Mohon tunggu...
Vox Pop Pilihan

Sang Manusia Terbang Dirgantara, Mitos, Presiden Soekarno, dan Dirgantara Indonesia

7 Februari 2018   11:34 Diperbarui: 7 Februari 2018   11:55 1530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 2: Peta Lokasi Patung Dirgantara, Bekas Bandara Kemayoran, dan MBAU. Sumber: Tangkapan Layar Google Maps

Presiden Soekarno selalu menyematkan judul khas di setiap pidato kemerdekaan 17 Agustus, antara lain: Sekali Merdeka, Tetap Merdeka! (1946), Rawe-rawe Rantas, Malang-malang Putung! (1947), Tahun Vinere Pericoloso (1964), seakan menandakan babak baru revolusi Indonesia (Soekarno, 2015: 663-664). Masih terkait dengan dirgantara Indonesia, tahun 1965 Presiden Soekarno menyampaikan pidato bertajuk, "Capailah Bintang-bintang Di Langit" (Soekarno, 2015: 657). Yang dapat diartikan: Untuk dapat mencapai bintang (langit) diperlukan moda transportasi yang dapat terbang, pesawat, sehingga merujuk pada bandar udara Kemayoran. Tidak hanya sampai di situ, kesinambungan pembangunan patung Dirgantara terdapat pada isi pidatonya, antara lain:

"...hari ini nama kita ialah Indonesia! Jabatan kita? Hari ini kita bukan kepala negara, bukan menteri, bukan pegawai... hari ini jabatan kita ialah patriot! Gatotkaca Patriot Indonesia!..." (Soekarno, 2015: 658).

Terpapar jelas, "Gatotkaca", yang merupakan figur rujukan dasar patung Dirgantara. Akan tetapi, dimana letak signifikansi bandar udara Kemayoran? Sebagai bandara internasional pertama di Jakarta yang mencerminkan modernitas negara Indonesia, bandar udara Kemayoran tertuang di dalam pidato Bung Karno (kelanjutan pidato 17 Agustus 1965):

"Revolusi itu selalu mempunyai alat-alat materiil dan alat-alat spiritual sekaligus. Alat-alat materiil itu ada yang sederhana, ada yang modern, ada yang up-to-date..." (Soekarno, 2015: 675).

Konektivitas antar unsur (patung Dirgantara, MBAU, bandar udara Kemayoran) seakan harmonis dan saling bersinergi di masa lampau. Bagaimana dengan masa kini atau zaman now?

Markas Besar Angkatan Udara (MBAU) telah berubah menjadi wisma Aldiron yang adalah gedung perkantoran setinggi empat lantai. Walaupun tetap mempertahankan struktur bangunan memanjang ke sisi samping dengan dominasi warna putih seperti halnya di masa lampau, akan tetapi tetap, bukanlah MBAU.

Gambar 3: Wisma Aldiron. Sumber: http://wismaaldiron.com/
Gambar 3: Wisma Aldiron. Sumber: http://wismaaldiron.com/
"Bung Karno hanya mengaskan bahwa di keempat penjuru patung tidak boleh ada bangunan yang menghalangi pandangan (gambar 4)" ujar Edhi Sunarso (Farid, 2012: 52).

Gambar 4: Patung Dirgantara tahun 1970-an. Sumber: https://sambohgrace.files.wordpress.com/2016/08/dirgantara-monument-1960s.jpg
Gambar 4: Patung Dirgantara tahun 1970-an. Sumber: https://sambohgrace.files.wordpress.com/2016/08/dirgantara-monument-1960s.jpg
Gambar 5: Patung Dirgantara atau Pancoran tahun 2016. Sumber: https://log.viva.co.id/blog/sosial/844024-near-miss-di-patung-pancoran
Gambar 5: Patung Dirgantara atau Pancoran tahun 2016. Sumber: https://log.viva.co.id/blog/sosial/844024-near-miss-di-patung-pancoran
Titah Bung Karno menegaskan, "Tidak boleh ada bangunan..." Pembangunan jalan layang bebas hambatan, gedung bertingkat (gambar 5), menghalangi pandangan terhadap patung. Jadi, jelas bahwa patung Dirgantara tidak sama dengan patung Pancoran. Bandar udara internasional Kemayoran pun telah bertransformasi. Semenjak dibangunnya bandar udara Soekarno-Hatta, landasan pacu berubah menjadi jalan raya kendaraan roda dua dan empat.

Gambar 6: Bekas bandar udara Kemayoran sekarang. Sumber: https://www.kompasiana.com/christiesuharto/bekas-bandara-kemayoran-apa-kabar-sekarang_55287aa86ea83489558b459a
Gambar 6: Bekas bandar udara Kemayoran sekarang. Sumber: https://www.kompasiana.com/christiesuharto/bekas-bandara-kemayoran-apa-kabar-sekarang_55287aa86ea83489558b459a
Jadi, sang manusia terbang Dirgantara telah benar-benar terbang. Yang sekarang bertengger di atas Pancoran hanyalah imitasi, tanpa visi Presiden Soekarno, dan tidak memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab memajukan dirgantara Indonesia. Mungkin, Presiden Soekarno akan berkata, "Ya sudah, memang sudah terbang dia. Jiwa sang manusia terbang Dirgantara telah benar-benar terbang, alias (mungkin) dia telah mati."

DAFTAR PUSTAKA

 

Barthes, Roland. 1983. Mythologies (diterjemahkan oleh: Annette Lavers). Hill and Wang: New York.

Budiman, Kris. 2003. Semiotika Visual. Buku Baik: Yogyakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun