Mohon tunggu...
Andika NugrahaFirmansyah
Andika NugrahaFirmansyah Mohon Tunggu... Guru - Aktif di Sokola Sogan, Komunitas Belajar berbasis minat dan bakat.

Seorang pembelajar yang berteman dengan anak-anak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Perasaan Aneh Guru Honorer

12 Januari 2024   22:05 Diperbarui: 16 Januari 2024   06:50 1510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai seorang guru, saya seringkali merasakan perasaan-perasaan aneh. Saya menyebutnya perasaan tengah-tengah. Ya mau bagaimana lagi, wong saya juga tidak tau kata apa yang bisa mewakili perasaan saya ini.

Jadi begini, ada saat dimana saya merasakan posisi sebagai murid dan guru sekaligus dalam satu waktu. Ketika tiba saat-saat seperti ini, biasanya saya inginnya menangis karena teringat guru-guru yang sudah mendidik saya dan bagaimana saya mendidik murid-murid saya.

Ada beberapa kejadian yang saya ingat betul. Pertama ketika ada pertemuan MGMP matematika di smp saya dulu. Saya selalu mencoba menghindar atau cari-cari alasan supaya tidak hadir. Bukan apa-apa, saya tidak kuat jika harus duduk sejajar, dalam satu forum dengan guru-guru yang dulu mengajari saya matematika. Rasanya pingin nangis saja. Apalagi sedang mendalami peran sebagai guru honorer.

Coba kalian bayangkan masa kecil kalian, dengan segala tingkah laku yang mbongko itu, kepada guru honorer. Saya sadar, bahwa dulu kepala saya tidak pernah dijitak itu adalah buah kesabaran yang luar biasa dari seorang guru. Untuk itu, saya selalu mendoakan kebaikan beliau-beliau sekeluarga.

Apalagi dengan beban pengalaman diskusi-diskusi mengenai ruwetnya pendidikan di negara ini. Saya membayangkan. Rasanya beliau masih mau menjadi guru, masih mau ngemong anak-anak, masih mau mulang, dan tidak hanya meninggalkan LKS di kelas saja, itu sudah hal yang istimewa.

Tapi kalau gurunya PNS/ASN ya di bawah itulah, ya. Walaupun status PNS itu tidak menjamin sejahtera karena biasanya sudah tergoda utang, kemudian tiap bulan dapat potongan sana-sini.

Sampai tiba saat saya ditunjuk sebagai sekretaris MGMP matematika, ada momen dimana saya harus mendatangi acara di sekolah saya dulu. Saat masuk gerbang dan memarkirkan motor supra, hati saya sudah bergetar. Ingin nangis, tapi saya tahan karena malu.

Saat berada di depan meja registrasi, mata saya sibuk mencari nama-nama guru yang dulu mengajar saya. Beliau-beliau sudah hadir. Saya memilih duduk di belakang. Mengamati dimana beliau-beliau ini duduk. Kemudian mengirimkan doa dan mengikuti acara sebagaimana mestinya.

Selesai acara, saya mengelilingi sekolah. Mengenang masa-masa ketika takut berangkat sekolah ketika malamnya Chelsea kalah bertanding. Atau berangkat gasik hanya untuk menghadang dan membalas fans-fans Manchester United ketika Chelsea menang. Itu kenangan yang sulit dilupakan. Termasuk bermain bola di lapangan, main voli, hujan-hujanan, dihukum guru, hingga duduk di samping masjid sekolah sambil mengenang tempat mengamati seseorang yang dikagumi. Sungguh indah.

Ada juga momen lainnya, sekitar satu setengah tahun yang lalu, ketika selesai mata kuliah yang memusingkan dan daring, saya ingin sekali ke SMA. Tidak tahu kenapa.

Saat itu pukul 12.00 WIB, saat jam istirahat dan makan siang. Sesampainya di depan SMA, karena bingung mau apa, saya ajak teman saya itu makan ketoprak legendaris di depan SMA. Penjualnya dan rasanya masih sama. Saya duduk dan mengamati ke balik pagar sekolah sambil mengirimkan doa kepada guru-guru saya.

"Mas, alumni kene pok?" penjual ketoprak itu mengagetkan saya.

"Nggih, Pak" jawab saya sambil menerima ketoprak yang Beliau sodorkan.

"Lha, mlebu bae si. Pak nggoleki sopo?"

"Mboten, Pak ah. Isin."

"lha isin kenopo, wong klambinan bek. Angkatan tahun piro Mas?"

"2012, Pak"

"Oh jaman kepala sekolahe Pak Mawar (nama samaran) bati o."

"Lho, njenengan tasih kelingan Pak?"

"Kelingan a, Mas. Wong terkenal Bapak Pembangunan og." Tukang parkir yang berada di depan kami tiba-tiba ikut menyahuti. Bapak penjual ketoprak hanya tersenyum.

"Mlebu bae si Mas daripada longak-longok koyo mau." Kata Bapak penjual ketoprak lagi.

"Mboten Pak ah. Kulo ke kelingan ngendikane Pak Mawar pas meh perpisahan niku. Terose 'Jangan kembali ke sini sebelum kalian sukses.' Lha sukses ke nopo kulo nggih tasih bingung Pak. Paling mentok suksese kulo nggih khusnul khotimah."

Bapak penjual ketoprak hanya tersenyum. Kemudian saya dan teman saya memakan ketoprak legendaris itu.

Ketoprak kami belum habis, Guru PJOK dan Guru Fisika berjalan keluar dari gerbang, beberapa meter di sebelah saya. Saya deg-degan. Berharap beliau berdua tidak melihat ke arah saya.

Beliau berjalan beberapa langkah. Saya agak lega. Saya kirimkan Al Fatikhah kepada beliau berdua.

Ternyata, tiba-tiba Guru PJOK menengok ke kiri, ke arah saya. Diluar dugaan, Beliau memanggil nama saya.

"Heh, Dik." Beliau sambil melangkah kea rah saya.

"Pak.." saya beranjak dari duduk dan menghampiri beliau.

Saya menyodorkan tangan dan bersiap membungkukkan badan untuk salim. Tapi beliau justu memajukan sikutnya. Ya Allah, salaman sikut! Masa pandemi bossss. Rasanya malu sekali.

"Andika Pak" Guru PJOK mengingatkan Guru Fisika.

"Angkatan berapa?" tanya Guru Fisika.

"Angkatan 2012, Pak" Jawab saya sambil mengangguk dan senyum kepada Guru Fisika.

"Sekarang dimana Dik?" tambah Guru PJOK.

"Ngajar Pak, sambil kuliah S2. Ini barusan kuliah daring. Nah tiba-tiba pingin ke sini."

"Oh, Alhamdulillah. Selamat ya. Semoga cepet lulus."

"Aamiin, Pak. Terima kasih."

"Yasudah, tak ke sana dulu ya." Guru PJOK menunjuk ke seberang jalan kemudian menepuk pundak saya.

Sebenarnya, saya masih ingin berlama-lama dengan beliau berdua. Tapi bingung juga mau bahas apa. Bahas yang berat-berat macam kapitalisasi pendidikan, filsafat dan ideology pendidikan, atau semacamnya kok ya wagu. Mau nggersah soal nasib guru honorer, apalagi. Beliau lebih dulu dan lebih lama merasakan. Mau bicara mengenai kelakuan murid-murid, takut di-paido juga. Tapi sungguh, saya masih ingin berlama-lama dengan beliau berdua. Walaupun tidak berani memandang wajah guru-guru saya.

Ada saat dimana saya kangen dengan anak-anak. Pingin ngobrol ngalor-ngidul, seperti dulu yang sering saya lakukan sepulang sekolah. Tapi, saya sadar anak-anak sudah punya dunia dan kesibukannya sendiri. Mungkin juga beberapa dari mereka seperti saya. Mereka ingin ketemu, tapi malu dan tidak tau mau bahas apa. Jadi perasaan semacam ini, perasaan tengah-tengah, menjadi guru dan murid, sungguh aneh bagi saya.

Bagaimanapun anehnya, walaupun tidak bertemu secara fisik, saya selalu berdoa semoga selalu dipertemukan dalam doa-doa.

Semoga sehat dan bermakna selalu, guru-guru dan anak-anakku.

***

Pekalongan, 12 Januari 2024

Andika Nugraha Firmansyah

Gambar: Dokumen Pribadi Penulis
Gambar: Dokumen Pribadi Penulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun