Adapun contoh terkait tindakan curator yang tidak independen adalah pada kasus kepailitan PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya. Pada bulan Mei 2017, Polri telah menangkap 3 orang kurator terkait kasus kepailitan tersebut. Ketiganya ditangkap karena memindahkan sebagian aset milik PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya masuk ke rekening pribadi bukan ke dalam rekening penampungan harta pailit. Terhadap ketiga kurator ini Polri mengenakan Pasal 372 KUHPidana dan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Juncto Pasal 55 dan 56 KUHP. Jadi bukan UU Kepailitan yang dijadikan dasar.
Pasal 72 UU Kepailitan yang mengatur kurator harus bertanggungjawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit juga mengandung kelemahan karena belum ada kejelasan tentang batasan dari kesalahan dan kelalaian. Begitu juga pengurus PKPU. Pasal 234 ayat (1) UU Kepailitan mengatur, "Pengurus yang diangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 ayat harus independen dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor". Pasal 234 ayat (2) mengatur, "Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terbukti tidak independen dikenakan sanksi pidana dan/atau perdata sesuai dengan peraturan perundang-undangan". Pasal ini tidak memberikan barometer yang jelas mengenai independensi pengurus. Berkaitan dengan sanksi terhadap pengurus yang tidak independen juga tidak jelas aturannya. Sehingga tidak mengherankan apabila terjadi banyak kasus penyalahgunaan oleh pengurus.
Tidak diaturnya barometer independensi dari pengurus dan sanksi seperti apa yang akan dikenakan kepada pengurus yang nakal membuat terjadinya ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan aturan terkait aturan independensi dan sanksi terhadap pengurus. Seperti pada kasus PKPU Pandawa Group, kuasa hukum Pandawa Group menyatakan bahwa tindakan Tim Pengurus PKPU bertentangan dengan UU Kepailitan terkait verifikasi validitas tagihan dan proses pengambilan putusan penolakan perdamaian.
Pengaturan yang tidak jelas tentang kedudukan konsumen dan seringnya tindakan penegak hukum kepailitan yang tidak berpihak kepada konsumen serta budaya hukum yang membuat masyarakat kecewa dengan kepailitan, menjadikan penyelesaian sengketa utang piutang melalui kepailitan dan PKPU mulai ditinggalkan. Hal ini terlihat dari penelitian yang dilakukan Theresia Endang Ratnawati. Menurutnya penurunan pengajuan kepailitan oleh kreditor terjadi mulai dari tahun 2001-2003 dan 2005-2006. Masyarakat sebagai konsumen mulai beralih pada upaya hukum lain, seperti menggunakan prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui mediasi dan Badan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (BPSK). Penyelesaian hukum seperti ini memang lebih cocok dengan budaya Indonesia yang terbiasa menyelesaikan perkara utang piutang dengan pendekatan kekeluargaan.Â
Demikian penjelasan tentang Implementasi dari pengaturan kedudukan konsumen dalam kepailitan.Â
semoga para pembaca sekalian dapat mengambil inti dari penjelasan diatas.Â
terima kasih dan mohon maaf untuk kekurangan dalam artikel ini.Â
DAFTAR PUSTAKAÂ
Luthvi Febryka Nola, Kedudukan Konseum dalam Kepailitan The Position of Consumer In Bankruptcy, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 2017. Â
RM. Panggabean, "Keabsahaan Perjanjian dengan Klausula Baku", Jurnal Hukum, Vol. 17 No. 4 Oktober 2010, hal. 655, http://www.undana.ac.id/ jsmallfib_top/JURNAL/HUKUM/HUKUM%202012/ KEABSAHAN%20PERJANJIAN%20DENGAN%20 KLAUSUL%20BAKU.pdf", diakses tanggal 9 Oktober 2017.
Lawrence Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System: A Social Science Perspective), peterjemah: M. Khozim, Bandung: Nusamedia, 2009, hal. 17.