Mohon tunggu...
Andini Okka W.
Andini Okka W. Mohon Tunggu... Guru - -Work for a cause not for an applause-

- a teacher, a humanist, and a lifetime learner -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Stoikisme, Solusi untuk Si Overthinker?

12 September 2022   01:18 Diperbarui: 13 September 2022   14:30 2432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi merasa overthinking. (sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com)

Beberapa tahun belakangan ini, marak istilah overthinking dipergunakan. Mulai dari perbincangan ringan hingga deep talk antar teman atau pasangan, bahkan di banyak tulisan bertopik psikologi yang bertebaran di media sosial.

Secara harafiah, overthinking sendiri berasal dari kata “over” dan “thinking” yang artinya berpikir berlebihan. 

Momen yang mana kita tenggelam dalam pemikiran di otak kita sendiri yang menghasilkan suatu kecemasan dan kekhawatiran berlebihan pada diri kita. Sedangkan istilah overthinker adalah sebutan untuk pelaku overthinking.

Saya sendiri sebagai penulis artikel, mengakui termasuk salah satu kaum si overthinker. Saya sering membayangkan skenario di pikiran tentang sesuatu yang buruk padahal belum tentu akan terjadi.

Saya sering bertanya-tanya kepada diri saya sendiri “Apa value hidup saya? ”Apa saya sudah cukup berdampak guna bagi sekitar? Apa yang orang lain pikirkan tentang saya?” dan masih banyak hal lain. 

Saat sebenarnya saya melakukan hal yang normal, tiba-tiba muncul asumsi negatif di dalam diri sendiri. Apalagi saat pandemik muncul, berkali-kali lipat level overthinking saya meningkat. Takut tertular, takut keluar rumah, dll yang cukup mengganggu kehidupan.

Saat Anda kerap mengkhawatirkan sesuatu yang Anda lakukan akan berdampak buruk ke orang lain, misalnya terhadap teman yang kemarin baru saja Anda ajak ngobrol, mungkinkah dia akan sakit hati karena kata-kata yang Anda ucapkan. 

Saat Anda memakai baju, Anda berganti berulang-ulang karena takut orang lain berpikir itu tidak sopan atau membuat Anda terlihat gemuk. Bila Anda juga berpikir sebagian besar hal-hal yang telah saya sebutkan. Maka, toss! Kita adalah satu tim, tim si overthinker.

Masalah overthinking ini nampak sepele, namun perlu diwaspadai. Kecemasan atau kekhawatiran akan skenario yang ada di otak kita dapat menyebabkan gejala psikologis serius seperti perubahan mood secara drastis, kecemasan berlebihan, hingga depresi. 

Bahkan beberapa scientist juga mengatakan bahwa overthinking mengaktifkan bagian-bagian otak yang dapat memproduksi rasa takut dan cemas (Petric, Domina. 2018).

Lebih lanjut overthinking dapat mengganggu beberapa fungsi otak dan sistem kognitif. Sistem hormon, seperti kortisol yang mengontrol stress juga sangat berpengaruh pada overthinker dengan cara yang berbeda-beda. 

Si kaum overthinker ini terjebak pada konsekuensi yang mungkin saja terjadi yang sebenarnya tidak akan terjadi dan melumpuhkan otak Anda untuk berbuat sesuatu (Ries, Julia. 2020).

  • Duh, ternyata berbahaya kan! Hidup kita hanya larut dan disetir dalam kecemasan yang tak berarti. Menggerogoti sel-sel kehidupan, mental, dan kesehatan kita. Maka dari itu, saya berusaha keras menghilangkan keanggotaan saya dari si kaum overthinker. Hingga suatu waktu saya membaca istilah yang menggelitik otak saya yaitu stoikisme.

Saya membaca istilah ini pertama kali di sebuah poster media sosial yang berbunyi “Stoikisme paling tepat untuk para overthinker”. Bermula dari itulah, saya mulai tergelitik mencari tahu lebih dalam mengenai stoikisme.

Dari salah satu jurnal yang saya baca, stoikisme atau disebut stoa merupakan salah satu aliran filsafat Yunani yang telah berusia lebih dari 2000 tahun yang dipandang sangat berpengaruh dan mudah untuk diterapkan oleh siapapun dalam hubungannya untuk meraih hidup yang lebih baik. 

Manampiring menyatakan bahwa filsafat stoikisme merupakan filsafat kepemimpinan yang mana maksud dari kepemimpinan disini bukan memimpin suatu tim ataupun organisasi.

Akan tetapi kepemimpinan disini adalah awal mula untuk memimpin diri sendiri serta mengutamakan bagaimana kita mengendalikan diri sendiri sebelum kita mencoba untuk mengendalikan orang lain (Manampiring, 2019).

Tujuan utama dari hadirnya filsafat stoikisme yaitu menekankan pada kemampuan mengendalikan emosi negatif, dan mengasah virtue (kebajikan) untuk meraih hidup yang tenteram, damai, dan tangguh yang hadir sebagai konsekuensi dari hasil pengendalian diri tersebut. 

Selain itu, tujuan lainnya adalah bagaimana kita menjalani sebaik-baiknya hidup selayaknya menjadi manusia (Manampiring, 2019).

Dalam stoikisme, kebahagiaan tidak terletak pada uang, kesehatan, atau jabatan, tetapi pada pola pikir kita; bahwa hidup yang bahagia adalah hidup yang selaras dengan alam dan tidak sebaliknya.

Bila kita memahami, mana saja yang ada dalam kendali kita dan yang tidak ada dalam kendali kita, kita akan terhindar dari overthinking

Hal-hal yang tidak ada dalam kendali kita, seperti kematian, penyakit, wabah, pikiran orang tentang kita, bencana alam, dan musibah sebaiknya tidak dipikirkan karena memang tidak ada dalam kendali kita. 

Pikiran atau kata-kata negatif orang pada kita juga tidak akan dianggap karena termasuk dalam hal yang tidak ada dalam kendali. Cara pandang kitalah yang menentukan hal-hal tersebut buruk atau baik.

Sungguh pemahaman baru yang mencerahkan dan memberkati saya secara pribadi. Intinya, stoikisme atau stoa mengajarkan kita untuk bersikap masa bodoh terhadap hal-hal yang bukan kapasitas kita mengontrol dan menguasai. 

Sehingga pada akhirnya, segala realita akan berubah menjadi pemahaman yang mendamaikan. Bukan malah mengurangi kewarasan kita.

Apakah saya sebagai penulis telah berhasil menjadi penganut stoa sejati sekarang? Oh, tentu saja belum! Saya pun masih berproses melepas belenggu overthinking saya pelan-pelan. 

Mencoba jalani hidup sesuai realita saat ini agar saya bisa menyadari bahwa semua hal yang kita cemaskan, belum tentu menjadi kenyataan. Mengutip dari salah satu tagline life coach favorit saya, Adjie Santosoputro, “Semoga kita bisa menerima kenyataan SEAPAADANYA.”

Semoga ngudarasa saya ini bisa berguna ya. Salam hangat dan sehat selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun