Presiden Soekarno selalu menyematkan judul khas di setiap pidato kemerdekaan 17 Agustus, antara lain: Sekali Merdeka, Tetap Merdeka! (1946), Rawe-rawe Rantas, Malang-malang Putung! (1947), Tahun Vinere Pericoloso (1964), seakan menandakan babak baru revolusi Indonesia (Soekarno, 2015: 663-664). Masih terkait dengan dirgantara Indonesia, tahun 1965 Presiden Soekarno menyampaikan pidato bertajuk, "Capailah Bintang-bintang Di Langit" (Soekarno, 2015: 657). Yang dapat diartikan: Untuk dapat mencapai bintang (langit) diperlukan moda transportasi yang dapat terbang, pesawat, sehingga merujuk pada bandar udara Kemayoran. Tidak hanya sampai di situ, kesinambungan pembangunan patung Dirgantara terdapat pada isi pidatonya, antara lain:
"...hari ini nama kita ialah Indonesia! Jabatan kita? Hari ini kita bukan kepala negara, bukan menteri, bukan pegawai... hari ini jabatan kita ialah patriot! Gatotkaca Patriot Indonesia!..." (Soekarno, 2015: 658).
Terpapar jelas, "Gatotkaca", yang merupakan figur rujukan dasar patung Dirgantara. Akan tetapi, dimana letak signifikansi bandar udara Kemayoran? Sebagai bandara internasional pertama di Jakarta yang mencerminkan modernitas negara Indonesia, bandar udara Kemayoran tertuang di dalam pidato Bung Karno (kelanjutan pidato 17 Agustus 1965):
"Revolusi itu selalu mempunyai alat-alat materiil dan alat-alat spiritual sekaligus. Alat-alat materiil itu ada yang sederhana, ada yang modern, ada yang up-to-date..." (Soekarno, 2015: 675).
Konektivitas antar unsur (patung Dirgantara, MBAU, bandar udara Kemayoran) seakan harmonis dan saling bersinergi di masa lampau. Bagaimana dengan masa kini atau zaman now?
Markas Besar Angkatan Udara (MBAU) telah berubah menjadi wisma Aldiron yang adalah gedung perkantoran setinggi empat lantai. Walaupun tetap mempertahankan struktur bangunan memanjang ke sisi samping dengan dominasi warna putih seperti halnya di masa lampau, akan tetapi tetap, bukanlah MBAU.
DAFTAR PUSTAKA
Â
Barthes, Roland. 1983. Mythologies (diterjemahkan oleh: Annette Lavers). Hill and Wang: New York.
Budiman, Kris. 2003. Semiotika Visual. Buku Baik: Yogyakarta.