Potongan video seorang jurnalis Perancis yang meliput Intifada Pertama di Gaza ketika perjanjian perdamaian ditandatangani di Washington menjadi viral baru-baru ini.
Dalam video tersebut ia menyatakan bahwa, pada saat Yitzhak Rabin berjabat tangan dengan Yasser Arafat di halaman Gedung Putih pada bulan September 1993, terdengar jeritan kebahagiaan dan ia melihat dengan mata kepalanya sendiri anak-anak Palestina berlari ke arah tentara Israel sambil berpelukan dan mereka merayakannya bersama.
Kini semua pencapaian tersebut hilang. Apa yang pernah diupayakan Rabin dulunya menjadi sia-sia.
Mari kita tinjau kembali biografinya, mengapa Rabin memiliki kekuatan dan kapasitas untuk diterima baik oleh orang Israel maupun Palestina.
Karier militer dan politik Rabin ditandai dengan sikap agresif yang membantunya memenangkan kepercayaan masyarakat Israel yang berarti ia dapat membuat konsesi yang diperlukan tanpa mengorbankan keamanan.
Pada pemilihan umum tahun 1992, salah satu isu utama yang mendukung Rabin dan partainya adalah keinginan dan tuntutan rakyat Israel untuk mengupayakan perdamaian.
Di sisi lain, banyak warga Palestina yang mengenalnya sebagai orang yang menepati janji dan mampu memenuhi komitmennya.
Untuk mencapai perdamaian, Rabin berhenti membangun permukiman baru Israel di Wilayah Pendudukan dan pemerintahannya terlibat dalam pembicaraan rahasia dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang menghasilkan Perjanjian Oslo I pada bulan September 1993 di mana Israel mengakui PLO dan berkomitmen untuk memberikan pemerintahan mandiri parsial kepada warga Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza seiring berjalannya waktu.
Momen penting ini mendapat perlawanan dari kedua belah pihak dengan protes besar terjadi di Israel. Dengan Arafat yang mengakui hak Israel untuk hidup dan menolak terorisme, pada saat itulah Hamas menjadi satu-satunya kelompok bersenjata Palestina yang disponsori oleh rezim di Teheran.
Kesepakatan dan momen bersejarah ini, kata jurnalis Prancis dalam klip viral tersebut, mengakhiri Intifada Pertama. Kita harus ingat bahwa, pada saat itu intifada tidak bersifat militan. Palestina tidak menyerang warga sipil yang tidak bersalah. Anak-anak Palestina yang memegang batulah yang membuat perbedaan. Batu-batu kecil ini terbukti sangat kuat dan memberdayakan Arafat dalam negosiasinya.
Sayangnya, hal ini tidak berlangsung lama dan pembunuhan Rabin pada tahun 1995 oleh seorang ekstremis Israel terbukti menjadi batu sandungan dalam proses perdamaian Oslo dan kemajuan Palestina menuju solusi dua negara. Pada saat yang sama, kita menyaksikan awal kebangkitan Hamas.
Di luar harapan terakhir di bawah pemerintahan Clinton dengan KTT Camp David tahun 2000 antara Arafat dan Perdana Menteri Israel saat itu Ehud Barak, perdamaian hanyalah sebuah fatamorgana.
Pada saat itu, Arafat sedang lemah di dalam negeri dan Barak tidak mampu menunjukkan kepercayaan diri meskipun ia berlatar belakang militer. Intifada Kedua dimulai beberapa bulan kemudian setelah kunjungan provokatif Ariel Sharon ke Al-Haram Al-Sharif.
Melalui Intifada Kedua, Hamas menjadi terkenal dan akhirnya memenangkan pemilu legislatif di Gaza pada tahun 2006. Sejak saat itu, antara Palestina dan Israel, tidak ada perdamaian nyata yang mungkin terjadi.
Ketika perang di Gaza terus menumpahkan darah dan air mata, kita membutuhkan pemimpin yang berani dari kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik ini. Sebuah akhir yang nyata. Saya yakin ini hanya bisa dimulai di Israel. Tel Aviv membutuhkan pemimpin sekelas Yitzhak Rabin. Dibutuhkan kepemimpinan baru yang dapat secara efektif melindungi warga negaranya sekaligus mengakhiri pendudukan dan memberdayakan rakyat Palestina menuju kedaulatan mereka sendiri.
Benjamin Netanyahu telah mengecewakan warganya. Dia tidak mampu melindungi mereka pada tanggal 7 Oktober. Hal ini akan membawa akhir yang kelam bagi karir politik dan militer Netanyahu, orang yang berjanji tidak akan pernah berkompromi terhadap keamanan Israel.
Rabin pernah berkata: "Kita harus memerangi terorisme seolah-olah tidak ada proses perdamaian dan berupaya mencapai perdamaian seolah-olah tidak ada teror." Singkatnya, beliau memberdayakan Arafat. Beliau memperkuat mitra perdamaiannya. Rabin membuat konsesi yang nyata dan sulit agar perdamaian dengan Palestina bisa tercapai. Meskipun pada akhirnya beliau menghadapi ekstremis dari pihaknya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H