih demokratis dengan tetap mengupayakan prinsip keadilan yang disesuaikan dengan  sila ke-5. Upaya demi upaya terus dilakukan, akan tetapi pada kenyataannya selalu berbuah kegagalan. Terlihat dalam berbagai kasus yang diupayakan seperti halnya kasus Rempang, Wadas, Air Bangis, lahan Tol Sumo Sidoarjo, dan lain sebagainya. Apa yang menjadi persoalan dari permasalahan tersebut adalah tidak terlepas dari perebutan penguasaan terhadap lahan berikut sumber dayanya.
Terjadi ketidakselarasan kepentingan antara masyarakat lokal, pemerintah, dan kaum pemilik modal atau perusahaan. Perbedaan kepentingan ini berakibat pada konflik yang sering kali menimbulkan korban baik secara material dan immaterial. Dalam pandangan antropologis, fenomena sengketa lahan antara masyarakat adat dan pemerintah merupakan suatu fenomena di mana terkadang pemerintah mempetakan lahan potensial tanpa melibatkan masyarakat adat.Â
Hal tersebut memberikan rasa "ketidakadilan" bagi masyarakat adat utamanya yang menjaga lahan tersebut secara turun-temurun. Masyarakat adat merasa kepemilikan atas lahan yang ditempati selama ini terusik dan hak mereka terabaikan, Â sementara dari pihak pemerintah merasa bahwa pembangunan penting dilakukan demi terealisasikannya kinerja yang menyokong perekonomian nasional.
Konflik pertanahan ini diperparah dengan adanya "permainan" pihak pemilik modal yang "bermain" di dalamnya. Perusahaan atau kaum pemilik modal memiliki kepentingan untuk menginvestasikan modal untuk pembangunan perusahaanya. Berbagai kepentingan hadir dalam satu wacana melahirkan gesekan atau konflik kepentingan. Pertanyaan yang diajukan dalam hal ini, apakah konflik tersebut dapat diatasi? Siapa pihak yang dirugikan atau diuntungkan? Bagaimana cara mengatasinya?
Secara antropologis, melihat bahwa pihak yang dirugikan adalah pihak yang tidak berdaya atau tidak memiliki kekuasaan lebih yang dalam hal ini sudah barang tentu adalah masyarakat adat. Hak-hak dari masyarakat adat sering kali terbaikan dan hidup dalam kemiskinan yang distrukturkan, tidak hanya itu masyarakat adat juga semakin termarginalkan. Kendati dapat berdaya oleh lahan yang dimiliki seperti gambaran awal, masyarakat adat justru seakan tidak memiliki pilihan dan dianggap sebagai "pembangkang" jika memperjuangkan haknya.
Dalam hal ini paradoks yang ditampilkan sering menuai pro dan kontra di berbagai kalangan. Analisis dan dialog dilakukan untuk memperkecil konflik yang ada. Upaya yang dilakukan sampai saat ini belum membuahkan hasil yang optimal untuk mencari keadilan pihak yang dirugikan. Untuk itu siapa pihak yang berhak dipersalahkan dalam setiap konflik pertanahan yang ada? Hal tersebut dapat dijadikan ajang refleksi bersama yang tidak kalah penting untuk membuka kesadaran dalam setiap dialog atau diskusi terbuka yang dilakukan demi mewujudkan pembangunan yang berlandaskan keadilan bagi setiap pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H