Mohon tunggu...
Andika D.H.
Andika D.H. Mohon Tunggu... -

Peserta terakhir soal asmara. Tinggal di gubuk kata tempat pemuda bernostalgia.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Catatan Perjalanan

15 Oktober 2015   18:42 Diperbarui: 15 Oktober 2015   19:33 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 [caption caption="Suasana pagi di Ranu Kumbolo"][/caption]

Persiapan sepuluh hari dari hari yang ditentukan, kala itu tiga anak mendiskusikan keberangkatan ke Ranu Kumbolo (Rakum), Andika, Imam dan Sugeng, para pendaki menyebutnya Surganya Mahameru. Di Wifi Corner, depan Kampus STT NJ itulah awal mula tercetusnya tanggal keberangkatan, tentunya telah melalui diskusi yang sangat alot dari ketiganya dengan berbagai pertimbangan. Mengingat target utama mereka adalah mahasiswa akhir yang telah melaksanakan ujian sidang Skripsinya. Sebab itu ketiganya menyepakati hari sabtu, 10 Oktober 2015. Karena perhitungannya tanggal itu sidang skripsi selesai.

Dari itu obrolan kecil mulai dilayangkan melalui media sosial. Hal itu mendapat respon baik dari teman-teman, khususnya angkatan 2011 mahasiswa STT NJ. Namun seiring berjalannya roda waktu yang tak bisa datawar lagi membuat kita memutar otak, memeras akal menjadi solusi bijak untuk mengatasi masalah yang datang tak diduga. Kendati ada empat orang yang belum melakukan sidang skripsi hingga tanggal 10 Oktober. Sebagian orang cemas, sebagian lagi tak berkomentar. Karena itu, hari sabtu pukul 20.00 wib, lima orang mengadakan rapat luar biasa di lantai 4 gedung 2 STT NJ. Berbagai usulan pun lancar keluar. Pada akhirnya kelima orang tersebut mengulur waktu dan menetapkan tanggal, 12 Oktober 2015, pukul 4.00 wib keberangkatan ke Rakum dimulai. Disamping itu, rapat luar biasa juga menghasilkan stuktur portable yang menjadikan Andika sebagai Ketua Panitia, Imam di posisi penunjuk jalan, Masduki sebagai Bendahara, Lukman dan Sugeng sebagai perlengkapan, sedang Farihin sebagai dokumentator.

12 Oktober 2015
Suara adzan subuh mendayu-dayu di gendang telinga, satu persatu teman-teman bergantian ke kamar mandi, ada yang membereskan barang bawahan, ada yang menyiapkan bekal. Pukul 5.30, sepuluh orang telah siap melakukan perjalanan, tas ransel, matras, slipingbat, dan segala kebutuhan yang diperlukan di puncak Rakum untuk bermalam rapi di dalam tas. Dengan membaca Bismillahirrohmanirrohim, lima sepeda motor, sepuluh orang, perjalanan ke Rakum dari kampus STT NJ dimulai.

'Selamat Datang di Kabupaten Lumajang', begitu tulisan yang membentang di perbatasan Kabupaten Probolinggo dengan Kabupaten Lumajang menyapa pagi kita. Rasa penasaran kian berkobar-kobar di benak kita yang telah jenuh dengan urusan kampus. Karenanya, di desa Ranuyoso, dua orang teman, Zaki dan Matjuhri, yang berangkat lebih dulu menunggu kedatangan kita.

Dua belas orang, enam sepeda motor melaju beriringan bak konvoi kemerdekaan. Di jalan raya Lumajang-Probolinggo pagi itu tampak lengang, laju sepeda motor seraya berjalan dalam kesunyian, cepat, hikmad. Sesampainya di Pasar Senduro, di depan indomart kita berhenti lantaran perlengkapan mendaki kurang; dua surat keterangan sehat, dua matras, dan dua slipingbat. Karena itu kita mencari kekurangannya di sekitar pasar, 10 menit kemudian kita lanjutkan perjalanan yang masih panjang.

Masuk desa Burno, Kec. Senduro, jalan mulai beliku, menanjak, kiri dan kanan pepohonan tinggi , daun-daun rindang kehijauan. Angin segar pegunungan kian terasa ketika melewati tebing angkuh berdiri di sisi jalan, suara burung seakan mengucapkan selamat datang, sahut-sahutan. Meski begitu, jalan tak selamanya nyaman, di jalan yang kita lalui, masuk desa Tengger Semeru Lumajang, tak beraspal, bebatuan. Para rider pengalaman tak kehilangan akal melewati batu-batu yang menghalang di spanjang jalan, memaikan gas, memadukan presneling, menyeimbangkan rem dan konsentrasi tinggi. Sepanjang 3 km kita disuguhi batu-batu dan debu yang berkeliaran. Wajah mulai berdebu, sepeda motor kian berantakan warnanya akibat debu yang menempel pada bodinya.

Jarak 1 km, kita melihat Ranu Pani, pos pendaftaran bagi para pendaki mahameru. "Selamat datang Ranu Pani", ungkap Dayat sesekali melebarkan kedua tangannya dari atas sepeda motor. Sampai di Ranu Pani kita memarkir kendaraan, kemudian menuju masjid desa setempat. Di masjid itu kita membasuh muka, mempersiapkan diri, dan makan. Sebelum itu sempat berbincang-bincang dengan ulama' yang ada di masjid, dia memberi kita makanan ringan, dan buah apel. Kenyang bukan main saat melanjutlan perjalanan ke tempat perizinan. Administrasi telah kita lakukan, namun sebelum mendaki, kita diminta oleh salah satu relawan meluangkan waktunya sebentar untuk memberikan beberapa pesan dan larangan. Intinya "Menjadi pendaki yang bijak, bawa pulang sampah".

12.00 Wib
Matahari tepat di atas ubun-ubun, kemarau panjang membuat jalan berdebu, dua belas orang mulai melakukan pendakian, di gapura bertuliskan 'Selamat Datang Para Pendaki Gunung Semeru' kita berdoa, lantaran keselamatan tidak penuh dari diri manusia, melainkan ada campur tangan Tuhannya.

Langkah demi langkah kita jejakkan pada tanah pegunungan, semakin lama, jalan menyempit dan menanjak. Kita berjalan mengikuti trayek yang entah siapa pembuatnya, sesekali menyapa para pendaki yang mulai kelelahan, memberikan semangat, begitu juga sebaliknya. Cukup cepat langkah kita meski terbilang pemula, meski berhenti sekedar minum dan melepas nafas itu hal wajar-wahar saja. Di Pos 1 kita berhenti, menyapa para pendaki yang hendak kembali. Ngobrol sebentar sekedar tanya dari mana asalnya. Tak terduga mereka dari berbagai kota di Indonesia. Wajah-wajah mulai kelelahan, pakaian tak sebersih keberangkatan, debu-debu bertengger di wajah dan celana, lelah mulai menyerang kita, nafas tak teratur, kaki kian memanas, badan terasa pegal. 4.5 km lagi dari Watu Rejeng menuju Rakum. Sepanjang jalan itu semangat mendaki terus membara, tak peduli apapun yang terjadi. Pos 2 dan 3 kita lewati, tinggal 2 km lagi Rakum akan terlihat bibirnya.

Hawa ranu tercium dari ketinggian, airnya hijau kebiruan, pepohonan tinggi menjulang, dingin bukan gurauan. Lelah kaki dan lelah nafas terbayar lunas melihat keindahan Rakum, hamparan luas padang safana menambah angkuh, menyiutkan nyali manusia yang penuh kesombongan. Sungguh, tiada apa-apanya manusia di tengah-tengah pegunungan yang indah ini. Pukul 16.40, kita berada di bibir Rakum, mengamati keindahan, merenungi ketakjuban ciptaan Tuhan yang tak kunjung selesai kita pecahkan. Sepuluh menit kemudian, setelah tertegun melihat Rakum, Surganya Mahameru, kita dirikan tenda, kita ambil air danau, kita memasak mie instan, dan kita makan bersama.

Senja itu saksi kita tiba di Rakum, pantulan sinar matahari berpendar di air danau, menyebabkan getiran hati yang maha dahsyat. Hawa dingin menusuk tulang, menembus parasit meski itu tebal. Satu persatu para pendaki berdatangan, semakin petang tenda banyak didirikan. Senda gurau tumpah ruah di keheningan malam, angin semilir membuat kita terlelap, memejamkan mata di dalam tenda berisi empat orang.

Matahari pagi menggoda kita bangun lebih awal, suhu udara entah berapa, dingin mematikan kulit, menyesakkan nafas. Kita ambil gambar, tak peduli jemari tak tahan mengangkat kamera, pagi hari waktu yang ditunggu para pendaki, karena waktu itulah, ranu kumbolo gagah perkasa. Di sana kita banyak mengabadikan diri. Matahari mulai meninggi, kita disibukkan memasak mie instan, sebab hanya itulah bekal makan kita. Tak tersisa lagi bekal yang kita bawa, semua kita limpahkan pagi itu.

Belum lengkap rasanya jika berdiam diri di Rakum, masih ada lagi satu kesempatan kita untuk mendaki. Sebut namanya "Tanjakan Cinta", dua kata mengandung makna berarti bagi manusia yang menginginkan kekasih. Mitos yang berlaku, (selama mendaki Tanjakan Cinta, jika ingin terkabul cintanya kepada seseorang, selama itu dilarang menoleh ke bawah). Begitu mitos yang berkembang selama ini. Namun kita justru selfi di tanjakan cinta, hingga ke padang safana yang luasnya tak terkira. Tempat Zafran dkk pemeran film 5cm tertegun. Disitulah kita menghabiskan waktu memandang keangkuhan Mahameru, melihat hijau rerumputan.

Pukul 10.00 kita siap pulang, peralatan telah masuk di dalam tas, air danau kita jadikan bekal minum sepanjang perjalanan. "Selamat Tinggal Ranu Kumbolo" ujar Matjuhri sebelum benar-benar meninggalkan tempat yang kaya keindahan itu.

Empat Ekor Ayam Kampung
(Wujud sukur Zaki Pasca Sidang Skripsi)

Di rumah Zaki kita singgah, melepas letih setelah dua hari di atas gunung. Di rumah itu pula tersedia 4 ekor ayam kampung siap diekskusi. Muzanni, yang terkenal dengan resep gilanya membuat 4 ekor ayam kikuk tak berdaya. Setengah matang ayam panggang disajikan, lapar tak pandang bulu, dilahap hingga tetes penghabiasan. Setelah itu kita tidur pulas sampai terdengar suara adzan subuh dikumandangkan. Satupersatu bangun lalu sholat.

Mentari pagi memberi kehangatan bagi kita, teh hangat menambah keindahannya, rengginang membuat riuh dengan suaranya. Pukul 7.30, kita makan sebelum pulang, setelah itu kita foto bersama keluarga Zaki di halaman rumah, menjadi relawan Hafass, dengan selogan salam Dua Jari. Pukul 8.00 kita resmi pulang membawa kenangan dan kegembiraan dan beberapa buah degan.

Terimakasih, kenangan ini tak kan terlupakan. grin emotikon wink emotikon

Ranu Kumbolo, 13-15 Oktober 2015.

Oleh: Andika DH.

(Ranu Kumbolo dan Cerita 4 Ekor Ayam Kampung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun