Mohon tunggu...
Andini Okka W.
Andini Okka W. Mohon Tunggu... Guru - -Work for a cause not for an applause-

- a teacher, a humanist, and a lifetime learner -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Biarkan Kebaikanmu Bermutasi dengan Pay It Forward

19 Februari 2023   22:02 Diperbarui: 19 Februari 2023   22:24 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Orang-orang yang dalam seminggu ini membantu saya, pun juga melakukan "pay it forward" atas berkat Tuhan dalam hidup mereka. Saya menjadi salah satu dari sekian yang mereka kasihi waktu itu. Indah dan damai sekali dunia, pikir saya. Bila setiap orang punya pemikiran yang sama. Saat menerima kebaikan, diteruskan kepada orang lain. Begitu seterusnya, sehingga kebaikan menjadi lingkaran yang tidak putus. Kebaikan yang bermutasi.  

Kebaikan selalu menemui jalannya. Begitu kata pepatah. Setelah perenungan sore itu saya kembali teringat peristiwa beberapa tahun silam, sekitar tahun 2016. Pagi itu, saat perjalanan ke kantor, saya berhenti sejenak di tempat penjual berbagai makanan kecil. Tempat itu sudah riuh dengan suara para ibu yang memilih panganan bekal sekolah anak mereka. Sambil memilih, dari kejauhan saya melihat seorang ibu tua memakai "tenggok" (keranjang anyaman untuk menaruh barang di punggung menggunakan selendang) menjentik-jentikkan jarinya dan melihat ke arah jarinya terus. 

Entah mengapa, ibu itu begitu menarik bagi saya. Saat mendekat, ibu itu melihat terus ke arah panganan lalu berbalik ke jarinya. Melihat ke panganan lalu berbalik ke jarinya yang dijentikkan, begitu seterusnya. Sampai saat saya bisa melihat dengan dekat, ternyata yang dijentikkan adalah dua keping uang pecahan lima ratusan. Saya tertegun sambil terus mengamati si ibu melakukan tindakan yang sama: melihat ke panganan lalu uang koin yang dijentikkan. Hingga beberapa saat saya sadar dan berpikir apa ibu itu sebetulnya lapar namun tidak cukup punya uang. Terlambat. Ibu itu sudah berjalan jauh saat ingin saya panggil. 

Dalam perjalanan ke kantor, saya merasakan emosi yang luar biasa. Merutuki betapa lambatnya saya tidak segera berbuat sesuatu untuk ibu tersebut. Di kantor saya pun menceritakan hal itu pada beberapa rekan kerja sambil sedikit berlinang air mata (terdengar berlebihan, tapi saya betul-betul menyesal kenapa saya terlambat bertindak menolong ibu tua yang mungkin sedang kelaparan). Salah satu rekan saya menenangkan dan berkata bahwa besok saya pasti akan bertemu lagi dengan si ibu karena niat kebaikan pasti akan selalu menemui jalannya.

Keesokan harinya, saya kembali ke tempat panganan kecil di kurun waktu yang sama. Sambil harap-harap cemas, takut bila si ibu tak kembali muncul. Sembari memilih, ah, betapa senangnya saya melihat sosok ibu. Masih dengan gestur yang sama : menjentikkan uang koin dan melihat terus ke arah panganan. Saat hampir dekat, segera saya gamit lengannya dan berkata, "Ibu, ngersakke menapa? Dalem tumbaske, nggih." (Ibu ingin apa?  Saya belikan ya). 

Awalnya ibu itu menolak malu-malu, namun saya terus berusaha meyakinkannya. Akhirnya ibu itu mau, dan pandangan serta tangannya langsung mengambil dua buah mentho. "Niki mbak." (Ini, Mbak) kata beliau sambil agak malu dan sedikit berkaca-kaca. 

Sebagai informasi, mentho adalah salah satu makanan gorengan Jawa Tengah yang terbuat dari singkong. Rasanya gurih karena perpaduan antara singkong, kacang tolo, dan kelapa. Mentho yang diambil si Ibu ternyata harganya hanya Rp 500, 00 per satuannya. Sesuai dengan jumlah dua keping uang koin lima ratusan yang tiap hari dibawanya, namun tidak pernah ditukar dengan dua buah mentho gurih hangat karena sisa uangnya yang tak seberapa.

Tak hanya mentho, saya pun memperlengkapi ibu tersebut dengan berbagai panganan lain agar beliau tidak merasa kelaparan di hari itu. Ibu itu mengucapkan terima kasih dan kami pun berpisah. Tahukah bagaimana perasaan saya saat itu? Membuncah bahagia.

Serasa misi saya berhasil. Entah kebetulan atau bagaimana, sejak itu saya tidak pernah bertemu kembali dengan ibu tersebut setiap kali saya mampir membeli panganan kecil di waktu yang sama. Namun demikian, saya bahagia pernah melakukan sesuatu untuk beliau walaupun tak seberapa. Poin yang paling penting adalah beliau memberikan pelajaran hidup ke saya, bahwa uang receh yang untuk sebagian besar orang adalah sepele. Ternyata sangat berharga bagi orang lain, seperti ibu itu. Sudah sepatutnya kita sesama manusia, lebih peka,  berempati, dan menolong sesama yang membutuhkan.  

Bukan tujuan saya untuk memamerkan kebaikan apa yang pernah saya lakukan lewat artikel ini. Namun, lebih kepada pesan moral dan pelajarannya untuk hidup yang ingin saya bagikan. Tentu tak terhingga bila berkat Tuhan yang datang ke hidup itu kita hitung. Konsep pay it forward merupakan manifestasi dari perpanjangan kasih Tuhan yang nyata. Meneruskan kebaikan Tuhan kepada ciptaanNya yang lain. Kebaikan yang terus bermutasi. Menjadi never ending goodness cycle untuk kehidupan bersama dunia yang lebih baik.

Apakah bentuk pay it forward ini hanya berupa materi? Tentu tidak. Kebaikan menolong berupa waktu dan tenaga untuk orang lain, menyapa, menjadi pribadi yang hangat dan menghargai semua orang tanpa membedakan pun menjadi cara untuk menularkan kebaikan. Saya jadi teringat quote isi twit Jerome Polin, "Salah satu cara untuk menjadi bahagia adalah dengan membahagiakan orang lain. Bahagianya mereka akan nular ke kita. Apa yang kita tabur itu yang kita tuai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun