“Budaya positif di sekolah dapat membentuk karakter murid, guru, bahkan visi dan misi sekolah.”
Gagasan ideal tersebut merupakan tujuan praktis pendidikan kita saat ini. Tujuan yang diharapkan mampu menjadi titik tumpu dalam menciptakan kondisi sekolah yang berpihak pada murid, dan utamanya menjadi pemicu perubahan positif bagi pribadi murid, guru, maupun lingkungan sekolah.
Selanjutnya, bagaimana agar budaya positif tersebut tumbuh dan mengakar kuat? Praktik baik seperti apa yang membantu menumbuhkan budaya positif sekolah? Siapa yang harus berkontribusi dan berperan dalam menciptakan budaya positif? Apakah praktik kita (guru) selama ini sudah sesuai dengan bentuk ideal yang ‘seharusnya’?
Budaya positif merupakan bentuk nilai kebajikan universal, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dibangun dalam jangka waktu lama yang tercermin pada sikap keseharian seluruh komponen sekolah, semuanya bermuara pada keberberpihakan pada murid agar mereka dapat berkembang menjadi pribadi yang memiliki karakter kuat, sesuai profil pelajar Pancasila (beriman, berkebhinekaan global, mandiri, gotong royong, bernalar kritis dan kreatif).
Pentingnya membangun budaya positif di sekolah sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara (KHD) yaitu pendidikan yang berpihak pada murid. KHD menegaskan bahwa tujuan dari pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Guru tidak punya kemampuan untuk merubah murid, guru hanya ‘among’, menuntun untuk menebalkan garis kodrat baik murid dan membantu menyamarkan garis kodrat buruk mereka.
KHD juga mengemukakan bahwa proses menuntun, anak perlu diberikan kebebasan dalam belajar serta berpikir, dituntun oleh para pendidik agar anak tidak kehilangan arah serta membahayakan dirinya. Semangat agar anak bisa bebas belajar, berpikir, agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan berdasarkan kesusilaan manusia, ini yang akhirnya menjadi tema besar kebijakan pendidikan Indonesia saat ini, yaitu Merdeka Belajar.
Sebelum bergerak menuju kondisi ideal, sudah semestinya paradigma dan laku kita sebagai guru selama ini dilakukan perubahan yang seharusnya.
Stephen R. Covey (Principle-Centered Leadership, 1991) mengatakan bahwa, “..bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, maka ubahlah sikap atau perilaku Anda. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita perlu mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana Anda melihat dunia, bagaimana Anda berpikir tentang manusia, ubahlah paradigma Anda, skema pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu tentang realitas”.
Untuk membangun budaya yang positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman agar murid-murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri, dan bertanggung jawab. Budaya positif berlandaskan atas praktik baik dimulai dari perubahan paradigma, penerapan disiplin positif, adanya pemahaman atas motivasi tindakan murid, membentuk keyakinan kelas/sekolah, pemenuhan kebutuhan dasar murid, memahami posisi kontrol ideal bagi guru, serta melakukan tindakan restitusi dalam menangani masalah yang muncul. Semua praktik baik tersebut dapat ditumbuhkembangkan di sekolah melalui sebuah kegiatan dan pembiasaan sehingga menjadi budaya postif yang mengakar kuat dan berkesinambungan.
Disiplin Positif
Dalam pemahaman kita, kebanyakan kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan. Kata ‘disiplin’ juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan bila perlu tidak digunakan sama sekali.
Menurut Nelsen, Lott & Glenn (2007), disiplin positif adalah sebuah model disiplin yang difokuskan pada perilaku positif murid agar menjadi pribadi yang penuh hormat dan bertanggung jawab. Disiplin positif mengajarkan keterampilan sosial dan emosional dan keterampilan kehidupan yang penting dengan cara penuh hormat dan membesarkan hati tidak hanya bagi murid tetapi juga bagi orang dewasa. Kebalikan dari disiplin positif adalah disiplin negatif yang berfokus pada hukuman. Disiplin negatif cenderung menghambat perkembangan sosial, emosional dan keterampilan hidup murid. Dengan disiplin positif, guru diharapkan dapat mewujudkan budaya positif baik di kelas maupun sekolah.
Dalam upaya menciptakan murid yang merdeka belajar, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Disiplin diri dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan mulia, sesuatu yang dihargai dan bermakna. Seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal.
Membangun budaya positif di sekolah bisa dimulai dengan membentuk lingkungan kelas yang mendukung terciptanya budaya positif, yaitu dengan menyusun keyakinan kelas. Keyakinan kelas berisi beberapa kesepakatan untuk membantu guru dan murid bekerja bersama membentuk kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kesepakatan kelas tidak hanya berisi harapan guru terhadap murid, tapi juga harapan murid terhadap guru. Kesepakatan disusun dan dikembangkan bersama-sama antara guru dan murid.
Pada kondisi tertentu adakalanya murid memerlukan bimbingan guru dalam upaya menginsyafi alasan mereka menjadi seorang murid, nilai kebajikan apa yang mereka yakini, atau mungkin mau menjadi apa mereka di masa medatang, sehingga motivasi yang terbangun adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik. Karena seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna.
Posisi Kontrol Guru
Merujuk teori pilihan William Glasser, ada berapa miskonsepsi dan malpraktik kita sebagai guru tentang anggapan bahwa guru dapat mengontrol murid, semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, orang dewasa memiliki hak untuk memaksa, bahwa semua itu hanyalah ilusi belaka.
Diane C. Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer.
Tanpa bisa dipungkiri bahwa praktik kita selama ini paling baik adalah sebagai pemantau, bahkan lebih buruk lagi sebagai penghukum atau pembuat rasa bersalah. Keduanya mempunyai efek kontrol jangka pendek, namun ekses negatif jangka panjangnya tidak baik. Alih-alih menurut, murid malah bisa memendam rasa benci dan penolakan kepada guru.
Pada posisi manajer maka suara guru sebaiknya tulus. Tidak perlu marah, tidak perlu meninggikan suara, apalagi menunjuk-nunjuk jari ke murid, berkacak pinggang, atau bersikap seolah-olah menyesal, tampak sedih sekali akan perbuatan murid ataupun bersenda gurau menempatkan diri sebagai teman murid. Fokus ada pada murid, bukan untuk membahagiakan guru atau orang tua. Murid sudah mengetahui adanya suatu masalah, dan sesuatu perlu terjadi. Bila guru mengambil posisi Pemantau, guru akan melihat apa konsekuensinya apa peraturannya? Namun pada posisi Manajer, guru akan mengembalikan tanggung jawab pada murid untuk mencari jalan keluar permasalahannya, tentu dengan bimbingan guru.
Bisa jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-hari, kita akan kembali ke posisi teman atau pemantau, karena murid yang ditangani belum siap diajak berdiskusi atau berkolaborasi, namun perlu disadari tujuan akhir seorang guru adalah pencapaian posisi manajer, di mana di posisi inilah murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.
Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka. Kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Langkah awal adalah identifikasi kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi, kemudian melakukan langkah-langkah restitusi.
Sudah saatnya kita perlu meninjau ulang tindakan penegakan peraturan atau keyakinan kelas/sekolah kita selama ini. Tindakan terhadap suatu pelanggaran pada umumnya berbentuk hukuman atau konsekuensi. Imbas dari Tindakan ini adalah memunculkan motivasi ekstrinsik murid, untuk menghindari ketidaknyamanan atau mendapatkan imbalan yang hanya mampu berefek jangka pendek dan menghasilkan ekses negatif dalam jangka panjang.
Alternatif tindakan positif seharusnya mendasarkan tindakan murid pada motivasi intrinsik, menghargai diri sendiri dan menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Alternatif pendekatan disiplin positif inilah yang dinamakan Restitusi.
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen;2004). Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen;1996).
Pendekatan Restitusi fokus untuk mengembangkan motivasi intrinsik pada murid daripada motivasi ekstrinsik, untuk belajar dari kesalahan, membimbing murid melakukan refleksi diri, mengutamakan solusi bukan kesalahan, mengembalikan identitas murid gagal menjadi berhasil, dan restitusi adalah tawaran bukan paksaan. Penekanannya bukan pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai.
Bersama Berubah
Seorang guru yang meyakinkan dirinya untuk mengambil peran sebagai pemimpin pembelajaran dapat secara nyata menggerakkan komunitas praktisi, menjadi coach bagi guru dan mendorong kolaborasi antar guru untuk bersama-sama mewujudkan budaya positif. Peran ini dapat diwujudkan apabila guru tersebut memiliki nilai-nilai mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berpihak pada murid.
Perlu kolaborasi kolektif dalam menggerakkan dan memotivasi warga sekolah agar memiliki, meyakini, dan menerapkan visi atau nilai-nilai kebajikan yang disepakati, sehingga tercipta budaya positif yang berpihak pada murid.
Mari berubah dan bergerak bersama!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H