Mohon tunggu...
andi herawati
andi herawati Mohon Tunggu... tenaga pengajar dan editor jurnal kanz philosophia -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gagasan Kearifan Lokal dalam Hubungan Tuhan-Manusia dan Alam

25 Januari 2016   12:38 Diperbarui: 25 Januari 2016   13:17 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Mengenai nilai-nilai motivatif yang terkandung dalam falsafah hidup, pada dasarnya telah dikenal oleh manusia sejak masa lampau. Sejak ratusan tahun sebelum masehi, di seluruh belahan bumi muncul orang-orang bijak yang mengajari manusia tentang cara hidup. Orang India memiliki tokoh spiritual bernama Buddha, di Parsi bernama Zarasustra, di Athena ada Socrates, serta dalam masa yang sama Lao-Tse dan Confucius juga mengajar cara hidup di Tiongkok. Entah karena alam mitologi maupun lingkungan tertentu, dimana manusia zaman itu masih sangat dekat dengan alam, tetapi yang pasti bahwa mereka telah menunjukkan buah pikir yang sangat luar biasa.

Dan kini gagasan yang menilik sejarah dan lokalitas cenderung ditengok kembali relevansinya bagi masyarakat modern. Sejarah yang awalnya dianggap usang dan lokalitas yang dianggap ndeso akhirnya coba dihadirkan untuk mengisi kekosongan-kekosongan makna manusia modern. Sejarah akhirnya menjadi media untuk membaca kembali aspek-aspek lokalitas dari suatu masyarakat tertentu, yang melahirkan istilah kearifan lokal. Kearifan lokal ini kita lihat kini mulai banyak ditawarkan sebagai obat penangkal terhadap penyakit moralitas masyarakat modern yang berwatak eksploitatif, agar bisa lebih arif dalam mengembangkan kehidupan yang seimbang dengan manusia lainnya dan lingkungan alam. Dan gagasan-gagasan yang ada pada kearifan tersebut, masih sangat lekat dengan urusan pemeliharaan alam, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam.

Banyak gagasan gagasan solutif sebenarnya bukanlah gagasan yang ‘invented” sebab kearifan sudah berakar dalam masyarakat, hanya persoalannya apakah masyarakat mau terlibat untuk mengeksplorasi khasanah yang ‘tersembunyi’ itu. Meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Christian Norberg-schultz (1991), sebagai “Genius Loci”.  Sebuah konsep arsitektur yang merujuk pada adanya jiwa yang melindungi dari setiap tempat, yang membuat tempat ini memiliki nilai, tidak terbatas pada aspek fisik yang nampak dari sebuah tempat, namun juga aspek sosial budaya, seperti kepercayaan dan hubungan intramanusianya. Dari sini kita melihat antara ruang, bentuk dan isi saling melengkapi, sebagaimana kita hidup dalam dimensi ruang dan waktu, ada cerita dan peran yang bermain di dalamnya.

Tapi, tidak mudah untuk merumuskan atau mendefinisikan konsep budaya lokal. definisi kebudayaan hampir selalu terikat pada batas-batas fisik dan geografis yang jelas. Misalnya, budaya Jawa yang merujuk pada suatu tradisi yangberkembang di Pulau Jawa. Oleh karena itu, batas geografis telah dijadikan landasan untuk merumuskan definisi suatu kebudayaan lokal. Namun, dalam kenyataannya dalam proses perubahan sosial budaya telah muncul kecenderungan mencairnya batas-batas fisik suatu kebudayaan, proses berbauran (asimilasi) mulai dari cara berpikir, watak dan karakter personal yang mempengaruhi lingkungan di mana mereka tumbuh, sehingga sulit mengklaim secara mutlak kebudayaan milik suatu kelompok tertentu.

Keterbatasan kehidupan dengan latar belakang modernitas tentunya tidak cukup dan memang tidak akan pernah cukup untuk menjawab kebutuhan dan pertanyaan-pertanyaan krusial seputar kehidupan manusia. Sementara secara fitrah setiap manusia cenderung mencari makna hidupnya, sebab pencarian itu sendiri adalah konsekuensi tujuan manusia diciptakan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Fritjof Schuon (Syekh Isa Nuruddin) bahwa To be human being means to be connnected with God: Life has no meaning without this“

Dan prinsip inilah yang dipegang oleh orang orang terdahulu, para cerdik pandai, bahwa hidup hanya akan bermakna manakala kita melihatnya dengan perpsektif Ketuhanan, yang selalu membawa kesadaran terhadapnya. Hal ini mendasar tapi sulit sebab kita membawa Tuhan dalam kehidupan sehari-hari kita. Kita tidak terbiasa melihat segala sesuatu adalah manifestasiNya, bahwa perhatian kita terhadap alam dan manusia adalah karena perhatian kita pada hakekatnya tertuju padaNya, hanya kita berpikir kita memisahkan perhatian tersebut, dan segi segi kehidupan ini “terkotak-kotak”.

Menurut Louis Leahy bahwa manusia benar-benar sedang mencari jiwanya sendiri. Mereka haus dan lapar akan hubungan yang kokoh dengan kekuatan psikis yang terdapat dalam dirinya, Kekuatan ini menjadikan manusia cemas, khawatir tidak sehat.

Kini saat ilmu pengetahuan modern menghadapi kekosongan dalam mengendalikan watak eksploitatif dari manusia modern, adakah pengetahuan dari tradisi masa lalu bisa mengisinya?  Obat bagi permasalahan manusia berasal dari dalam manusia sendiri, salah satunya dari nilai-nilai tradisi yang pernah dibangun untuk menyelesaikan masalah di masa lalu.sebenarnya bukan persoalan bahwa gagasan yang diterapkan pada masa lalu cocok atau tidak cocok untuk masa kini, yang pasti persoalan manusia selalu sama sejak dulu hingga sekarang, hanya tingkat intensitas terhadap satu bentuk masalah tertentu saja, dan karena di masa lalu penghargaan terhadap nilai-nilai kesucian, kehormatan, (-ingat pesan orang tua bahwa penghormatan dapat dibeli namun kehormatan tidak dapat dibeli !-) masih dijunjung tinggi dan hal itulah yang kurang di saat ini dan mengakibatkan persoalan di bidang-bidang lainnya sehingga perlu kita tilik kembali kebijakan lokal yang berbasis transmisi nilai dari leluhur, orang yang dituakan atau cerdik pandai.

Dan prinsip turun temurun inilah yang kiranya mampu mempertahankan kekacauan kehidupan saat ini, dimana setiap orang hanya berpikir tentang dirinya, sejauh mana kesuksesan yang harus diraihnya, sehingga ibarat tabungan, harus semakin sering menabung untuk mengurangi kekhawatiran di masa depan. Tak perduli caranya, yang penting hasilnya.

Transmisi nilai yang dimaksud dapat menggambarkan sebuah pola praktis yang menyangkut nilai-nilai etis spiritual yang sebenarnya tidak sulit untuk dilakukan, tapi membutuhkan kesiapan.

Ada tiga gambaran utama yang dapat dijadikan stages (tingkatan) untuk proses transmisi nilai ini, yaitu :

 

1). Peran orang yang dituakan dan cerdik pandai ini mencakup menurunkan kebijaksanaan yang telah inheren secara turun temurun, dan yang sampai saat ini juga semakin jarang dan termasuk sulit dijadikan kebiasaan bagi orang tua saat ini. Kuno, tua selalu diidentikkan dengan kemunduran dan kemandegan, padahal yang smestinya kita kaji ulang adalah apa yang dimaksud dengan kemajuan (progress tersebut). Menurut istilah filsafat perenial bahwa hidup yang bermakna ukurannya bukanlah kemajuan terukur (progressif materialisation) tetapi adalah progressif interiorisation. Jadi selamanya adalah perjalanan menembus diri menemukan the True Self. Kerangka berpikir ini penting sebagai landasan pemahaman terhadap diri untuk selanjutnya menentukan cara pandang kita terhadap dunia (bukannya worldview –pandangan dunia yang dipahami secara umum)

2) Meningkatkan nilai-diri

Jika kita masih ingat pada saat orang tua kita berbicara mereka selalu memulai dari diri mereka terlebih dahulu. “Bapak ini bukan orang yang berpendidkan tinggi”, Bapak hanya bicara apa yang orang tua Bapak ajarkan dulu” .. atau.. “Saya tahu bahwa saya terampil dalam menenun kapas, dan saya belajar itu sendiri. Jika saya bisa mengajarkan hanya satu atau dua orang untuk melakukannya, itu akan menjadi besar. " atau semisal “ saya tidak kaya dan saya tidak berpendidikan, namun saya sangat bangga ketika saya merasa bernilai di hadapan orang lain, atau ketika orang lain datang pada saya dan belajar dari saya” 

Pernyataan singkat tetapi self-pride dan percaya diri positif yang sangat membangun, bahwa hal besar akan tercipta dari ketekunan terhadap hal–hal kecil, namun tidak akan selamanya menjadi kecil selama yang kita miliki itulah yang menjadikan kita besar. Dan itu ada dalam diri kita. Kita tidak harus mencuri dari luar, atau menjadi orang lain. Sekali lagi budaya sabar, tekun, teguh, yang jika saat ini mungkin akan sangat sulit untuk kita terapkan dalam situasi yang serba instan dan “segera”.

Nilai diri lain yang kerap menjadi dasar falsafah hidup, mengambil contoh khususnya pada masyarakat Bugis adalah “siri” (malu). Konsep “malu” ini bersifat universal, yang mencakup semua aspek kehidupan. Malu untuk gagal di tempat orang lain, malu untuk melakukan ketidakbaikan, malu terhadap diri sendiri jika melakukan hal-hal yang menipu diri, hingga malu pada Tuhan yang selalu ada dan melihat setiap saat. Jadi prinsip “siri” ini sebenarnya mengandung pesan etika dan spiritual yang tinggi, namun sayang, mengapa ajaran falsafah lokal kita masih jarang diungkap, atau mungkin saja perlu sebuah upaya sistematisasi sehingga setiap penduduk Indonesia saling mengenal nilai-nilai ini (saya termasuk yang sedih melihat bagaiamana masyarakat kita yang hanya mengenal daerahnya sendiri, itupun kalau mengenal,- padahal ajaran itu kan bersifat prinsipil, universal as such).

3) Membangun hubungan baik atau komunikasi positif antara orang tua (yang dituakan), cerdik pandai dan anak muda.

Kecenderungan orang lokal merefleksikan petuah atau nasehat serta wejangan para cerdik pandai sebelumnya, tidak lantas membuat mereka resisten dengan perubahan. Bahkan bagi mereka kecenderungan inilah yang mampu mempertahankan mereka dari cepatnya dan dahsyatnya arus perubahan zaman. Jika dahulu pesan pesan hidup adalah pada peningkatan kualitas hidup yang berbasis nilai-nilai kejujuran, pencapaian kualitas hubungan dengan yang transcenden, maka pesan pesan yang tertransformasikan pun kini adalah pesan pesan pragmatis untuk kesejahteraan hidup di “dunia” dan pencapaian pencapaian tujuan hidup yang singkat dan ilusif.

4) Membangun kembali tradisi hikmah-lisan dari tradisi lokal kita yang berbentuk story telling atau drama tutur.

Saya teringat ketika mengadakan sebuah acara peringatan “maulid nabi” dengan mendatangkan seorang narasumber “parenialis” dan seorang musisi sinrilik. Sinrilik merupakan pertunjukan drama tutur dari Sulawesi Selatan yang dinyanyikan dalam bahasa Makassar oleh seorang pasinrili dan dimainkan para pemain dengan iringan keso-keso (rebab). Temanya pun menyangkut kepahlawanan, keagamaan dan cinta. Cerita dapat diimprovisasikan, namun tetap mampu membangkitkan perasaaan dan keindahan. Yang terpenting lagi adalah pesan-pesan moral yang kerap diurtarakan dan sindiran-sindiran terhadap fenomena yang berlaku di masyarakat, entah itu yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Zaman dulu, passinrili hanya main jika dipanggil oleh raja, dan memang tutur itu dimaksudkan sebagai pesan untuk mengingatkan sekaligus menghibur raja dan kalangan kerajaan. Namun kini, passinrili lebih sering melalukan pertunjukannya untuk acara sosial keagamaan yang sarat dengan kritik.

Ketika mereka bertemu dan saling mendengarkan satu sama lain, sang parenialis mengatakan, tradisi seperti inilah yang patut dipertahankan, sebab ia tidak meminjam dari siapa-siapa tapi lahir dari dirinya sendiri, dan beginilah Tuhan termanifestasi dalam bentuk-bentuk yang partikular dan tidak akan tergerus zaman. Bahwa Seni sakral adalah manifestasi dari The Truth yang setiap saat mampu membawa kita pada kesadaran. Sekali lagi, menurut Guru saya bahwa semua seni sebenarnya adalah sakral, mulai dari proses keterlibatan sang seniman dalam karyanya (dalam bentuk apapun itu), ketercelupan dia adalah kecintaan dia, hingga kepuasan pada saat menikmati hasilnya. Jadi seorang seninam, akan lebih dulu tercelup dan memuja dalam sebuah karya sakral, sebelum orang lain. 

Mengapa tradisi tersebut kini sangat jarang ditemui kecuali hanya menjadi acara pengisi pada acara-acara tradisional ? Seorang pemimpin saat ini dialah yang harus didengarkan, tetapi apakah budaya mendengarkan pepatah bijak dari orang yang dituakan, ataupun dari orang bijak, masih menjadi kebiasaan? inilah yang menjadi pertanyaan dan observasi kita. Bahwa sejatinya alam (dan segala fenomenanya) adalah nasehat yang paling tulus dan paling bermakna. Sebagaimana menurut Ibn ‘Arabi bahwa manusia akan mengenal Tuhan melalui diri dan alam, Jadi pelajaran berharga ada pada setiap orang, dari segala sesuatu meski dari hal yang paling remeh sekalipun.

Hubungan sinergis yang disebut ini sulit dihilangkan mengingat budaya yang telah menjadi sumsum kita adalah kekeluargaan, namun bisa saja renggang, Jika hubungan ini  dilandasi dengan relasi transmisi nilai kebajikan, maka nilai nilai itu akan terus subur, meskipun generasi berkembang dalam konteksnya sendiri. Pola relasi ini akan sangat baik jika dapat di formulasikan dalam satu bentuk kegiatan ,entah yang bersifat pendampingan atau pendidikan lokal.

Yang muncul di benak saya, bagaimana seandainya ada ‘silang budaya’ yang bersifat intra dan antar mejadi sebuah pendekatan solutif bagi kehidupan saat ini, sehingga meskipun setiap tempat mempunyai ciri khasnya masing-masing, tetapi perlu ada persilangan yang mampu menjadi media komunikasi positif. Intra adalah menemukan sejumlah komponen yang terlibat dalam satu masyarakat, untuk mencari titik temu. Dan salah satunya adalah menggali kembali kebijkan lokal yang berisfat warisan turun temurun. Melalui tiga tahap di atas. Dengan demikian generasi muda tidak tercerabut dari akar nenek moyangnya. Bahasa kerennya adalah GOOD RELATIONSHIP BETWEEN THE ELDERLY AND YOUTH

Dan silang budaya yang bersifat antar-budaya adalah menemukan titik kesamaan (meskipun membandingkan bukan mencari kesamaam atau perbedaan) tapi lebih melihat potensi apa yang dimiliki oleh masing masing kebajikan lokal untuk dapat diterapkan melihat masalah yang sama. Ini juga mampu menjadi sarana yang solutif bagi tindakan “othering”, kita memang berbeda, tapi perbedaan tidak menjadikan kita mutlak berbeda. We have different tastes, but they are actually One taste.

Sebagai contoh, budaya “kejujuran”, “santun”, “kerja keras”, “malu”, “kebajikan”, ‘keterbukaan” dalam masing masing masing budaya yang inherent dapat dikeluarkan dan di temukan dalam satu meeting point.

Karena sedari dulu pun dalam tradisi di seluruh Indonesia sangat menghargai warisan turun temurun yang bersifat ‘hikmah”. Inilah hal mendasar yang tidak boleh tergerus dalam keadaan apapun kita saat ini. Sebab dalam setiap ruang, ada “sacred space”. Dan tanpa “sacred space” yang merupakan spiritual embodiment (meminjam istilah Nasr) dalam satu lingkungan hidup manusia, maka sebuah kebudayaan tidak akan bertahan, dalam hal ini manusia atau penghuninya akan kehilangan dirinya, identitasnya.

 Jadi dengan demikian ada dua hal sekaligus yang mampu dikembangkan yaitu membudayakan kembali pesan-pesan orang bijak dan orang tua, kedua membudayakan seni sakral yaitu seni yang akan mengingtkan manusia terhadap krisis kemanusiaannya. Dan jika seni sakral  ini mampu dipertahankan, maka seni sebagai bagian dari budaya hidup manusia, tidak hanya berupa formalitas bentuk seni saja, tanpa ada aspek dan akses pada nilai nilai kesucian (virtues)  di dalamnya.

Confucius menekankan pentingnya seni (arts) dan kemanusiaan (humanities) khususnya dalam melebarkan kecenderungan (fitrah) manusia dan ritual etika (etiquette) untuk mengembalikan kita pada esensi kemanusiaan kita. Karena lingkungan manusia tidak semata-mata bersifat material, namun juga bersifat etis dan spiritual.

Jung, menunjuk beberapa unsur yang mendukung mausia dalam mencari kebahagiaan, diantaranya adalah kemampuan untuk menangkap keindahan dalam seni dan alam dan titik pandang religius dan falsafi yang mampu bergulat dengan suka duka kehidupan.

Masih banyak yang saya ingin ungkapkan, namun keterbatasan informasi terhadap nilai tradisi lokal, maka apa yang saya ungkapkan ini adalah lebih banyak dari pengalaman saya bergelut dan hidup dalam budaya di Indonesia .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun