"Menurut saya kita punya waktu dua hingga tiga tahun, karena sekarang orang-orang sedang mencobanya," kata Weis dalam wawancara Bloomberg mengacu pada AI generatif seperti ChatGPT. Kecuali jika pemerintah membuat rencana ke depan, tambahnya, keuntungan dari peningkatan produktivitas yang dihasilkan oleh AI akan jatuh ke tangan segelintir perusahaan sektor swasta. Sementara rata-rata pekerja akan kehilangan pekerjaan dan perekonomian lokal menjadi lebih miskin.
Senada dengan Weis, lembaga pemikir Institute for Public Policy Research (IPPR) yang berbasis di London mengatakan bahwa "kerja sama global yang mendalam" diperlukan dan bahwa pemerintah "perlu menetapkan strategi berani mereka sendiri untuk AI," memastikan bahwa teknologi tersebut digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu.
"Pengaturan mandiri tidak berhasil bagi perusahaan media sosial," kata Carsten Jung, ekonom senior di IPPR. "Hal ini tidak berhasil untuk sektor keuangan, dan tidak akan berhasil untuk AI. Kita tidak boleh hanya pasif mengantisipasi perkembangan teknologi dan berharap yang terbaik."
Para ahli telah menyuarakan keprihatinan mereka mengenai kemampuan alat "AI generatif" terbaru ini yang dapat menyesatkan orang, menyebarkan kebohongan, melanggar perlindungan hak cipta dan merugikan beberapa pekerjaan. Kerja sama global diperlukan untuk menindak produk-produk AI yang berbahaya.
Sebaiknya pihak berwenang pemerintah memperhatikan kekhawatiran masyarakat yang diangkat oleh para pakar teknologi khususnya mengenai potensi kerugian yang dapat ditimbulkan oleh sistem AI ini seperti mengganggu stabilitas pasar kerja di Indonesia. Pada tahap awal ini, negara harus berinvestasi pada pendidikan dan peningkatan keterampilan pekerja. Persiapan adalah cara terbaik untuk menghindari masalah yang belum terjadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI