Mohon tunggu...
Andi Hakim
Andi Hakim Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Fat Collector. Menerima pembuatan pidato kenegaraan, pidato kawinan, pemakaman, pidato kelurahan, business plan, political plan, action plan, retirement plan, dead plan dll. Peneliti di Bonn, Jerman, Singapore dan Boston

Selanjutnya

Tutup

Politik

Djokowi, Penipuan, dan Hilangnya Etika Politik Publik

18 Mei 2014   21:57 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:23 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada pemirsah yang bertanya mengapa saiyah sering mengkritisi Djokowi maka saiyah sampaikan bahwa saiyah hanya mengkritik keras Djokowi-Ahok dalam kebijakan2nya di Jakarta karena mereka pejabat publik. Yaitu mereka yang diangkat dengan amanat publik (promosi, pemilu, dll.), digaji, difasilitasi, dan didukung dengan dana publik bagi keperluan menjalankan program-programnya.

Tidak sekalipun saya pernah mengkritiknya secara personal dengan menyebut misalnya, dia cina, kerempeng, antek zionis, pro oligarki, predator kapitalis dst.dst dll. Ini karena memang tidak ada relevansinya dalam menilai.

Ada dua hal yang saya kritik dari gubernur Jokowi.

Pertama, bahwa setelah saiyah pelajari lebih dari 20 tahun tentang transformasi ruang dan socio-spatial dialektic, maka di masa depan peran kota akan semakin menentukan. Kini boleh kita sebut hampir semua urusan negara kini juga menjadi urusan kota, sehingga peran seorang bupati/walikota atau dalam kasus Djokowi ini Daerah Khusus Ibukota Jakarta akan menjadi miniatur kecil dari Indonesia.

Apa yang menjadi persoalan nasional seperti persoalan buruknya sanitasi, kelangkaan air, tanah, dan polusi, termasuk juga rendahnya tingkat keamanan sudah diwakili oleh kota. Di sini merujuk kepada penelitian Benjamin Barber yang melanjutkan ratusan studi tentang sosiologi tata kota bahwa peran pemimpin kota akan semakin pragmatis dan utama.

Misal apabila kita ambil teori kapitalisasi ruang (production of spaces) dari Jameson kita lihat dari bagaimana orang-orang marginal pada akhirnya harus semakin menjadi ke pinggir karena proses kapitalisasi kota melalui aneka cara: dari mulai isu penataan yang menggusur, modernisasi yang merelokasi, sampai menaikkan sampai 120% persen NJOP PBB seperti yang dilakukan Djokowi-Ahok. Di satu sisi ini menjadi klaim bahwa pemerintahannya sukses mendulang dana publik tetapi di sisi lain ia menciptakan masalah dengan mereka2 yang tidak punya urusan dengan soal kenaikan harga tanah dan terpaksa membayar lebih banyak.

Teori ketimpangan dari Harvey yang menyebut pada akhirnya kota akan memainkan peran munafik. Ia menjadikan dirinya sebagai etalase modernitas seperti perkantoran, mall-mall, dan pusat2 bisnis dengan orang2 kaya di dalamnya tetapi di sisi lain ia menyorokkan ke pinggir2 rel, bawah jembatan, ghetos, dan kampung2 kumuh pegawai rendah, seperti tukang sampahnya, office boynya, cleaning servicenya, pegawai mall. dll. Melahirkan bukan saja inequality dalam penghasilan tetapi juga dalam pelayanan dan akses kepada fasilitas kota.

Yang cukup mutakhir adalah teori Keadilan Ruang dari Edward Soja, yang menjelaskan kepada kita mengapa, pelan-pelan 67% desa bertransformasi dengan terpaksa karena lahannya diakupansi modal dan berubah menjadi kota yang mahal. Meninggalkan aneka problematika dari urbanisasi, migrasi, kesulitan lahan, sampai kelangkaan energi pangan. Akibatnya ruang kemudian terenklave menjadi tempat gerilya bagi mereka-mereka yang terabaikan dan terjadilah apa yang disebut dengan socio spatial dialec yang tidak cuma berlangsung aman tetapi lebih sering menyeramkan.

Ambil contoh bagaimana satu sekolah yang disebut super aman seperti JISE ternyata membiarkan terjadinya proses Sodomi pada murid2 oleh perangkat sekolah selama bertahun2 demikian juga beragam aktivitas kriminal, pelacuran, sampai penipuan. Desa yang menjadi miskin harus menyerah pada modal-modal, dan penghuninya terpaksa merelakan diri sebagai buruh, TKW, dan korban human atau sex trafficking di negeri orang lain.

Artinya kota sebagai tempat yang beradab atau civilzed dalam pengertian polis dari Plato ternyata menyimpan di dalamnya potensi menghancurkan. Pada persoalan yang rumit yang dihimpun sebuah kota inilah kemudian orang seperti Lee Kuan Yew dalam sebuah wawancara mengatakan, bahwa adalah sebuah keajaiban jika hanya dalam satu generasi Singapore dari sebuah kota dunia ketiga dengan segala masalah kemiskinan, kekurangan lahan, air, energi, dapat melompat setara dunia pertama.

"Dibutuhkan tidak kurang dari dua generasi apabila kita membenahi kota dengan sungguh2, dan itu 25-30 tahun." Demikian Lee melanjutkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun