Mohon tunggu...
Gusti A.Makkarodda
Gusti A.Makkarodda Mohon Tunggu... Petani - Pemerhati

Bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Covid 19 Berpotensi Genosida?

27 Mei 2020   09:04 Diperbarui: 27 Mei 2020   09:02 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Semalam saya ikutan nimbrung dalam video conference  bersama kawan-kawan masa kuliah. Dulu, kami bersama dalam komunitas pers mahasiswa semasa kuliah, mereka adalah aktivis pergerakan dan menyuarakan issu-issu strategis serta melawan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang dianggap miring dan menyimpang, mereka aktif, jauh tahun sebelum tumpah ruahnya masyarakat turun ke jalan hingga runtuhnya rezim orde baru tahun 1998.

Diskusinya masih khas seperti dulu, kemerdekaan adalah hal mutlak, sehingga komunitas ini sangat familiar dengan ungkapan "dilarang melarang." 

Nuansa kritik autokritik sangat kental, semua bebas mengemukakan pendapat, bebas memberi saran serta bebas mengkritik berdasar referensi dan data, semua bebas menarik simpulan masing-masing hingga bebas bersepakat untuk tidak sepakat.

Kemampuan Keuangan Terbatas

Saya mencatat, lemahnya kemampuan keuangan negara dan prilaku gemar berutang adalah salah satu faktor yang membuat Pemerintah tak mampu melakukan lockdown. 

Informasi melalui https://bit.ly/2LZV3FO per 15 Mei 2020 menyebutkan utang luar negeri mencapai Rp 5.835 triliun. Ketidakmampuan tersebut pula yang menjadi penyebab ketidakbebasan memilih strategi dalam mengendalikan penyebaran covid19.

Membuka akses pelabuhan dan bandara internasional, bukanlah pilihan, melainkan keterpaksaan. Mengisolir wilayah dengan sistem Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah sebuah ujicoba, tetapi ujicoba ini nampaknya gagal karena grafik pertumbuhan penularan masih cenderung meningkat, bahkan peningkatannya kadang eksponensial. 

Kebijakan ini pun menimbulkan gesekan antara masyarakat dan petugas di lapangan. Pemerintah daerah pun, sangat kesulitan menghadapi penanganan pasien karena berpuluh tahun alokasi anggaran tidak berpihak pada peningkatan fasilitas kesehatan dan layanan kesehatan. 

Pemberian Akreditasi Rumah Sakit serta penghargaan pada bidang kesehatan seperti Kabupaten Kota Sehat Swasti Saba Wistara, sama sekali tak berarti apa-apa, semua luluh lantah oleh serangan covid19.

Pemerintah melalaui program bantuan sosial menyiapkan anggaran Rp. 61. Triliun ( https://bit.ly/2LW3odN ) dan jika situasi penularan ovid19 tetap meningkat, situasi akan terus memburuk dan pertumbuhan ekonomi kwartal pertama hanya 2.79 % ( https://bit.ly/2AXqQ81 ) cenderung semakin turun. 

Pendapatan Negara dan Pendapatan Asli Daerah dapat dipastikan akan semakin menurun. Asumsi perhitungan pendapatan negara serta pendapatan asli daerah dipastikan akan semakin tidak tepat sehingga program dan kegiatan pemerintah akan semakin tidak menentu.

Herd Immunity

Saya merinding, saat seorang kawan mulai meminta peserta video conference untuk ikhlas, berlapang dada menerima realitas atas ketidakmampuan pemerintah dan menyanyangkan ketidakterbukaan Pemerintah terhadap data dan kebutuhan anggaran jika harus lockdown dan mempersiapkan masyarakat terus berproduksi secara normal.

"Pertama, semua harus ikhlas dan berlapang dada menerima realitas, Pemerintah kita tidak punya uang, kita tau selama ini hidup dari utang, sayangnya tidak terbuka padahal kita punya modal sosial yang sangat kuat untuk saling membantu dan gotong royong. Anggaplah jika kebutuhan Rp. 100 triliun untuk lockdown namun pemerintah hanya mampu Rp. 50 triliun, maka swasta dan masyarakat bisa gotong royong mengupayakan sisanya, walau bukan dalam bentuk uang sebab kita terbisa dengan budaya berbagi makanan dengan tetangga. Tetapi sudahlah, kita persiapkan diri saja. Keluarga dan masyarakat pun harus disiapkan dengan new Normal life supaya tetap selamat dan dapat bertahan jika tidak ada pilihan lain Pemerintah selain herd immunity."

"Berikunya, jangan keluar rumah jika tidak penting, patuhi standar protokol covid19 yang ditetapkan pemerintah, pakai masker, sarung tangan, rajin cuci tangan pakai sabun, selalu siapkan dan pakai hand sanitizer, komsumsi vitamin karena selama saya di lapangan bersama relawan, telah dua kali rapid tes, Alhamdulillah hasilnya selalu negatif. Tetapi kebanyakan yang terpapar adalah mereka yang OKB (Orang Kepala Batu). Fakta menunjukkan, hasil rapid tes positif reaktif 3 - 5 % terhadap pedagang pasar atau pun perkantoran jika dilakukan pemeriksaan."

"Setelah lebaran ini, kemungkinan situasi semakin memburuk, mulailah bertani, tanam sayuran, siapkan stok pangan. Dengan digalakkannya sosialisasi new normal life, itu pertanda, kita akan memasuki masa herd immunity akibat keterpaksaan dari ketidakmampuan pemerintah. Sebetulnya herd immunity adalah genosida, tetapi sepertinya tidak ada pilihan. Kita harus siapkan diri jika ingin selamat." Jelasnya.

Bersedekah Untuk Pemerintah

Awalnya saya heran, dalam situasi sulit, kawan-kawan masih saja  menganjurkan supaya setiap orang menyumbang Pemerintah dalam bentuk sedekah. Berikut kutipan pernyataannya.

"Setiap orang harus banyak-banyak menyumbang Pemerintah jika inginkan kondisi kembali normal, perbanyaklah bersedekah untuk Pemerintah, semua dapat melakukan dengan menyumbang materil dan moril, jika tidak dapat dengan materil maka lakukan dengan moril, bantu pemerintah dengan buah pikir."

"Mengikuti ajuran dan melaksanakan new normal life adalah salah satu bentuk sedekah untuk pemerintah. Tidak keluar rumah, menyiapkan makanan untuk relawan dan menyumbang materi dalam bentuk berbagi alat pelindung dapat dilakukan sesuai kemampuan"

Pemerintah Daerah terjebak Zona

Beberapa minggu terakhir, masyarakat sering mendengar kata zona, lah? zona ini siapa yang menentukan? Virusnya tidak kelihatan tetapi Pemerintah daerah menyatakn zona merah atau pun zona hijau.

Pemerintah daerah menyatakan penetapan zona hanya berdasarkan pada banyaknya orang yang dirawat di rumah sakit sementara ruang isolasi dan perawatan terbatas, padahal tidak ada program pemerintah untuk melakukan pemeriksaan rapid tes atau pun swab tes pada satu kawasan tertentu secara periodik.

Zona hijau pun diklaim oleh pemda sebagai bentuk prestasi, seolah-olah bekerja padahal mungkin saja jika dilakukan rapid tes maka 3 - 5 % penduduknya akan positif reaktif.

Bahkan menjadi ancaman serius jika klaim zona merah berubah menjadi zona hijau. Padahal faktanya, pasien tidak sembuh melaikan tidak pernah sembuh karena meninggal.

Wallahu a'lam bishawab
Sengkang, 25 Mei 2020
AGM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun