Context Framework
(Belajar membaca negosiasi internasional)
Pertemuan Jenewa 2, antara pemerintah Syiria dan SNC sebagai wakil oposisi seperti empat hari lalu kita bahas memang gsgsl mencapai konsensus dan berakhir dengan unanimitas, dimana masing2 pihak setuju dengan posisinya masing-masing.
Ketika di awal konflik sipil Syiria saya menjelaskan tentang kemungkinan Assad akan menang, Mursi, Erdogan akan terjungkal bukan dibuat berdasarkan perkiraan tebak-tebakkan.
Dalam memahami konflik ada dikenal dengan compromise haggling, yaitu satu kondisi untuk mencegah terjadinya zero sum game atau permainan tiada akhir dan tiada ada menguntungkan. Compromise haggling atau dorongan ke arah kompromi atau tawar menawar ini ditentukan oleh dua keadaan; kondisi lapangan dan kondisi politik.
Di awal perang kedua pihak memilih jalan konflik karena masing-masing tidak menerima tawaran (reject demands). Assad menolak tawaran Barat untuk turun oleh demonstrasi dan lebih memilih diadakan referendum atau pemilu. Sementara bagi oposisi adalah bagaimana caranya Bashir Assad turun dari kursi presiden.
Mengatasnamakan demokratisasi dan Arab Spring, Barat (eropa-US) dan beberapa negara timteng (Arab Saudi, Qatar) mendukung oposisi menjungkalkan Assad. Maka bermunculan segala tetek-bengek isu SARA, suni-syiah, humanisme vs anti humanisme, demokrasi vs rejim.
Di sini kemudian muncul aneka tafsir dan dugaan2 soal arah perang yang malah melenceng dari analisa konflik sendiri. Pada kawan di fb ada beberapa yang menuduh ini perang entis, prang agama, atau madzab atau konspirasi. Sambil dia kirim foto-foto pembantaian yg katanya dilakukan rejim Assad dari situs-situs dakwah islam.
Logika ini tentu saja tidak laku bagi mereka yang terbiasa turun di medan konflik resolution. Itu karena ada dikenal istilah context framework atau kerangkakerja berdasarkan keadaan dengan melibatkan banyak komponen. Mereka yang berkecimpung di dunia IT memahami ini sebagai contex architecture' dimana di dalamnya disusun aneka input bagi sebuah keputusan atau program.
Ini misalnya ketika konflik baru dimulai kita boleh mempertanyakan mengapa kedua pihak mentok kepada reject demands atau menolak tawaran-tawaran masing-masing pihak?. Maka menjawabnya pertama-tama kita gunakan kriteria qualitative dimana determinan faktornya adalah Power + Market untuk kemudian dimasukkan dalam kerangka kerja.
Orang harus mencari tahu kenapa Assad harus dipertahankan dan apa keuntungannya. Demikian juga pada pihak oposisi, mengapa mereka perlu didukung dan dibantu dan apa keuntungannya. Tidak ketinggalan skenario; jika keduanya dihancurkan atau minimal dilemahkan maka apa keuntungannya? Juga dimasukkan input bagi siapa saja keuntungan-keuntungan tadi.
Framing kualitatif ini dibutuhkan sehingga jawabannya tidak akan lari misalnya dengan; Assad harus jatuh karena dia adalah musuh Islam, musuh suku non alawit, ahlusunah dll.. Pada teman yang Pro
Hisbullah, berkata bahwa Assad menang karena dukungan Hisbullah. Padahal kita faham bahwa mustahil Hisbullah berperang di Al Qusair Syria tanpa menghitung apa keuntungan bagi kelompok mereka sendiri kecuali mengamankan supply dan stok senjata dari Syiria.
Maka ketika pemimpin Saudi, Qatar, Mesir, Jordan, dan Turki mendukung oposisi Syiria bersama pihak Barat (Eropa-AS) mereka berhitung tentang powert + market ini juga. Hal yang sama dapat dihitung dengan alasan mengapa Rusia, Cina, Iran, tetap mem-backup Assad di forum internasional. Apa keuntungannya bagi mereka?.
Demikian pula setelah tiga tahun perang, maka kita melihat bagaimana sekarang Junta Militer Mesir pasca tumbangnya Mursi dari Ikwanul kembali ingin berdamai dengan Syiria dan mengelola kembali keseimbangan konflik dengan israel. Dimana Mesir bertanggungjawab di front Sinai, dan Syiria di front Goland.
Kita juga melihat bagaimana kemarin PM Erdogan Turki yang paling keras bersuara anti Assad berkunjung ke Iran untuk memperbaiki hubungan baik dengan Iran dan Syiria sekaligus meminta bantuan minyak dan gas.
Rupanya dua tahun lebih berjuang demi Eropa dalam kasus Syiria sama sekali tidak memberikan profit yang menguntungkan bagi Turki. Sehingga tidak salah membalik sikap 180 derajat mendukung mereka yang kemarin disebut lawan.
Ini kondisi lapangan yang kemudian dapat diproyeksikan ke konferensi yang tengah berlangsung di Jenewa II. Bahwa ternyata hasilnya hanya unanimitas bahwa masing-masing pihak bersikap dengan sikap awal masing-masing.
Bagi delegasi pemerintahan Assad konferensi jenewa bukanlah hal penting daripada sekedar menghargai pergaulan internasional tokh bagi mereka SNC bukanlah oposisi yang merakyat.
Kedua bahwa di lapangan daerah-daerah enklave yang dikuasai oposisi dan milisi bersenjata sudah membuka dirinya bagi bantuan makanan dan masuknya pemerintah Syiria. Hal ini dibaca sebagai kemenangan dan penyerahan diri yang elegan dari pihak oposisi di lapangan.[ ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H