Mohon tunggu...
ANDI FIRMANSYAH
ANDI FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Guru - Guru yang Belum Tentu Digugu dan Ditiru

Hanya Seorang Marhaen yang menyenangi bidang Geopolitik, Sejarah dan Ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Energi Nuklir sebagai Alternatif Energi Ramah Lingkungan

26 Desember 2023   18:53 Diperbarui: 26 Desember 2023   18:56 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Teknologi baru dan penerapannya telah menjadi lebih dari sekedar keputusan bisnis atau ekonomi tetapi juga memiliki kepentingan politik dan geopolitik.

Hal ini sangat jelas ketika kita mendalami sektor energi. Kita menyadari bahwa perdebatan tidak berpusat pada fakta dan persamaan sederhana antara energi versus emisi atau dampak negatif di saat fokus lingkungan lebih besar. Hal ini diukur berdasarkan keuntungan politik dan agenda geopolitik. Setidaknya ada banyak kemunafikan dan manipulasi.

Dalam perdebatan politik, opsi nuklir telah disabotase oleh pemikiran lingkungan hidup yang elitis. Mereka mengatakan bahwa energi nuklir adalah sumber energi yang kotor padahal faktanya tidak mengeluarkan karbon dioksida.

Pada kenyataannya, sumber daya ini merupakan salah satu sumber energi terbersih dan harus menjadi landasan bauran energi.  

Komitmen AS dan 21 negara lainnya untuk melipatgandakan kapasitas energi nuklir pada tahun 2050 merupakan langkah signifikan menuju pencapaian target pengurangan emisi karbon.

Janji ini, yang didukung oleh negara-negara seperti Perancis, UEA, Ghana, Korea Selatan, Inggris dan Kanada, menggarisbawahi peran penting yang harus dimainkan oleh tenaga nuklir. Yang lebih penting lagi, hal ini menyoroti fakta bahwa energi nuklir harus menjadi salah satu pilar utama bauran energi.

Selama beberapa dekade, telah terjadi serangan terhadap energi nuklir oleh partai-partai progresif dan ramah lingkungan. Mereka terutama didasarkan pada dua hal: biaya dan keamanan. 

Kenyataannya adalah mengurangi umur pembangkit listrik tenaga nuklir tanpa menghubungkannya dengan kapasitas sebenarnya akan menimbulkan biaya yang sangat besar. 

Mengamortisasi pabrik selama 30 tahun, bukan 70 tahun, yang dapat dilakukan dengan penggantian komponen-komponen utama dan beberapa pengembangan, akan menghasilkan perbedaan yang besar. Mengenai keamanan, fokus utamanya adalah pada limbah nuklir dan operasional. 

Di sini juga, risikonya terlalu dibesar-besarkan. Terlepas dari kejadian bersejarah seperti Three Mile Island dan Chernobyl, kemajuan teknologi dan peraturan yang lebih ketat telah membuat tenaga nuklir lebih aman dari sebelumnya.

Mereka yang menyerang industri tenaga nuklir juga menghindari menjawab pertanyaan sederhana: seberapa bersih rantai pasokan energi terbarukan mulai dari produksi hingga penggunaan dan pembuangan? 

Menurut Asosiasi Industri Energi Surya yang berbasis di AS, kecepatan pergantian panel surya melampaui proyeksi awal dan dengan tingginya biaya yang terkait dengan daur ulang saat ini, terdapat risiko nyata bahwa semua panel yang dibuang serta turbin angin yang sulit didaur ulang akan berakhir di tempat pembuangan sampah. Jadi pada dasarnya semua sumber energi pasti ada persoalan sampahnya.

Pertanyaan serupa mengenai netralitas karbon juga berlaku pada produksi dan transportasi bahan-bahan terbarukan. Hal ini juga berdampak pada baterai listrik, mulai dari pembuatan hingga pembuangannya. Pakar lingkungan fokus menyerang dan mencoba menghilangkan sumber energi lain daripada menjawab pertanyaan sederhana ini.

Pertanyaan juga muncul pada tingkat geopolitik, ketika Amerika Serikat dan Tiongkok terombang-ambing antara kompetisi dan konfrontasi. Semakin banyak suara di AS yang menyatakan bahwa energi surya dan angin memperkuat Tiongkok dalam persaingan kekuatan besar. 

Pasalnya, pada tahun 2022, Tiongkok menyumbang 77,8 persen produksi modul fotovoltaik global. Negara dengan pangsa terbesar kedua adalah Vietnam, yang hanya menyumbang 6,4 persen. 

Dengan terpusatnya rantai pasokan di Tiongkok, hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai ketergantungan energi. Hal ini pula yang menjadi alasan mengapa banyak orang menyatakan fakta bahwa Bank Dunia tidak mendanai proyek pembangkit listrik tenaga nuklir untuk memberikan keuntungan bagi Tiongkok, sama seperti Bank Dunia yang mendanai proyek energi surya dan energi terbarukan lainnya.

Perdebatan mengenai energi nuklir juga meresap ke dalam politik dalam negeri. Perancis, yang merupakan pionir tenaga nuklir, adalah contoh yang baik. Henri Proglio, mantan CEO EDF beberapa bulan lalu membahas hilangnya kemandirian energi Perancis dalam sebuah seminar. 

Beliau menyoroti upaya-upaya bersejarah untuk mencapai kemandirian energi dan menyalahkan tantangan-tantangan yang terjadi saat ini karena adanya pergeseran opini publik dan peraturan-peraturan Eropa yang mendukung kompetisi.

Beliau menyoroti keberhasilan historis industri nuklir Perancis yang dilambangkan dengan menjadi eksportir listrik dengan harga bersaing. Proglio juga menganjurkan untuk memperpanjang umur pembangkit listrik tenaga nuklir yang ada dan menganggapnya sebagai basis produksi energi

Namun hal yang mengejutkan adalah bahwa beliau menuduh Jerman menyabotase kemandirian energi Prancis melalui Uni Eropa karena hal itu menimbulkan ancaman industri. 

Beliau juga mengkritik tantangan yang ditimbulkan oleh peralihan ke energi terbarukan, khususnya mengutip Energiewende Jerman dan investasi besar pada energi angin. 

Beliau menyatakan bahwa Berlin prihatin karena listriknya sangat bergantung pada batu bara dan terutama lignit yang berdampak buruk bagi lingkungan. 

Jerman telah menginvestasikan 600 miliar ($646 miliar) dari total 1 triliun yang diinvestasikan dalam energi terbarukan oleh negara-negara Eropa menurut Proglio. Investasi besar ini menyebabkan hampir bangkrutnya perusahaan listrik besar EON dan RWE yang berhasil diselamatkan oleh pemerintah federal.

Kenyataannya adalah mustahil dan tidak realistis untuk beralih 100 persen ke energi terbarukan di masa depan dan Jerman adalah contohnya. Sebab dapat menyebabkan runtuhnya perekonomian dan keamanan global. Bahkan para pendukung solusi ini pun mengetahui hal ini.

Inilah sebabnya mengapa terdapat kebutuhan mendesak untuk secara aktif mendorong posisi tenaga nuklir dalam bauran energi. Namun setelah bertahun-tahun mengalami tekanan global, kemampuan untuk mengubah industri ini masih terhambat oleh kurangnya dana, keahlian dan kemitraan yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun