Pada pemirsah yang bertanya mengapa saiyah sering mengkritisi Djokowi maka saiyah sampaikan bahwa saiyah hanya mengkritik keras Djokowi-Ahok dalam kebijakan2nya di Jakarta karena mereka pejabat publik. Yaitu mereka yang diangkat dengan amanat publik (promosi, pemilu, dll.), digaji, difasilitasi, dan didukung dengan dana publik bagi keperluan menjalankan program-programnya.
Tidak sekalipun saya pernah mengkritiknya secara personal dengan menyebut misalnya, dia cina, kerempeng, antek zionis, pro oligarki, predator kapitalis dst.dst dll. Ini karena memang tidak ada relevansinya dalam menilai.
Ada dua hal yang saya kritik dari gubernur Jokowi.
Pertama, bahwa setelah saiyah pelajari lebih dari 20 tahun tentang transformasi ruang dan socio-spatial dialektic, maka di masa depan peran kota akan semakin menentukan. Kini boleh kita sebut hampir semua urusan negara kini juga menjadi urusan kota, sehingga peran seorang bupati/walikota atau dalam kasus Djokowi ini Daerah Khusus Ibukota Jakarta akan menjadi miniatur kecil dari Indonesia.
Apa yang menjadi persoalan nasional seperti persoalan buruknya sanitasi, kelangkaan air, tanah, dan polusi, termasuk juga rendahnya tingkat keamanan sudah diwakili oleh kota. Di sini merujuk kepada penelitian Benjamin Barber yang melanjutkan ratusan studi tentang sosiologi tata kota bahwa peran pemimpin kota akan semakin pragmatis dan utama.
Misal apabila kita ambil teori kapitalisasi ruang (production of spaces) dari Jameson kita lihat dari bagaimana orang-orang marginal pada akhirnya harus semakin menjadi ke pinggir karena proses kapitalisasi kota melalui aneka cara: dari mulai isu penataan yang menggusur, modernisasi yang merelokasi, sampai menaikkan sampai 120% persen NJOP PBB seperti yang dilakukan Djokowi-Ahok. Di satu sisi ini menjadi klaim bahwa pemerintahannya sukses mendulang dana publik tetapi di sisi lain ia menciptakan masalah dengan mereka2 yang tidak punya urusan dengan soal kenaikan harga tanah dan terpaksa membayar lebih banyak.
Teori ketimpangan dari Harvey yang menyebut pada akhirnya kota akan memainkan peran munafik. Ia menjadikan dirinya sebagai etalase modernitas seperti perkantoran, mall-mall, dan pusat2 bisnis dengan orang2 kaya di dalamnya tetapi di sisi lain ia menyorokkan ke pinggir2 rel, bawah jembatan, ghetos, dan kampung2 kumuh pegawai rendah, seperti tukang sampahnya, office boynya, cleaning servicenya, pegawai mall. dll. Melahirkan bukan saja inequality dalam penghasilan tetapi juga dalam pelayanan dan akses kepada fasilitas kota.
Yang cukup mutakhir adalah teori Keadilan Ruang dari Edward Soja, yang menjelaskan kepada kita mengapa, pelan-pelan 67% desa bertransformasi dengan terpaksa karena lahannya diakupansi modal dan berubah menjadi kota yang mahal. Meninggalkan aneka problematika dari urbanisasi, migrasi, kesulitan lahan, sampai kelangkaan energi pangan. Akibatnya ruang kemudian terenklave menjadi tempat gerilya bagi mereka-mereka yang terabaikan dan terjadilah apa yang disebut dengan socio spatial dialec yang tidak cuma berlangsung aman tetapi lebih sering menyeramkan.
Ambil contoh bagaimana satu sekolah yang disebut super aman seperti JISE ternyata membiarkan terjadinya proses Sodomi pada murid2 oleh perangkat sekolah selama bertahun2 demikian juga beragam aktivitas kriminal, pelacuran, sampai penipuan. Desa yang menjadi miskin harus menyerah pada modal-modal, dan penghuninya terpaksa merelakan diri sebagai buruh, TKW, dan korban human atau sex trafficking di negeri orang lain.
Artinya kota sebagai tempat yang beradab atau civilzed dalam pengertian polis dari Plato ternyata menyimpan di dalamnya potensi menghancurkan. Pada persoalan yang rumit yang dihimpun sebuah kota inilah kemudian orang seperti Lee Kuan Yew dalam sebuah wawancara mengatakan, bahwa adalah sebuah keajaiban jika hanya dalam satu generasi Singapore dari sebuah kota dunia ketiga dengan segala masalah kemiskinan, kekurangan lahan, air, energi, dapat melompat setara dunia pertama.
"Dibutuhkan tidak kurang dari dua generasi apabila kita membenahi kota dengan sungguh2, dan itu 25-30 tahun." Demikian Lee melanjutkan.
Pada pengalaman tentang rumitnya persoalan kota dan dibutuhkannya waktu lama, dan kesungguhan untuk memperbaiknya, maka sikap Djokowi yang menganggap remeh persoalan kota Djakarta dan menjadikannya hanya sebagai tempat persinggahan adalah satu bentuk pembodohan terhadap sejarah dan keilmuan.
Sekarang kita masih melihat berserakannya masalah kota Jakarta, bagaimana mungkin ia dapat dibenahi tanpa kesungguhan dan konsentrasi.
Kedua, adalah kritik saiyah bahwa Djokowi memiliki kebiasaannya mental-mental sebagai pejabat publik. Dari mental sebagai walikota Solo, lalu maju ke Jakarta dan melakukan kontrak sosial, sebagaimana keharusan dari pejabat publik kepada konstituen pemilihnya saat kampanye untuk memperbaiki Jakarta sebagai Gubernur. Sekarang ia seperti ditulis Romo Magnis Soeseno mempraktikkan politik zonder etika, zonder moraliteit.
Pada poster kampanye capresnya yang ditag ke wall saiyah berupa sosok Djokowi dengan baju putih Rp. 45 ribu, celana panjang 100 ribu, sepatu 100 ribu, dengan keterangan: Pemimpin Sederhana, maka saiyah katakan hal demikian adalah lebai. Ia meskipun menggunakan pakaian 100 ribu, yang demikian adalah pakaian dinas, celana dinas, mobil dinas maka itu adalah uang publik.
Dan lebih penting lagi, dia tidak perlu mengajarkan bagaimana menjadi miskin dan sederhana pada 5,1 juta penduduk Jakarta yang tinggal di pinggir kali, perumahan kumuh, kolong jembatan, gerobak, dan tempat2 pembuangan sampah. Atau 8,3 juta penduduk komuter Jakarta yang harus menghemat2 uang karena terpaksa menggunakan fasilitas umum atau kredit motor murah demi mencari hidup ala kadarnya ke kota Jakarta dari daerah2 pinggiran yang masih menyediakan kontrakkan dan kost murah.
Di sini kembali diingatkan bahwa majunya Djokowi menjadi capres dan meremehkan persoalan kota Jakarta adalah satu bentuk penipuan jabatan dari cita-cita terwujudnya pemerintahan dan pejabat yang menghargai amanat publik yang sah (lewat pemilu). Lewat dalih bahwa rakyat Indonesia (yang mana?) yang menghendaki dia menjadi capres dan mengabaikan pemilih yang menginginkan dia menyelesaikan dulu janji-janji kampanyenya, ia sebenarnya sedang mengkhianati cita-cita terwujudnya pemerintahan yang bertanggungjawab.
Kita percaya ini terjadi karena apa yang dikerjakan Djokowi adalah penipuan publik, satu tindakkan yang dikerjakan zonder etika dan zonder moral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H