Mohon tunggu...
andi herawati
andi herawati Mohon Tunggu... tenaga pengajar dan editor jurnal kanz philosophia -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gagasan Kearifan Lokal dalam Hubungan Tuhan-Manusia dan Alam

25 Januari 2016   12:38 Diperbarui: 25 Januari 2016   13:17 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada tiga gambaran utama yang dapat dijadikan stages (tingkatan) untuk proses transmisi nilai ini, yaitu :

 

1). Peran orang yang dituakan dan cerdik pandai ini mencakup menurunkan kebijaksanaan yang telah inheren secara turun temurun, dan yang sampai saat ini juga semakin jarang dan termasuk sulit dijadikan kebiasaan bagi orang tua saat ini. Kuno, tua selalu diidentikkan dengan kemunduran dan kemandegan, padahal yang smestinya kita kaji ulang adalah apa yang dimaksud dengan kemajuan (progress tersebut). Menurut istilah filsafat perenial bahwa hidup yang bermakna ukurannya bukanlah kemajuan terukur (progressif materialisation) tetapi adalah progressif interiorisation. Jadi selamanya adalah perjalanan menembus diri menemukan the True Self. Kerangka berpikir ini penting sebagai landasan pemahaman terhadap diri untuk selanjutnya menentukan cara pandang kita terhadap dunia (bukannya worldview –pandangan dunia yang dipahami secara umum)

2) Meningkatkan nilai-diri

Jika kita masih ingat pada saat orang tua kita berbicara mereka selalu memulai dari diri mereka terlebih dahulu. “Bapak ini bukan orang yang berpendidkan tinggi”, Bapak hanya bicara apa yang orang tua Bapak ajarkan dulu” .. atau.. “Saya tahu bahwa saya terampil dalam menenun kapas, dan saya belajar itu sendiri. Jika saya bisa mengajarkan hanya satu atau dua orang untuk melakukannya, itu akan menjadi besar. " atau semisal “ saya tidak kaya dan saya tidak berpendidikan, namun saya sangat bangga ketika saya merasa bernilai di hadapan orang lain, atau ketika orang lain datang pada saya dan belajar dari saya” 

Pernyataan singkat tetapi self-pride dan percaya diri positif yang sangat membangun, bahwa hal besar akan tercipta dari ketekunan terhadap hal–hal kecil, namun tidak akan selamanya menjadi kecil selama yang kita miliki itulah yang menjadikan kita besar. Dan itu ada dalam diri kita. Kita tidak harus mencuri dari luar, atau menjadi orang lain. Sekali lagi budaya sabar, tekun, teguh, yang jika saat ini mungkin akan sangat sulit untuk kita terapkan dalam situasi yang serba instan dan “segera”.

Nilai diri lain yang kerap menjadi dasar falsafah hidup, mengambil contoh khususnya pada masyarakat Bugis adalah “siri” (malu). Konsep “malu” ini bersifat universal, yang mencakup semua aspek kehidupan. Malu untuk gagal di tempat orang lain, malu untuk melakukan ketidakbaikan, malu terhadap diri sendiri jika melakukan hal-hal yang menipu diri, hingga malu pada Tuhan yang selalu ada dan melihat setiap saat. Jadi prinsip “siri” ini sebenarnya mengandung pesan etika dan spiritual yang tinggi, namun sayang, mengapa ajaran falsafah lokal kita masih jarang diungkap, atau mungkin saja perlu sebuah upaya sistematisasi sehingga setiap penduduk Indonesia saling mengenal nilai-nilai ini (saya termasuk yang sedih melihat bagaiamana masyarakat kita yang hanya mengenal daerahnya sendiri, itupun kalau mengenal,- padahal ajaran itu kan bersifat prinsipil, universal as such).

3) Membangun hubungan baik atau komunikasi positif antara orang tua (yang dituakan), cerdik pandai dan anak muda.

Kecenderungan orang lokal merefleksikan petuah atau nasehat serta wejangan para cerdik pandai sebelumnya, tidak lantas membuat mereka resisten dengan perubahan. Bahkan bagi mereka kecenderungan inilah yang mampu mempertahankan mereka dari cepatnya dan dahsyatnya arus perubahan zaman. Jika dahulu pesan pesan hidup adalah pada peningkatan kualitas hidup yang berbasis nilai-nilai kejujuran, pencapaian kualitas hubungan dengan yang transcenden, maka pesan pesan yang tertransformasikan pun kini adalah pesan pesan pragmatis untuk kesejahteraan hidup di “dunia” dan pencapaian pencapaian tujuan hidup yang singkat dan ilusif.

4) Membangun kembali tradisi hikmah-lisan dari tradisi lokal kita yang berbentuk story telling atau drama tutur.

Saya teringat ketika mengadakan sebuah acara peringatan “maulid nabi” dengan mendatangkan seorang narasumber “parenialis” dan seorang musisi sinrilik. Sinrilik merupakan pertunjukan drama tutur dari Sulawesi Selatan yang dinyanyikan dalam bahasa Makassar oleh seorang pasinrili dan dimainkan para pemain dengan iringan keso-keso (rebab). Temanya pun menyangkut kepahlawanan, keagamaan dan cinta. Cerita dapat diimprovisasikan, namun tetap mampu membangkitkan perasaaan dan keindahan. Yang terpenting lagi adalah pesan-pesan moral yang kerap diurtarakan dan sindiran-sindiran terhadap fenomena yang berlaku di masyarakat, entah itu yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Zaman dulu, passinrili hanya main jika dipanggil oleh raja, dan memang tutur itu dimaksudkan sebagai pesan untuk mengingatkan sekaligus menghibur raja dan kalangan kerajaan. Namun kini, passinrili lebih sering melalukan pertunjukannya untuk acara sosial keagamaan yang sarat dengan kritik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun