Mohon tunggu...
Andika dwioctavianto
Andika dwioctavianto Mohon Tunggu... Polisi - mahasiswa pascaunsuri 2022

hobi menembak dan berlari

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Implementasi dari Pengaturan Kedudukan Konsumen dalam Kepailitan

25 November 2023   15:39 Diperbarui: 25 November 2023   15:42 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penegakan hukum  merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terdapat dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Efektifitas dari penegakan hukum menurut Lawrence M. Freidman bergantung pada tiga hal yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Ketiga hal ini merupakan sub sistem yang akan berinteraksi membangun suatu organisme kompleks yang bernama sistem hukum.

Berkaitan dengan subtansi hukum terlihat ada kelemahan dari aturan yang membahas mengenai kedudukan konsumen. KUHPerdata, UU Kepailitan dan UU Perlindungan Konsumen tidak mengatur secara jelas kedudukan konsumen dalam kepailitan. Hanya Pasal 52 UU Perasuransian yang mengatur secara tegas kedudukan konsumen dalam kepailitan yaitu sebagaikreditor preferen. Pengaturaniniberbeda dengan pengaturan dalam UU Kepailitan yang mengatur konsumen sebagai kreditor konkuren. Dalam hukum berlaku ketentuan UU yang bersifat khusus mengenyampingkan UU yang bersifat khusus umum (lex specialis derogat legi generalis). Adapun beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas ini adalah :

  • ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus.
  • Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang- undang).
  • kententuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis.

Pada konsumen yang membeli rumah secara kredit melalui bank maka bank akan memberikannya dengan jaminan tanah dan/atau rumah berupa hak tanggungan. Sehingga ketika pengembang pailit, bank menjadi kreditor separatis yang memegang jaminan kebendaan. Sedangkan konsumen pembeli rumah malah menjadi kreditor konkuren. Sebagai kreditor konkuren konsumen akan berada diurutan terakhir prioritas pembayaran hutang dan bisa saja tidak mendapatkan apa-apa karena harta pailit telah habis dibagikan kepada kreditor preferen dan separatis. Selain itu ketentuan Pasal 36, dan Pasal 249 UU Kepailitan dapat membuat pelaksanaan perjanjian tertunda karena tidak ditentukan oleh tanggal sesuai dengan perjanjian melainkan ditentukan berdasarkan kesepakatan dengan kurator, pengurus atau hakim pengawas. Sedangkan berdasarkan Pasal 37 UU Kepailitan, perjanjian menjadi hapus dan konsumen berhak mendapatkan ganti rugi. Ganti rugi tersebut tidak serta merta didapat karena tetap saja konsumen harus mengajukan diri sebagai kreditor konkuren. Hal ini tentunya bertentangan dengan Pasal 19 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa ganti rugi harus diberikan 7 hari setelah tanggal transaksi. Berdasarkan asas lex specialis de rogat legi generali maka yang berlaku adalah UU Kepailitan dalam perkara kepailitan.

Ketidaksingkronan antara UU Kepailitan dengan UU Perasuransian dan UU Perlindungan Konsumen bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Adapun asas yang dilanggar adalah kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. Adapun yang dimaksud dengan azas ini adalah "bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang- undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan". Hal ini berkaitan dengan Pasal 52 UU Perasuransian yang dibentuk setelah berlakunya UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan. Dalam proses pembentukan Pasal 52 terkait kedudukan nasabah dalam kepailitan harusnya diselaraskan dengan aturan kepailitan terutama berkaitan dengan Pasal 36 dan Pasal 249 UU Kepailitan karena dalam perkara kepailitan yang menjadi lex specialis adalah UU Kepailitan.

Selain itu juga melanggar "asas dapat dilaksanakan" karena dengan diaturnya pemenuhan prestasi ditentukan berdasarkan kesepakatan kreditor dengan kurator/ pengurus dalam UU Kepailitan membuat ketentuan Pasal 19 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen dan Pasal 52 UU Perasuransian menjadi tidak dapat dilaksanakan. Asas dapat dilaksanakan berarti "setiap Pembentukan Peraturan Perundang- undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan  Perundangundangan   tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis".

Sebetulnya Pasal 24 ayat (4) UU Kepailitan memberikan kesempatan pada debitor untuk menyelesaikan kewajibannya meski putusan pailit telah dijatuhkan, hanya saja terbatas pada transaksi efek di bursa efek. Pada praktiknya banyak bentuk transaksi lain yang menyangkut kepentingan umum yang membutuhkan pemenuhan prestasi secepatnya seperti terkait hak konsumen dari perusahaan asuransi dan maskapai penerbangan. Bagi konsumen, putusan pailit menyebabkan hak mereka tidak terpenuhi. Dari kasus kepailitan maskapai penerbangan Batavia, terlihat jelas bagaimana konsumen dirugikan karena dikategorikan sebagai kreditor konkuren yang mendapatkan hak sesudah hak kreditor preferen dan separatis dilaksanakan.

Sebagai kreditor konkuren maka kesepakatan dengan pengurus atau curator. Bahkan apabila dana tidak mencukup maka konsumen dapat gagal berangkat dan memperoleh ganti rugi yang sangat minim. Putusan ini tentu menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi konsumen tersebut. Adanya ketidakpastian hukum juga merupakan bentuk pelanggaran pada perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Konsumen.

Berkaitan dengan stuktur hukum, perkara kepailitan setidaknya melibatkan 4 pihak yaitu konsumen itu sendiri, kurator, pengurus dan hakim pengawas. Baik kurator, pengurus maupun hakim pengawas, legalitasnya telah diatur secara jelas dalam UU Kepailitan. Berbeda dengan konsumen yang tidak jelas kedudukannya dalam UU tersebut. UU hanya menyebutkan konsumen sebagai pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor (Pasal 36 ayat (1)) atau pihak lawan yang dirugikan (Pasal 37 ayat (1). Dengan ketidakjelasan kedudukan konsumen dalam UU Kepailitan membuat posisi konsumen berada di bawah kurator, pengurus maupun hakim pengawas. Posisi yang tidak sejajar ini akan membuat konsumen tertekan dalam proses mencapai kesepakatan terutama berkaitan dengan jangka waktu pelaksanaan prestasi. Belum lagi soal ganti rugi yang dapat diterima.

Kondisi ini jelas bertentangan dengan syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Ada 4 syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu sepakat para pihak, kecakapan para pihak, objek atau hal tertentu dan sebab yang halal. Untuk sepakat dan cakap termasuk pada syarat subjektif sedangkan objek tertentu dan sebab yang halal termasuk syarat objektif. Terkait sepakat para pihak harus diperoleh tanpa adanya paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling) dan penipuan (bedrog). Posisi konsumen yang lebih lemah tentunya membuat mudah mendapatkan paksaan. Kondisi ini merupakan pelanggaran syarat subjektif yang dapat berakibat perjanjian dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan.  Sedangkan terkait curator dan pengurus UU Kepailitan memberikan kewenangan yang sangat besar. Tugas curator dalam kepailitan antara lain :

  • Melaksanakan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali (Pasal 16 ayat (1)).
  • Menerima imbalan jasa (Pasal 17 ayat (2)).
  • Mengambil alih perkara dan mohon agar debitor dikeluarkan dari perkara (Pasal 28 ayat (4)).
  • Mengajukan pembatalan atas segala perbuatan yang dilakukan oleh debitor sebelum yang bersangkutan dinyatakan pailit (apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatan debitor tersebut dilakukan dengan maksud untuk merugikan kreditor) (Pasal 30).
  • Memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian (Pasal 52).
  • Melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Pasal 98)

Kewenangan yang sangat besar ini membuat penyimpangan kewenangan oleh kurator dalam kepailitan sangat mungkin terjadi. UU Kepailitan sebetulnya sudah berusaha mengantisipasi penyimpangan oleh kurator melalui:

  • Adanya persyaratan bahwa kurator harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitor atau kreditor, dan tidak sedang menangani lebih dari 3 (tiga) perkara perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (Pasal 15 ayat (3)).Pada penjelasan pasal ini dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan" adalah bahwa kelangsungan keberadaan kurator tidak tergantung pada debitor atau kreditor, dan kurator tidak memiliki kepentingan ekonomis yang sama dengan kepentingan ekonomis debitor atau kreditor.
  • Pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas (Pasal 1 angka 5).
  • Bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit (Pasal 72)

Meski begitu aturan pembatasan ini tidak mampu mengantisipasi berbagai penyalahgunaan oleh oknum kurator seperti menutup-nutupi harta pailit, mengambil alih aset, melelang dengan sembarangan sehingga menyebabkan berkurangnya nilai aset secara drastis. Tindakan kurator ini tentunya dapat menyebabkan kerugian terhadap konsumen terlebih lagi dalam kebanyakan kasus kepailitan, konsumen dikategorikan sebagai kreditor konkuren yang pembayarannya akan dilakukan apabila kewajiban terhadap kreditor separatis dan preferen terlaksana. Sehingga apabila harta pailit ditutup-tutupi dan tidak dikelola secara baik oleh kurator bisa menyebabkan konsumen hanya mendapatkan sebagian kecil dari haknya bahkan bisa tidak dapat sama sekali.

Adapun contoh terkait tindakan curator yang tidak independen adalah pada kasus kepailitan PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya. Pada bulan Mei 2017, Polri telah menangkap 3 orang kurator terkait kasus kepailitan tersebut. Ketiganya ditangkap karena memindahkan sebagian aset milik PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya masuk ke rekening pribadi bukan ke dalam rekening penampungan harta pailit. Terhadap ketiga kurator ini Polri mengenakan Pasal 372 KUHPidana dan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Juncto Pasal 55 dan 56 KUHP. Jadi bukan UU Kepailitan yang dijadikan dasar.

Pasal 72 UU Kepailitan yang mengatur kurator harus bertanggungjawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit juga mengandung kelemahan karena belum ada kejelasan tentang batasan dari kesalahan dan kelalaian. Begitu juga pengurus PKPU. Pasal 234 ayat (1) UU Kepailitan mengatur, "Pengurus yang diangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 ayat harus independen dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor". Pasal 234 ayat (2) mengatur, "Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terbukti tidak independen dikenakan sanksi pidana dan/atau perdata sesuai dengan peraturan perundang-undangan". Pasal ini tidak memberikan barometer yang jelas mengenai independensi pengurus. Berkaitan dengan sanksi terhadap pengurus yang tidak independen juga tidak jelas aturannya. Sehingga tidak mengherankan apabila terjadi banyak kasus penyalahgunaan oleh pengurus.

Tidak diaturnya barometer independensi dari pengurus dan sanksi seperti apa yang akan dikenakan kepada pengurus yang nakal membuat terjadinya ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan aturan terkait aturan independensi dan sanksi terhadap pengurus. Seperti pada kasus PKPU Pandawa Group, kuasa hukum Pandawa Group menyatakan bahwa tindakan Tim Pengurus PKPU bertentangan dengan UU Kepailitan terkait verifikasi validitas tagihan dan proses pengambilan putusan penolakan perdamaian.

Pengaturan yang tidak jelas tentang kedudukan konsumen dan seringnya tindakan penegak hukum kepailitan yang tidak berpihak kepada konsumen serta budaya hukum yang membuat masyarakat kecewa dengan kepailitan, menjadikan penyelesaian sengketa utang piutang melalui kepailitan dan PKPU mulai ditinggalkan. Hal ini terlihat dari penelitian yang dilakukan Theresia Endang Ratnawati. Menurutnya penurunan pengajuan kepailitan oleh kreditor terjadi mulai dari tahun 2001-2003 dan 2005-2006. Masyarakat sebagai konsumen mulai beralih pada upaya hukum lain, seperti menggunakan prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui mediasi dan Badan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (BPSK). Penyelesaian hukum seperti ini memang lebih cocok dengan budaya Indonesia yang terbiasa menyelesaikan perkara utang piutang dengan pendekatan kekeluargaan. 

Demikian penjelasan tentang Implementasi dari pengaturan kedudukan konsumen dalam kepailitan. 

semoga para pembaca sekalian dapat mengambil inti dari penjelasan diatas. 

terima kasih dan mohon maaf untuk kekurangan dalam artikel ini. 

DAFTAR PUSTAKA 

Luthvi Febryka Nola, Kedudukan Konseum dalam Kepailitan The Position of Consumer In Bankruptcy, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 2017.  

RM. Panggabean, "Keabsahaan Perjanjian dengan Klausula Baku", Jurnal Hukum, Vol. 17 No. 4 Oktober 2010, hal. 655, http://www.undana.ac.id/ jsmallfib_top/JURNAL/HUKUM/HUKUM%202012/ KEABSAHAN%20PERJANJIAN%20DENGAN%20 KLAUSUL%20BAKU.pdf", diakses tanggal 9 Oktober 2017.

Lawrence Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System: A Social Science Perspective), peterjemah: M. Khozim, Bandung: Nusamedia, 2009, hal. 17.

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008, hal.5.

Erry Fitrya Primadhany, "Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Perumahan Graha Dewata Akibat Dipailitkannya Pengembang PT Dewata Abdi Nusa (Studi Kasus Putusan Nomor 16/PAILIT/2013/PN.NIAGA.Sby)", Jurnal Hukum, Malang: Universitas Brawijaya, 2014, hal. 3, http:// download.portalgaruda.org/article.php?article=188230& val=6466&title=PERLINDUNGAN%20HUKUM%20 TERHADAP%20KONSUMEN%20PERUMAHAN%20 GRAHA%20DEWATA%20%20AK I BAT%20 DIPAILITKANNYA%20PENGEMBANG%20PT%20 DEWATA%20ABDI%20NUSA%20%20(Studi%20 Kasus%20Putusan%20Nomor%2016/PAILIT/2013/ PN.Niaga.Sby), diakses tanggal 6 September 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun