Di luar harapan terakhir di bawah pemerintahan Clinton dengan KTT Camp David tahun 2000 antara Arafat dan Perdana Menteri Israel saat itu Ehud Barak, perdamaian hanyalah sebuah fatamorgana.
Pada saat itu, Arafat sedang lemah di dalam negeri dan Barak tidak mampu menunjukkan kepercayaan diri meskipun ia berlatar belakang militer. Intifada Kedua dimulai beberapa bulan kemudian setelah kunjungan provokatif Ariel Sharon ke Al-Haram Al-Sharif.
Melalui Intifada Kedua, Hamas menjadi terkenal dan akhirnya memenangkan pemilu legislatif di Gaza pada tahun 2006. Sejak saat itu, antara Palestina dan Israel, tidak ada perdamaian nyata yang mungkin terjadi.
Ketika perang di Gaza terus menumpahkan darah dan air mata, kita membutuhkan pemimpin yang berani dari kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik ini. Sebuah akhir yang nyata. Saya yakin ini hanya bisa dimulai di Israel. Tel Aviv membutuhkan pemimpin sekelas Yitzhak Rabin. Dibutuhkan kepemimpinan baru yang dapat secara efektif melindungi warga negaranya sekaligus mengakhiri pendudukan dan memberdayakan rakyat Palestina menuju kedaulatan mereka sendiri.
Benjamin Netanyahu telah mengecewakan warganya. Dia tidak mampu melindungi mereka pada tanggal 7 Oktober. Hal ini akan membawa akhir yang kelam bagi karir politik dan militer Netanyahu, orang yang berjanji tidak akan pernah berkompromi terhadap keamanan Israel.
Rabin pernah berkata: "Kita harus memerangi terorisme seolah-olah tidak ada proses perdamaian dan berupaya mencapai perdamaian seolah-olah tidak ada teror." Singkatnya, beliau memberdayakan Arafat. Beliau memperkuat mitra perdamaiannya. Rabin membuat konsesi yang nyata dan sulit agar perdamaian dengan Palestina bisa tercapai. Meskipun pada akhirnya beliau menghadapi ekstremis dari pihaknya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H