Ada kutipan menarik dari Bob Talbert (1936-1999) seorang kolumnis dan wartawan dari Amerika Serikat:
(Teaching kids to count is fine but teaching them what counts is best)"Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga/utama adalah yang terbaik"
Bagaimana tidak? Kutipan tersebut mampu membuat kita tersentak, menyadari, dan mengamini bahwa mengajarkan anak-anak kita tentang semua pengetahuan akademis adalah penting (bukankah mayoritas kita masih berfikir demikian), namun yang luput dari kesadaran mayoritas adalah kebutuhan pendidikan anak yang paling penting dan utama adalah bagaimana mereka mampu mengenal, belajar, dan meraih hal-hal yang berharga dalam hidup mereka.Â
Dalam konteks pendidikan kita sudah saatnya merubah urutan prioritas, mari kita pastikan bahwa prioritas pendidikan mereka tentang menghargai perasaan, minat, atau apapun yang menggairahkan mereka, menuntun ketercapaian puncak kebahagiaan mereka, sehingga memuluskan jalan kesuksesan, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Â
Keterampilan Pengambilan Keputusan
Lingkungan sekolah adalah sebuah miniatur dunia yang berkontribusi terhadap terbangunnya budaya, nilai-nilai, dan moralitas dalam diri setiap murid. Perilaku warga sekolah dalam menegakkan penerapan nilai-nilai yang diyakini dan dianggap penting oleh sekolah, adalah teladan bagi murid.
Guru sebagai pemimpin pembelajaran tentunya berperan sangat besar untuk menciptakan sekolah sebagai institusi moral. Dalam menjalankan perannya, dibutuhkan keterampilan pengambilan keputusan, disebut keterampilan karena semakin sering kita melakukannya maka semakin terlatih, fokus, dan tepat sasaran.
Dalam keterampilan pengambilan keputusan seringkali berbagai kepentingan saling bersinggungan, dan ada pihak-pihak yang akan merasa dirugikan atau tidak puas atas keputusan yang telah diambil. Tentu saja seorang pemimpin di sekolah akan menghadapi berbagai situasi dimana ia harus mengambil suatu keputusan dimana ada nilai-nilai kebajikan universal yang sama-sama benar, namun saling bertentangan.Â
Situasi seperti ini disebut sebagai sebuah dilema etika. Disaat itu terjadi, keputusan mana yang akan diambil? Tentunya ini bukan keputusan yang mudah karena kita akan menyadari bahwa setiap pengambilan keputusan akan merefleksikan integritas sekolah tersebut, nilai-nilai apa yang dijunjung tinggi oleh sekolah tersebut, dan keputusan-keputusan yang diambil kelak akan menjadi rujukan atau teladan bagi seluruh warga sekolah dan lingkungan sekitarnya.
Ketika kita menghadapi situasi dilema etika, akan ada nilai-nilai kebajikan mendasari yang bertentangan seperti cinta dan kasih sayang, kebenaran, keadilan, kebebasan, persatuan, toleransi, tanggung jawab dan penghargaan akan hidup.
Secara umum ada pola, model, atau paradigma yang terjadi pada situasi dilema etika yang bisa dikategorikan, yaitu: (1) Individu lawan masyarakat (individual vs community), (2) Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy), (3) Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty), dan (4) Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term).
Setelah mengetahui dilema etika yang dihadapi, terdapat 3 prinsip pengambilan keputusan yang bisa dipakai, yaitu: (1) Saya lakukan karena itu yang terbaik untuk kebanyakan orang (Berpikir Berbasis Hasil AKhir/End-Based Thinking). (2) Ikuti prinsip atau aturan-aturan yang telah ditetapkan (Berpikir Berbasis Peraturan/Rule-Based Thinking). Dan (3) Memutuskan sesuatu dengan pemikiran apa yang anda harapkan orang lain lakukan terhadap anda (Berpikir Berbasis rasa peduli/Care-Based Thinking).
Untuk memandu kita dalam mengambil keputusan dan menguji keputusan yang akan diambil dalam situasi dilema etika ataupun bujukan moral yang membingungkan, ada 9 langkah yang dapat dilakukan, yaitu: (1) mengenali nilai-nilai yang saling bertentangan, (2) menentukan siapa yang terlibat dalam situasi tersebut, (3) mengumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi tersebut, (4) melakukan pengujian benar atau salah dengan uji legal, uji regulasi, uji intuisi/perasaan, uji publikasi, dan uji panutan, (5) melakukan pengujian paradigma benar lawan benar (gunakan empat paradigma), (6) melakukan prinsip resolusi (gunakan tiga prinsip), (7) menginvestigasi opsi trilema (pilihan keputusan yang lain), (8) membuat keputusan, dan (9) melihat lagi keputusan dan refleksikan.
Seorang pemimpin pembelajaran dapat memberikan kontribusi positif asalkan tertanam cara pandang yang berlandaskan terhadap nilai-nilai kebajikan universal, segala aksinya bermuara kepada keberpihakan terhadap murid, dan mengandung tanggung jawab penuh atas segala konsekuensi hasil keputusannya.Â
Apabila nilai-nilai ini dipedomani secara sungguh-sungguh maka apapun aksi sebagai hasil pengambilan keputusan yang dicapai pastinya akan selalu berdampak positif terhadap lingkungan dan proses pembelajaran murid.
Internalisasi Nilai
Bapak pendidikan kita, KHD mengingatkan kita sebagai guru harus mengupayakan filosofi Pratap Triloka, tentu saja kita pasti hafal dengan sangat baik yaitu Ing Ngarso sung Tulodo (guru harus menjadi teladan/inspirasi), Ing Madyo Mangun Karso (garu mampu menciptakan prakarsa dan ide), dan Tut Wuri Handayani (guru sanggup memberi dorongan/semangat).
Filosofi inilah yang menjadi panduan guru sebagai pemimpin pelajaran dalam setiap keputusannya. Apakah hasilnya menjadi baik sehingga pantas dijadikan teladan bagi murid atau rekan sejawat, apakah hasilnya dapat memantik prakarsa baik pada momen berikutnya atau memunculkan ide kreatif lainnya, dan apakah hasilnya bisa menjadi motivasi positif baik bagi muridnya atau rekan sejawat.
Sikap mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, serta berpihak pada murid merupakan internalisasi nilai seorang guru yang menjadi pemimpin pembelajaran. Lima nilai tersebut merupakan titik tumpu guru dalam membuat keputusan terbaik.
Pengambilan Keputusan Yang Memihak Murid
Muara segala keputusan yang diambil oleh guru berorientasi terhadap semua hal yang berpihak kepada murid. Dalam pada itu, usaha guru dalam menerapkan budaya positif di lingkungan sekolah, praktik pembelajaran berdiferensiasi demi memenuhi kebutuhan belajar setiap individu, pentingnya penerapan dan pembiasan kompetensi sosial emosional pada setiap tahapan pembelajaran, bahkan keterampilan guru dalam menghadapi persoalan murid menggunakan paradigma coaching, adalah aspek-aspek penting demi tercapaianya prioritas pembelajaran yang membahagiakan dan memerdekakan murid.
Dalam menjalankan tugasnya, guru sebagai pemimpin pembelajaran hendaknya berjiwa kepemimpinan serta dapat mengembangkan ekosistem sekolah dengan baik yaitu dengan menciptakan lingkungan yang positif sehingga terwujud suatu budaya positif. Demikian juga dengan warga sekolahnya; setiap guru dan tenaga kependidikan memiliki kompetensi standar minimal di mana mereka memiliki kesamaan visi serta nilai-nilai kebajikan yang dituju, serta berupaya mewujudkannya dalam pembelajaran yang aplikatif yang mengupayakan pemberdayaan murid agar dapat menjadi pemelajar sepanjang hayat.
Banyak hasil penelitian akdemis yang menuturkan secara nyata manfaat penerapan pembelajaran sosial emosional (PSE), dan niai pentingnya adalah terciptanya lingkungan belajar yang lebih positif, peningkatan sikap positif dan toleransi murid terhadap dirinya, orang lain dan lingkungan sekolah. Selain itu, PSE di kelas terbukti dapat menghasilkan pencapaian akademik yang lebih baik. PSE memberikan pondasi yang kuat bagi murid untuk dapat sukses dalam berbagai area kehidupan mereka di luar akademik, termasuk kesejahteraan psikologis (well-being) secara optimal.
Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE) adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional agar dapat:
- Memahami, menghayati, dan mengelola emosi (kesadaran diri).
- Menetapkan dan mencapai tujuan positif (pengelolaan diri).
- Merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain (kesadaran sosial).
- Membangun dan mempertahankan hubungan yang positif (keterampilan berelasi).
- Membuat keputusan yang bertanggung jawab. (pengambilan keputusan yang bertanggung jawab).
Upaya berikutnya adalah memenuhi kebutuhan belajar setiap individu murid melalui penerapan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi akan memungkinkan guru memaksimalkan potensi peserta didik dengan meminimalisir kesenjangan belajar (learning gap) melalui proses identifikasi kebutuhan belajar murid yang tepat. Lewat pembelajaran berdiferensiasi, tidak hanya murid berkembang potensinya secara maksimal, namun proses pembelajaran juga akan lebih memberikan banyak ruang bagi murid untuk membuat dan menentukan pilihan dan memberikan suara, sehingga proses belajar akan menjadi lebih menyenangkan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, pemimpin pembelajaran seperti apakah yang dapat mendorong kita sebagai warga sekolah untuk selalu mengembangkan kompetensi diri dan senantiasa memiliki growth mindset, serta keberpihakan pada murid? Jawabannya adalah pemimpin sekolah yang dapat mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kompetensi diri dan orang lain dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.
Dalam hal ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang diawali dengan paradigma berpikir yang memberdayakan. Pendekatan dengan paradigma berpikir yang memberdayakan mutlak diperlukan agar pengembangan diri dapat berjalan secara berkelanjutan dan terarah. Salah satu pendekatan yang memberdayakan adalah coaching sebagaimana Whitmore (2003) ungkapkan bahwa coaching adalah kunci pembuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya.
Memutuskan Prioritas Pendidikan
Kompetensi lulusan merupakan profil dari kualifikasi lulusan yang diharapkan terwujud dalam diri peserta didik dan merupakan ejawantah dari apa yang diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Untuk dapat mewujudkan profil kualifikasi lulusan seperti yang dijabarkan dalam Standar Kompetensi Lulusan, maka diperlukan suatu upaya untuk mengembangkan potensi peserta didik dengan semaksimal mungkin.
Peranan penting kembali lagi terhadap keputusan guru sebagai pemimpin pembelajaran, penguatan kompetensi diri dengan memegang filosofi pendidikan yang relevan, internalisasi nilai-nilai diri, kemudian mengupayakan keberpihakan terhadap murid dalam proses pendidikan melalui penerapan budaya positif, penerapan pembelajaran sosial emosional, memenuhi kebutuhan belajar individu murid dalam pembelajaran berdiferensiasi, dan bertumpu pada konsep berpikir coaching terhadap segala persoalan yang mengiringi, adalah upaya sungguh-sungguh demi tercapainya prioritas pendidikan yang berpihak pada murid, memerdekakan mereka, dan mengantar menuju kebahagiaan tertinggi sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Jadi... Mari kita putuskan mulai saat ini, seperti apakah prioritas pendidikan kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H