Mohon tunggu...
Muhammad Tri Andika Kurniawan
Muhammad Tri Andika Kurniawan Mohon Tunggu... -

Lecture,Direktur Eksekutif Institute for Policy Studies.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Desentralisasi dan Konsolidasi Elit Lokal

9 Mei 2011   03:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:55 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dampak desentralisasi dalam 10 tahun masih menyisakan janji perbaikan yang harus segera dipenuhi. Sebagaimana dilihat pada poling KOMPAS 25 April, korupsi, pengangguran, infrastruktur, dan pemenuhan kebutuhan hidup, masih dipandang sebagai masalah yang belum terjawab meski desentralisasi sudah diterapkan. Dari sini muncul pertanyaan menarik, kenapa penerapan desentralisasi di Indonesia belum berhasil memenuhi janjinya?  Apakah faktor yang menghalanginya? Dan, bagaimana sebenarnya desentralisasi ini dijalankan selama 10 tahun terakhir?

Desentralisasi
Desentralisasi merupakan bagian dari wacana global yang dialami oleh negara negara yang sedang mengalami masa transisi demokrasi. Di Amerika Latin, wacana desentralisasi hadir di akhir tahun 1990-an, begitupun di Asia Timur dimana sebelum tahun 1990 masih banyak negara yang sangat sentralistik. Dan untuk Indonesia, implementasi desentralisasi berjalan begitu cepatnya sejak 2001 hingga sekarang, sampai sampai World Bank menyebut pengalaman Indonesia ini sebagai "a Big Bang" (World Bank 2003)

Sebagai perpanjangan sistem demokrasi, desentralisasi menjadi sebuah instrument vital untuk terbentuknya kehidupan politik yang lebih baik, terutama bagi negara yang baru saja lepas dari rezim otoriter, seperti Indonesia. Dan good governance adalah janji yang selalu membuntuti pilihan tersebut.

Tapi fakta berkata lain. Walaupun Indonesia tercatat sebagai one of the more decentralized nations in the world (World Bank, 2003), namun sayangnya janji good governance yang digaungkan masih jauh dari realisasi. Hasil survey Kompas pada 25 April ditambah laporan "Political & Economic Risk Consultancy"(PERC) 2010 yang menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup se Asia Pasifik, adalah fakta yang tidak terbantahkan untuk hal ini. Pada titik inilah gap terjadi.

Pertanyaannya kemudian adalah, apa sebenarnya yang menghambat pencapaian kebijakan desentralisasi?

Faktor penghambat
Dalam konteks Indonesia, setidaknya ada dua faktor penghambat yang menghalangi desentralisasi bekerja secara optimal; legacy of authoritarian regime atau segala warisan dari Orde Baru , dan tidak terkonsolidasinya kekuatan politik baru.

Pertama, secara symbol Suharto boleh saja sudah tidak menjabat sebagai presiden. Namun, warisan rezim otoriternya masih kuat terlihat di era setelahnya. Birokrasi, militer, dan Golkar, yang menjadi pilar politik Suharto pada masanya, diakui atau tidak perannya masih cukup kuat, bahkan bisa dikatakan dominan, di era reformasi saat ini. Kekuatan politik lama ini berhasil mengkonsolidasikan dirinya secara institusional untuk beradaptasi di era demokrasi, bahkan mereka mampu mendominasi sistem baru yang terbentuk.

Kondisi ini semakin diperparah dengan hadirnya hambatan kedua, yakni tidak terkonsolidasinya kekuatan aktor politik baru. Walaupun jumlah partai politik berkembang pesat, namun harus diakui mereka gagal memproduksi sosok alternatif yang bisa diusung bersama. Selain faktor masih minimnya sumber daya politik, seperti uang, pengalaman, dan jaringan, kelompok politik baru ini juga masih banyak disibukkan dengan urusan konsolidasi internalnya. Akibatnya, ketika kompetisi terbuka di dalam pemilu ataupun pilkada dilangsungkan, aktor kelompok lama lah yang berhasil memenangkan pertarungan tersebut.

Konsolidasi elit lokal
Alih alih ingin mendekatkan sistem pelayanan pemerintahan, atau ingin meningkatkan partisipasi public dalam proses pengambilan kebijakan, faktanya selama 10 tahun terakhir, desentralisasi malah lebih merupakan sebuah proses penyediaan arena baru konsolidasi para elite lokal. Bahayanya lagi, mereka ini cenderung bersifat predator, yakni elit yang membawa nilai warisan era Orde Baru dan mengambil kontrol institutional yang ditujukan untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Mereka tidaklah selalu tokoh nasional atau petinggi partai atau organisasi tertentu di era Suharto. Tapi justru kebanyakan mereka adalah orang biasa biasa saja namun pernah menjabat di institusi atau organisasi pada era Suharto. Secara singkat, mereka inilah yang oleh Vedi Hadiz disebut sebagai predator lokal (Vedi Hadiz, 2010).

Siapa saja kah mereka?
Ada tiga sumber dimana kelompok predator lokal ini berasal. Pertama adalah kelompok birokrat. Kedua adalah kelompok entrepreuner. Dan ketiga adalah kelompok lain termasuk di dalamnya adalah kelompok militer.

Kelompok birokrat lokal adalah kelompok terbesar yang mendominasi percaturan politik di daerah pasca reformasi. Pengalaman sebagai birokrat yang telah mengenal seluk beluk sistem di daerah dan juga jaringan yang dimilikinya mendorong kelompok ini untuk memegang kendali politik secara langsung. Fakta ini bisa dilihat dari persebaran mantan birokrat era Orde Baru yang duduk sebagai Bupati. Michael Malley mencatat bahwa dua per tiga dari bupati di seluruh Indonesia dalam periode November 1999 hingga Desember 2001 adalah mereka yang pernah berkarir sebagai birokrat di era Order Baru (Malley, 2003). Sedangkan sepertiganya lagi adalah mereka yang berasal dari kelompok sipil lainnya dan juga purnawirawan militer.

Kelompok berikutnya adalah kelompok entrepreneur atau pebisnis lokal. Kelompok pebisnis lokal yang bermain saat ini adalah mereka yang memiliki latar belakang asosiasi bisnis yang memiliki hubungan dengan Golkar pada masa Orde Baru. Misalnya saja ada Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi), Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI), dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Secara praksis, pada umumnya kelompok ini mendukung dari balik layar dengan cara memberikan sokongan finansial pada event pilkada misalnya. Namun tak sedikit juga dari mereka yang ikut bertarung langsung dalam perebutan kursi bupati atau gubernur. Penelitian LIPI pada tahun 2006 yang mengungkap kasus "Water Boom" di Jambi, "Sengketa Daerah Perbatasan" di Kalimantan Selatan, juga " Pertambangan Pasri Besi" di Bengkulu memperlihatkan bagaimana relasi pebisnis dan pejabat daerah sangat nampak hidup di era desentralisasi.

Penutup
Mempertimbangkan fakta di atas, maka tak ayal jika survey yang dilakukan KOMPAS pada 25 April menunjukkan bahwa capaian desentralisasi masih jauh dari maksimal. Adanya faktor penghambat sebagaimana telah dibahas, ditambah masih kuatnya cengkraman predator lokal, membuat sistem desentralisasi tidak bisa bekerja sesuai tujuan semestinya. Alih alih ingin meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat di daerah, sistem yang ada malah memperkuat para aktor politik lokal untuk memperkaya dirinya.

Namun demikian, bukan berarti tidak ada harapan kedepannya. Konsolidasi kekuatan politik baru, yang tentunya mendapatkan kawalan dari kelompok civil society, bisa menjadi jawaban terdekat dari runyamnya sistem yang sudah dicengkram oleh kelompok predator lokal. Jika strategi ini bisa diakslerasi oleh semua pihak yang mendukungnya, bukan tidak mungkin janji dari desentralisasi, yakni good governance yang pada akhirnya berujung pada penyediaan kesejahteraan masyarakat, dapat terwujud dengan segera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun